Wajib Berbahasa Daerah Rote

Bahasa Daerah Tidak boleh Punah
sumber gbr: blog.unes.ac.id
sumber gbr: blog.unes.ac.id
sumber gbr: blog.unes.ac.id
Bupati Rote-Ndao membaca saksama setiap dokumen sebelum ditandatangani (foto;roni/infontt.com)
Bupati Rote-Ndao membaca saksama setiap dokumen sebelum ditandatangani (foto;roni/infontt.com)

Ba’a, infontt.com. Sudah menjadi suatu kebiasaan baru di kabupaten terdepan di NKRI ini. Bupati Rote-Ndao mewajibkan seluruh pegawai negeri pada semua instansinya agar berbahasa daerah Rote pada setiap hari Jumat. Perkembangan yang berbeda rasanya. Ketika para pegawai harus menjadi contoh penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pelayanan publik, sang bupati justru memberlakukan sesuatu yang sifatnya kontradiktif dan “sensasional”.
Tetapi, sang bupati Lens Haning, sang Maneleo inhuuk, yang “sulung” di Rote-Ndao justru mengatakan berbeda ketika ditanyai alasannya mewajibkan hal itu terjadi di kabupaten Rote-Ndao. Ia beralasan, “Jika bahasa daerah tidak digunakan, maka jati diri hilang.” Ia mengutip pepatah tua, “bahasa menunjukkan bangsa”. Jadi jika orang Rote-Ndao tidak menggunakan bahasanya sendiri lalu menggunakan bahasa Melayu (pen. Pak bupati keseleo ucap, ia mengatakan bahasa Mandarin), dan bahasa Indonesia, maka lama kelamaan bahasa-bahasa di Rote-Ndao akan punah. Maka kewajiban ini diberlakukan, namun tidak harus menghilangkan jati diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu Bahasa Indoesia. “Kita bersuku ke dalam, berbangsa ke luar,” begitu urainya yang penuh makna.
Beberapa pegawai yang ditemui di lobi kantor itu mengatakan, “Memang kalau berbicara dalam bahasa Rote kami tidak harus pakai satu bahasa tertentu. Yang penting pada hari Jumat orang harus berbicara dalam bahasa Rote-Ndao.” Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana dengan PNS yang tidak bisa berbahasa daerah Rote-Ndao? Nah, yang ini sedikit ada kelonggaran, sambil diberi motivasi untuk berusaha agar bisa berpatah-patah dalam kosa kata tertentu, dengan harapan beberapa waktu kemudian dapat berbicara lancar nantinya.
“Saya keluar merantau dari tanah Rote ini tahun 1970-an. Ketika saya kembali dan dipercaya untuk memimpin daeah ini, saya berkunjung ke desa-desa. Saya bicara dengan masyarakat dalam bahasa daerah mereka. Mereka menjawab dalam bahasa Indonesia. Wah… ini ancaman serius. Bahasa daerah bisa punah. Makanya saya menginsttruksikan untuk berbahasa daerah. Dari 19 bahasa di Rote-Ndao, saya mengetahui dan bisa berbicara dalam 18 bahasa, tersisa satu yaitu Ndao (Dhao). Itu saya tidak bisa, karena lebih mirip Sabu.” Pungkasnya dalam percakapan dengan PiUm infontt.com (roni)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *