TUTURAN RITUAL AMUNGTAPE PADA MASYARAKAT PADAILAKA DI KABUPATEN ALOR

Oleh:

Bacaan Lainnya

Narantoputrayadi Makan Malay, Spd.,M.Hum

STAF Dosen FKIP PRODI PEND.BAHASA INDONESIA  UNIVERSITAS NUSA CENDANA

 

ABSTRACT
This research focus on custom utterance Amungtape, brief of TRA, and in this ritual there are three utterance supporter for example; custom utterance Amung Kala Tape, custom utterance Neng Jing, and custom utterance Amung Luk of Society in Countryside of Lakatuli of Orchard Padailaka in Regency Alor . This Research is studied from in perpective of culture linguistics. its Study goals include;cover the characteristic form , meaning and assess the TRA in society life in Countryside of Lakatuli of Orchard Padailaka as main problem in this research. Seen from analyzed problem character, this research is categorized in research deskripsi. In data collecting used by some technique, that is: perception technique, interview the, directional group discussion, recording, simak-catat, and documentation study. To obtain; get the accurate data, six people selected from original penutur of Ianguage Put ash consisted of by four people selectedby as informen key and its two others as informan pendamping. Data which have been collected to be analysed descriptively qualitative and also ravelled clearly from entire/all deskripsi .

Key words: Tuturan Ritual Amung Kala Tape, Neng Jing, and Amung Luk, culture linguistics, form , meaning and assess.

ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada Tuturan Ritual Amungtape, yang disingkat TRA, dan di dalam ritual ini terdapat tiga tuturan pendukung yaitu; Tuturan Ritual Amung Kala Tape, Tuturan Ritual Neng Jing, dan Tuturan Ritual Amung Luk pada Masyarakat di Desa Lakatuli Dusun Padailaka di Kabupaten Alor. Penelitian ini dikaji dari perspektif linguistik kebudayaan. Sasaran pengkajiannya mencakup karakteristik bentuk, makna dan nilai TRA dalam kehidupan masyarakat di Desa Lakatuli Dusun Padailaka. Dilihat dari karakter masalah yang ditelaah, penelitian ini dikategorikan dalam penelitian deskripsi. Dalam pengumpulan data oleh peneliti selama sebulan lebih dari tanggal 27 April 2012 sampai berakhir tanggal 30 Mei 2012 digunakan beberapa teknik, yaitu: teknik pengamatan, wawancara, diskusi kelompok terarah, perekaman, simak-catat, dan studi dokumentasi. Untuk memperoleh data yang akurat, enam orang dipilih dari penutur asli bahasa Abui yang terdiri dari empat orang dipilih sebagai informen kunci dan dua orang lainnya sebagai informan pendamping. Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif kualitatif serta terurai dengan jelas dari seluruh pemaparannya.

Kata kunci: Tuturan ritual Amungtape, linguistik kebudayaan, bentuk, makna dan nilai.

PENDAHULUAN
Bahasa merupakan wacana komunikasi paling efektif dalam kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Penggunaan bahasa sebagai wahana komunikasi didasarkan pada pemahaman dasar hidup yang diuraikan dalam bentuk wacana, karena wacana pada dasarnya tidak bersifat pragmatis saja, tetapi juga dipandang sebagai aspek kebahasaan yang paling kompleks dan paling lengkap. Penggunaan bahasa tercermin dalam wacana yang membuat manusia dapat menyampaikan maksud dan tujuannya secara kompleks dan terperinci, khususnya dalam bentuk tuturan yang membuat wawasan dan cakrawala berpikir penutur dan petutur dituntut untuk memahami dan menyelesaikan masalah yang dihadapi saat terjadinya tuturan.
Bahasa dari sudut pandang penelitian tuturan Amungtape merupakan suatu kondisi kebudayaan, dengan suatu asumsi melalui bahasa yang membuat manusia bisa mengetahui budaya masyarakatnya (Ahimsa Putra, 2006). Dari Pengertian bahasa ini, penulis dapat memberikan contoh tuturan Amungtape yang memuat cakupan pemahaman tentang tuturan Amungtape di Dusun Padailaka Kecamatan Mataru Alor NTT, antara lain:
‘Lantal kari ayeki
berkat padi unggul
Marang fat kamolaikiu
jangung besar ketimun besar
Silan takoi malampatei
kacang panjang kacang buncis
A mi nu gamuorro...’
minta Tuhan (1 TG) kita diberikan kelimpahan
Tuturan di atas berarti permohonan berkat jagung, padi, ketimun, labu, kacang-kacangan dan botok oleh masyarakat setempat agar mereka berkelimpahan.
Komunikasi merupakan proses di mana seseorang menyampaikan rangsangan-rangsangan (biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang lain. Komunikasi juga diartikan sebagai pengiriman atau penerimaan pesan atau informasi antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksudkan dapat dipahami. Tuturan mempunyai tujuan dan maksud tertentu untuk menghasilkan komunikasi.
Sehubungan dengan ritual budaya dalam bentuk tuturan ini, peneliti mengambil suatu bahan pembahasan untuk dianalisis secara mendalam tentang analisis tuturan Amungtape (panen perdana setiap tahun) dari segi bentuk tuturan ritual Amungtape, makna tuturan ritual Amungtape dan nilai tuturan ritual Amungtape dalam masyarakat Padailaka di Kabupaten Alor. Tuturan Amungtape ini dianggap peneliti sebagai suatu bahan analisis yang faktual dan mendalam tentang kebudayaan dari masyarakat asal peneliti sendiri yang tidak pernah tersentuh dalam dunia keilmuan, yang sangat penting dalam kebudayaan di daerah setempat namun tidak pernah diangkat dan dianalisis. Inilah yang menjadi suatu motivasi dan dorongan bagi peneliti untuk melestarikan dan mengembangkan budaya sendiri serta memamerkan budaya dalam bentuk studi keilmuan sebagai suatu rangkaian analisis yang memenuhi prosedur untuk budaya yang dianalisis itu menjadi suatu karya ilmiah yang baik dan dapat dibaca secara faktual.
Kebudayaan Amungtape ini biasanya dilakukan dalam masyarakat Padailaka pada saat setelah panen hasil perdana dilaksanakan di masyarakat Padailaka, dan acara ritual Amungtape ini dapat dikatakan sebagai acara syukuran terhadap hasil panen di tahun itu juga (1 tahun). Ritual atau acara adat ini dilakukan untuk mengucap syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas berkat dan rahmat-Nya yang telah diberikan kepada masyarakat setempat untuk memanen hasil sawah dan ladang mereka.
Bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat Padailaka pada umumnya menggunakan satu bahasa secara keseluruhan yaitu bahasa Abui dengan dialek yang dipergunakanpun sama sehingga mudah dipahami oleh masyarakat yang satu dengan lainnya. Ritual ini biasanya diketahui oleh masyarakat yang tentunya saat ini sudah berumur 50 tahun ke atas.
Pada akhir bagian latar belakang ini penulis sebagai peneliti berpendapat bahwa tuturan ritual budaya Amungtape yang dianalisis dari segi bentuk, makna dan nilainya dapat dilihat sebagai suatu bahan kaji yang diamati dari sudut tuturan tertulisnya secara spesifik dan mendalam dalam rana linguistik kebudayaan yang tentunya berputar pada linguistik analisis wacana struktural Van Dijk 1973 dan 1997, yang dilihat penulis sekaligus peneliti dalam mengambil kajian atau analisis tentang ritual budaya Amungtape dari segi bentuk dan makna serta nilai pada masyarakat Padailaka di Kabupaten Alor.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang penulisan ini, maka permasalahan penelitian yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa karakteristik bentuk tuturan ritual Amungtape pada masyarakat Padailaka di Kabupaten Alor ?
2. Apa karakteristik makna tuturan ritual Amungtape pada masyarakat Padailaka di Kabupaten Alor ?
3. Apa karakteristik nilai tuturan ritual Amungtape pada masyarakat Padailaka di Kabupaten Alor ?

TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tuturan ritual Amungtape sebagai berikut :
1. Karakteristik bentuk tuturan ritual Amungtape pada masyarakat Padailaka di Kabupaten Alor.
2. Karakteristik makna tuturan ritual Amungtape pada masyarakat Padailaka di Kabupaten Alor.
3. Karakteristik nilai tuturan ritual Amungtape pada masyarakat Padailaka di Kabupaten Alor.

KONSEP DASAR
Berhubungan dengan masalah pokok dalam penelitian ini, beberapa konsep dasar yang menjadi kerangka acuan dalam menelaah tentang bentuk dan makna dan nilai TRA antara lain; bahasa dan kebudayaan, serta wacana, konteks dan teks.

KONSEP
Konsep yang digunakan sebagai pedoman dalam menganalisis bentuk, makna dan nilai tuturan ritual Amungtape adalah teori struktural. Konsep tersebut didasari pada konsep wacana struktural yang dipelopori oleh Van Dijk, 1973 dan 1997. Konsep tersebut beranggapan bahwa suatu sistem tidak memiliki makna dalam dirinya sendiri, kecuali dalam hubungan dengan unsur-unsur lain dalam sistem tersebut. Tujuan dari pada konsep wacana struktural menurut Van Dijk adalah untuk menemukan sistem suatu jajaran kebahasaan sehingga ruang lingkup kegiatannya mencakup kegiatan mengidentifikasi fungsi komponen di dalam sistem yang termuat dalam makna, mengenali struktur secara keseluruhan, mengenali distribusi komponen di dalam struktur, mengenali frekuensi pemakaian di dalam masyarakat tutur, dan mengenali makna dan nilai dari masing-masing komponen dan struktur komponen sesuai tujuan dari penggunaan bahasa tersebut. Ciri khas dari pada teori dan penelitian yang berbasis struktural adalah bersifat empiris dan induktif. Strukturalisme memandang produksi makna sebagai efek dari struktur dalam bahasa yang termanifestasi dalam fenomena budaya tertentu atau dalam diri penutur. Strukturalisme tidak hanya membahas bagaimana makna budaya dibangun, tetapi juga memahami kebudayaan sebagai cermin dalam struktur bahasa dan nilai (Barker,2004:17).

METODE DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Beberapa metode dan teknik yang digunakan dalam rangka pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian deskriptif-kualitatif adalah pengamatan, wawancara, perekaman, diskusi kelompok terarah, simak-catat, dan studi dokumentasi (Bungin, 2007:25 ).

JENIS DATA
Data dalam penelitian ini dikategorikan menjadi (1) Data primer berupa data lisan yaitu tuturan ritual, hasil perekaman langsung dari lapangan. Setiap tuturan ritual ditranskrip dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Selain data primer juga digunakan (2) data sekunder, yaitu data hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan dan dapat digunakan sebagai pembanding terhadap data sekunder. Penelitian-penelitian tersebut adalah : Katubi (2004), Dopu Mariyana (2009).

TEKNIK ANALISIS DATA
Data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode induksi (analisis bergerak dari data menuju abstraksi dan konsep). Teknik analisis data adalah teknik pengkodean dengan mengikuti beberapa tahapan berikut secara berurut:
a. Pemerolehan data sebanyak mungkin dan berbagai variasinya dengan mengikuti proses berikut: pemerincian, pemeriksaan, konseptualisasi, dan pengkategorian data;
b. Penataan kembali data tersebut sesuai kategori yang dibuat untuk dikembangkan ke arah proposisi dan analisis hubungan kategori; dan
Klasifikasi dan pemeriksaan kategori inti melalui perbandingan hubungan kategori- kategori guna menghasilkan sebuah simpulan umum (Sudikan, 2005:105).

BENTUK TUTURAN RITUAL AMUNGTAPE
Pada saat ritual Amung Kala Tape dimulai tentunya seorang yang dituakan akan menyampaikan diawal ritual ini berkisar tentang permohonan berkat kepada Sang Pencipta dan Para leluhur agar memberikan berkat yang melimpah bagi mereka semua. Ini ditandai dengan adanya lingkaran yang dibuat oleh warga tani sebagai bentuk persatuan dan sebagai bentuk perisai atau pagar tembok yang kokoh dari berbagai serangan hama yang terjadi di sawah dan ladang mereka. Lalu ada dua warga yang sudah dikhususkan untuk menumbuk botok sambil membunyikan alu mereka dengan cara menyentuhkan alu mereka dengan keras. Ini dimaksudkan agar segala musuh dari petani berupa hewan – hewan perusak ladang dan sawah tidak berani datang untuk merusak kebun dan ladang serta sawah. Berikutnya dalam acara Amung Kala tape ini adanya pembersihan botok dengan cara menapis botok tersebut dan memasukan botok tersebut ke dalam bakul, ini dimaksudkan bahwa berkat yang nanti diterima oleh warga tani di tahun depan hasilnya akan lebih bemutu baik lagi dari tahun-tahun sebelumnya dan sangat berkelimpahan. Berkat yang diminta ini pun datangnya dari segala arah sesuai bunyi gong dan moko yang dipukul agar Para leluhur dan Sang Pencipta dapat mendengar dan mengirim berkat dari segala arah mata angin dan sejauh suara gong dan moko ini dapat didengar.
Selanjutnya masuklah ke tahapan tuturan ritual adat Neng Jing yang merupakan tahap kedua untuk diadakannya lego-lego khusus bagi kaum laki-laki. Di dalam tahapan ini orang yang dituakan dalam adat meminta berkat pada leluhur dan Sang Pencipta agar diberi berkat berkelimpahan lalu ia meminta agar membunyikan gong , dan moko untuk didengar oleh tetangga di desa sebelah agar mereka tahu ada acara menumbuk botok dan mereka bisa datang mengikuti acara ini. Kemudian disampaikan lagi oleh orang yang dituakan bahwa puji-pujian hanya kepadamu Sang Pencipta dan Para leluhur . Di saat inilah para tua adat memanggil dan memohon Roh leluhur untuk datang di acara Amungtape pada saat tahapan Neng Jing dengan begitu berwibawanya dan penuh kharismatik saat tuturan itu disampaikan pada tahapan Neng Jing.
Berikutnya pada tahapan tuturan ritual Amung Luk terdapat banyak siratan maksud dan nasehat yang diberikan para tua adat untuk di hayati seluruh warga tani di mana pada awal tuturan ditemukan adanya pantun berirama yang menyampaikan bahwa seperti kelapa di remas dan santannya bermanfaat, hati kita juga disatukan, itu sudah menunjukan persatuan dan kekeluargaan yang terjalin kuat diantara warga tani saat itu.

TAHAPAN AMUNG KALA TAPE

Bagian Pendahuluan
Bentuk ini dikatakan tahap pendahuluan sebagai pengantar tuturan Amung Kala Tape. Bagian pendahuluan pada tahapan tuturan ini berisi tentang penyebutan alat-alat dalam ritual AKT ini yang dalam pemahaman masyarakat di Desa Lakatuli di Dusun Padailaka merupakan tahap persiapan dimana alat-alat itu jika dituturkan dalam bahasa ritualnya maka dengan sendirinya roh-roh leluhur akan memasuki alat-alat ritual itu untuk membawa suasana hikmat dan penuh arti dalam acara ritual itu bahkan dapat menjadi patokan hidup warga tani di hari depan hanya dengan melalui bunyi gong, moko, alu dua buah yang dibunyikan , botok yang ditumbuk dan nyiru yang dipakai untuk tapis botok serta tidak lupa gering-gering yang dipakai peserta ritual AKT walau tak disebut dalam ritual AKT namun pengaruhnya besar pada saat warga dan tua adat melakukan lingkaran dan menuturkan ritual Amungtape secara umum dalam semua tahapan ritual, dan secara khususnya di tahapan ritual AKT.
Natung donsei
lesung masukkan itu
masukan itu (botok) dalam lesung
ama aki tape
orang dua pukul
dua orang pukul
Amakang natung
manusia lesung
peserta disekitar lesung
webalai nate
keliling berdiri
mengelilingi sambil berdiri
‘Masukan botok dalam lesung, lalu dua orang pukul dan peserta disekitar lesung berdiri sambil mengelilinginya’. (sumbernya dari wawancara dengan nara sumber inti Martinus Maniyeni).
Tuturan pada data di atas memiliki suatu kekuatan dalam penyampaian tuturan ritualnya karena setelah roh leluhur masuk dalam alat-alat ritual ini maka tua adat menuturkan bahwa ‘natung donsei’ yang arti terjemahan terikatnya lesung masukkan itu, menyiratkan kepada kita bahwa adanya kekuatan yang sudah membaur dalam alat-alat ritual sehingga tuturan itu dapat dibuat oleh nenek moyang sehingga benda berupa lesung itu hidup, serta menunjukan bahwa lesung itupun mampu berbuat sesuatu yang baik bagi warga tani dengan cara menghasilkan botok yang bermutu baik dalam jumlah banyak untuk kehidupan warga tani di hari-hari ke depan khususnya dalam pekerjaan mereka sebagai petani. Penjelasan ini dapat diperjelas lagi dengan tuturan setelah ‘natung donsei’ yaitu ‘ama aki tape’ yang diartikan lewat terjemahan terikatnya ialah orang dua pukul. Memang kalau dilihat dari ritualnya ada dua orang yang saling menumbuk alu dengan cara membunyikan alunya baru menumbuk botok di lesung akan tetapi secara supranatural atau diluar akal sehat manusia justru arti ama aki tape itu menunjukan hubungan yang harmonis antara leluhur dan turunannya pada saat ritual itu berlangsung karena mereka (para leluhur) telah membaur dengan peserta ritual untuk bersama-sama melaksanakan ritual itu hingga usai.

Bagian Isi
Amakang ba api natu
manusia yang ada lesung
peserta yang berada di dekat lesung
wobalei natiti do
kelilingi/melingkar berdiri ini
berdiri mengelilingi ritual AMT
Pikuta pirata
POSS1 JM nenek moyang POSS 1JM turunan
kita punya nenek moyang sampai ke kita punya turunan
Dewo vanga ti
3 JM berkata bahwa
mereka berkata bahwa
ruwo gesiei ba
ayam/burung usir bilang
untuk mengusir ayam dan burung yang merusak
‘Peserta yang berada di dekat lesung berdiri mengelilingi ritual, kita punya nenek moyang sampai ke kita punya turunan berkata bahwa itu untuk mengusir ayam dan burung yang merusak lahan tanaman’.
Satu hal lagi yang diamati peneliti dari analisis pada data ini yaitu adanya kata ganti orang ketiga jamak yaitu pada kata dewo yang artinya adalah mereka. Serta ada juga kata ganti orang pertama jamak pada kata tuturan yaitu ‘ pikuta pirata’. Kata pronomina yang menjadi orang pertama jamak di tuturan ini yaitu ‘ pi’ sebagai kata terikat yang memiliki arti yaitu kita, namun dalam bahasa Abui kata ini tidak dapat berdiri sendiri harus ada kata yang menggandengnya yaitu kata kuta ( nenek moyang) dan rata (turunan) yang merupakan kata bebas atau dapat berdiri sendiri. Pronomina ini juga dapat dikatakan sebagai pronomina yang posesif karena memiliki unsur untuk menjadi kepunyaan dalam membentuk suatu kata yang memiliki pengertian jelas yaitu seperti contoh kata tuturan berikut ini :
Pikuta pirata
nenek moyang kita turunan kita

Bagian Penutup
Pada bagian akhir atau penutup tuturan ritual AKT ini didapati bahwa adanya pengulangan tuturan yang sudah merupakan tradisi turun- temurun yang membuat penelitipun menjadi penasaran akan maksud pengulangan yang terjadi di bagian akhir tuturan ritual adat ini dan hal–hal yang menjadi fenomena dalam tuturan ini sebagaimana tersirat dari tuturannya itu. Agar lebih jelasnya mari kita mengamati secara langsung tuturan ritual AKT di bagian penutup ini, yaitu sebagai berikut.
Dol gientuk aki tobol
Alu ujung dua pukul
dua ujung alu yang saling bersentuhan dengan keras
rowo dogiengtakigei
ayam/burung 3TG lari kasi tinggal
ayam atau burung akhirnya lari dan tidak berani datang lagi .
Gei dogo amung kala Tape
Ini yang dinamakan acara botok tumbuk
inilah yang dinamakan acara tumbuk botok
‘dua ujung alu saling bersentuhan dengan keras, membuat ayam atau burung akhirnya lari dan tidak berani datang lagi inilah yang dinamakan acara tumbuk botok’.
Setelah mendeskripsikan data ini tuturan ritual AKT di bagian penutup atau akhir tuturan ini di atas, peneliti menemukan adanya bentuk penguatan ucapan ritual AKT yang disampaikan oleh tua adat sebagai penegasan dari roh nenek moyang bahwa acara tumbuk botok ini tidaklah main-main dalam hal mengusir semua hama baik yang kelihatan maupun tidak kelihatan yang datang mengganggu petani. Inilah sebabnya tuturan ritual ini di ucapkan tua adat sampai dua kali untuk menandakan bahwa alu yang bersentuhan dengan keras itu menyiratkan bahwa roh leluhur sangatlah menjaga ketat kebun, ladang serta sawah dari petani . Hal ini diperkuat dengan kutipan tuturan ritual seperti berikut; ‘ rowo dogiengtakigei ‘ artinya ayam atau burung akhirnya lari dan tidak berani datang lagi . Maksud dari tuturan ini bahwa begitu sangat ketakutannya hama penyerang lahan petani ketika mendengar bunyi-bunyian seperti bunyi alu dua yang bersentuhan dengan keras .

TAHAPAN NENG JING

Bagian Pendahuluan
Pada tuturan NJ ini peneliti mengamati adanya suatu bentuk penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang terlihat dari tuturan awal NJ ini di mana tua adatnya menaikan pujian berupa permohonan agar sekiranya Tuhan mau datang bersama-sama mereka untuk memberkati hasil ladang, kebun serta sawah petani yang berupa jagung, kacang-kacangan, ketimun, padi , labu, botok dan jagung Rote sehingga mereka bisa mendapat hasil panen yang baik lagi di tahun yang akan datang. Tuturan yang dijadikan bagian pendahuluan oleh peneliti sesuai penyampaian dari tua adat yaitu sebagai berikut.
Lantal kari ayeki
berkat padi unggul
berkat berupa padi unggul
Marang fat kamolaikiu
jangung besar ketimun besar
jagung yang besar dan ketimun besar
Silan takoi malampatei
kacang panjang kacang buncis
kacang panjang serta kacang buncis
Ami nu gamuorro…
(Tuhan) minta 2 TG 1 JM diberikan kelimpahan….
Tuhan kami minta untuk diberikan kelimpahan…
‘berkat berupa padi unggul, jagung besar,ketimun besar, kacang panjang serta kacang buncis, Tuhan kami minta untuk diberikan kelimpahan’
Pada data ini juga tua adat menyampaikan tuturan ritual NJ pada kalimat terakhir tuturan yang berbunyi ; ‘ Ami nu gamuorro… ‘ artinya Engkau (Tuhan) kami minta untuk diberikan kelimpahan…Maksud yang tersirat dari kalimat ini juga tentunya sangat jelas sebagai bentuk ungkapan permohonan berkat agar Tuhan selalu memberikan berkat-Nya yang melimpah bagi para petani bukan hanya untuk tahun ini saja hasil panen mereka baik tetapi juga mereka memohon agar di tahun –tahun berikutnya hasil panen petani menjadi lebih baik lagi dan berkelimpahan. Bahkan lebih dari pada itu kata yang disebut oleh tua adat dalam tuturan di kalimat ini yaitu ‘Ami” tentunya memiliki arti yang sangat dalam bahkan menggugah hati Tuhan, yang menyiratkan bahwa warga memanggil Tuhan adalah sahabat mereka sendiri yang sudah menyatu dalam acara ritual itu, sehingga mereka satu rumpun warga tani itu memanggil-Nya dengan panggilan ‘saudara atau dengan sapaan pergaulan sehari-hari dipanggil Engkau ’, yang disebut dalam kata ‘Ami’ arti terikatnya ‘Engkau’ menunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa’ .

Bagian Isi
Marangvat, kamolakiu
Jagung biji besar, ketimun besar
Jagung biji besar dan ketimun besar
malang vati
luar biasa jagung
jagung yang luar biasa
je serang bukwe
di negeri seberang
di negeri yang jauh
Poring por paneng
Burung kenari terbang berbuat atau lakukan
burung kenari terbang membawa bekal
gari mirang rolamang kiakmang
seperti datang munculkan diri 2JM
bagaikan hadir disini dan memunculkan rupamu
Avui put, Kalokwe
nama kampung, nama kampung
Avui put dan Kalokwe
mie osei
datang turun
datang turun di tempat ini
Mur aloli, Agala, Etaga
Nama kampung, nama tempat, nama tempat
Mur aloli, Agala dan Etaga
sie englor lamang malatai
datang 2TG terus pinggir pantai
Engkau datanglah segera terus menuju kemari
gadabes pitatang gepane
menyirami 1 JM POSS punya tangan terima
memberikan berkat pada kami
‘Jagung biji besar dan ketimun besar, jagung yang luar biasa di negeri yang jauh dibawa oleh burung kenari bagaikan hadir disini dan memunculkan rupamu di Avui put dan Kalokwe terus menuju ke Mur aloli, Agala dan Etaga dan engkau menuju ke pesisir pantai untuk memberikan kami berkat ‘.
Dari data yang disajikan di atas peneliti menemukan adanya permohonan berkat yang disampaikan oleh tua adat lewat lego-lego laki-laki yang sementara mengelilingi mesbah yang menyiratkan suatu permohonan berkat berupa panen hasil yang baik dan berlimpah seperti jagung biji besar dan ketimun besar, jagung yang luar biasa yang diberikan oleh para leluhur atau dewa mereka agar mereka pun merasa senang dan bahagia melakukan acara ritual itu . Tentunya permohonan hasil panen yang baik itu mereka minta kepada leluhur dari tempat para leluhur berdiam atau alam roh. Ini dikarenakan oleh persepsi warga bahwa di alam para leluhur banyak terdapat berkat-berkat terutama hasil panen yang melimpa dan tidak pernah berkekurangan sehingga muncullah tuturan seperti ini; ‘ je serang bukwe , poring por paneng ‘ artinya dari negeri yang jauh burung kenari terbang membawa bekal. Penggalan tuturan ini menyiratkan bahwa roh leluhur atau dewa di daerah itu diumpamakan seperti burung kenari yang kalau di Yunani Dewa Zeus diumpamakan seperti burung elang. Inilah yang terjadi di Desa Lakatuli saat tuturan tua adat disampaikan bahwa burung kenari itu terbang dari negeri yang jauh. Pada pengertian kata ‘dari negeri yang jauh’ ini menyiratkan bahwa dewa mereka datang seperti burung kenari (hewan ini paling banyak ada di Kabupaten Alor) yang datang dari negeri jauh artinya negeri itu tidak pernah diketahui oleh siapapun hanya dewa saja yang tahu. Makanya warga berpikir bahwa negeri yang jauh itu merupakan tempat di mana dewa itu berdiam atau tempatnya para leluhut atau para dewa tinggal (alam roh).

Bagian Penutup
Sapaliko
Nama dewa
Mani sapaliko
Nama dewa
Mailaka
Nama dewa
Maireya
Nama dewa
mirang padung bata
datang bulir besar
datang bawa hasil kebun yang baik
mienu talip
datang kepada 1JM berikanlah
segeralah datang berikan kepada kami hasil kebun terbaik
nutamai
turunlah
hadirlah sekarang di sini
‘Sapaliko, Mani Sapaliko, Mailaka, Maireya datang bawa hasil kebun yang baik, segeralah datang berikan kepada kami hasil kebun terbaik ,hadirlah sekarang di sini ‘.
Pada data ini sebagai data di bagian penutup ini, yang menyiratkan atau memaparkan tentang penyembahan atau pemujaan kepada para dewa atau leluhur yang dituturkan oleh tua adat sangatlah sakral, sebagai bentuk akhir tuturan di ritual adat Nj ini yang merupakan suatu penyembahan kepada seluruh roh leluhur atau para dewa yang telah memberikan berkat mereka dari turunan ke turunan atau generasi ke generasi sampai saat ini. Penyebutan nama dewa-dewa mereka itu sebagai bentuk rasa hormat mereka kepada penyertaan yang diberikan oleh para dewa kepada warga setempat yang dirasakan selama ini khususnya hasil panen yang baik di ladang, kebun dan sawah mereka setiap tahun. Pemanggilan nama para dewa ini tidak berdasarkan atas tingkatan kekuatan spiritualnya, melainkan rasa hormat warga terhadap para dewa yang disebut oleh tua adat setempat sebagai pemberi berkat bagi warga.

TAHAPAN AMUNG LUK

Bagian Pendahuluan
Di dalam bagian pendahuluan ini ditemukan adanya suatu bentuk pepatah atau peribahasa lama dari orang-orang tua dulu yang mengatakan ‘kelapa seperti hati, satukan campur menjadi satu’ dalam bahasa Abuinya yaitu : ‘Wata te ton, tokabul tokamai’, sehingga membuat tuturan ini dipahami sebagai tuturan pemersatu warga dari kampung sebelah dan warga setempat yang sama-sama bersatu dalam ritual adat Amung Luk dalam sehati sejiwa mengangkat hati bersama-sama untuk lego-lego.

Bagian Isi
Nedi tuoki neng
1 TG nama kampung laki-laki
Saya laki-laki dari Tuoki
wero nei navona reya
di sana 1 TG sono itu
di sanalah (Tuoki) saya terlelap
tade nawesang
tidur pulas
istirahat total
‘Saya laki-laki dari Tuoki, di Tuoki saya terlelap dan tertidur pulas’.
Dari data ini yang disajikan di atas di dapati bahwa adanya penyampaian dari tua adat bahwa ada seorang laki-laki dari Tuoki sementara tertidur lelap di kampung halamannya di Tuoki. Ini menunjukan bahwa seorang laki-laki dari kampung Tuoki ini adalah tetangga dekat dari kampung sebelah yang akan melaksanakan ritual Amungtape sebagai mana nanti akan dijelaskan pada tuturan ritual berikutnya sebagai data pendudukung.

Bagian Penutup
Ne or beici e nerata
1TG panggil 2TG bilang 2TG 1TG punya cucu
Saya panggil engkau itu saya punya cucu
Enorti neekuta
2TG panggil saya 1TG 2TG punya Opa
engkau panggil saya opa
gedogo wai noapakang li, lak beka tanga beka ogapiat
itu yang 1TG mau pesan lagi, kata-kata sembarang yang tidak baik dibuang
satu lagi yang saya mau pesan bahwa, kata-kata sembarang tidak usah dipakai
‘Saya panggil engkau itu saya punya cucu, engkau panggil saya opa dan satu lagi yang saya mau pesan bahwa, kata-kata sembarang tidak usah dipakai’.
Dalam penyajian data ini di atas ditemukan adanya bentuk sapaan yang terhormat dan sopan santun yang ditunjukan oleh leluhur dari dulu untuk dilaksanakan sekarang oleh orang-orang muda saat ini seperti pemanggilan sapaan bagi ayah dari ayah kita yaitu Ba’i atau Opa , sedangkan kita dipanggil cucu oleh Opa atau Ba’i kita. Itu sudah mentradisi dalam budaya masing-masing daerah . Karena kita sangat akrab dan menjaga etika serta sopan santun maka dengan penuh kasih sayang orang yang kita panggil Ba’i atau Opa memberi nasehat atau pesan kepada generasi muda atau cucunya bahwa ucapan yang kosong atau tidak baik dan sembarangan tidak usah dipakai dan ditiru. inilah salah satu bentuk kasih sayang seorang Opa kepada cucunya yang sangat berfaedah sekali bagi kehidupan generasi muda. Inilah bentuk kasih dari leluhur agar kita generasi muda dapat mempelajari nasehat dan pesan dari orang-orang bijak dan berhikmat.

MAKNA TUTURAN RITUAL AMUNGTAPE

Makna Religius
Masyarakat di Desa Lakatuli dusun Padailaka percaya dan meyakini peran leluhur sebagai perantara atau pemberi berkat kepada warga sekitar selain doa mereka kepada Tuhan Yang Mahaesa, namun lebih dari itu warga setempat merasa bahwa roh nenek moyang mereka atau leluhur mereka dan dewa-dewa mereka dapat mendengarkan doa turunannya dan dapat memberi berkat atau mengabulkan setiap permohonan dari warga yang disebut anak cucunya. Hubungan manusia (anak-cucu) dengan leluhur dipelihara dengan baik yang diwujudkan dalam berbagai upacara adat termasuk dalam ritual Amungtape dengan tahapan-tahapannya yaitu; Amung Kala Tape, Neng Jing dan Amung Luk .

Makna Sosiologis
Makna sosiologis bertautan dengan hubungan antara individu dalam kehidupan bermasyarakat. Seluruh rangkaian upacara Amungtape pada umumnya bermakna sosiologis karena kegiatan Amungtape merupakan penjalinan hubungan antara semua warga masyarakat dalam satu Desa yaitu Desa Lakatuli di Dusun Padailaka . Ini terungkap dan terurai lewat data-data ritual khusus tahapan Amung Luk secara keseluruhan karena kental dengan makna sosialnya, berikut ini yaitu:
Neluatai etateni reya
1TG kasi bangun itu
saya membangunkan
Beti etamoti ni rinai womagati
Pemuda generasi muda 1JM diantara 2JM lego-lego
Hei generasi muda kami diantara kamu sedang lego-lego
‘ saya membangunkan semangat pemuda saat berada diantara mereka untuk lego-lego bersama’
Pada data ini menyiratkan makna bahwa jiwa sosial dari laki-laki Tuoki ini timbul karena adanya panggilan gong dan moko dari ritual untuk pergi ke acara tersebut dan membuat semangat dari pemuda – pemudi menjadi bangkit kembali dari rasa jenuh mereka. Tentunya laki-laki dari Tuoki ini juga seorang yang sudah berumur dan tahu persis acara Amungtape ini, makanya dia datang dan angkat semangat pemuda-pemudi di kampung tempat berlangsungnya acara ritual Amungtape.

Makna Didaktis
Makna didaktis terungkap dalam bentuk larangan-larangan . Karena itu, makna didaktis terungkap melalui penggunaan kata ‘ tidak’ atau ‘jangan’ sebagaimana dalam tuturan adat Amungtape yang memuat makna didaktis yang tidak sembarangan dicantumkan dalam tuturan ritual. Satuan kebahasaan yang menyingkap makna didaktis dapat dilihat pada tuturan berikut.
Ne or beici e nerata
1TG panggil 2TG bilang 2TG 1TG punya cucu
Saya panggil engkau itu saya punya cucu
Enorti neekuta
2TG panggil saya 1TG 2TG punya Opa
engkau panggil saya opa
gedogo wai noapakang li, lak beka tanga beka ogapiat
itu yang 1TG mau pesan lagi, kata-kata sembarang yang tidak baik dibuang
satu lagi yang saya mau pesan bahwa, kata-kata sembarang tidak usah dipakai
‘Saya panggil engkau itu saya punya cucu, engkau panggil saya opa dan satu lagi yang saya mau pesan bahwa, kata-kata sembarang tidak usah dipakai’.

Makna Estetika
nal makila esie wotirei tipur do
sesuatu yang kuno 2TG datang cari tahu ini
budaya yang hampir punah engkau datang cari tahu
wepuna dong galor
pegang terus
lestarikan budaya itu
ne woawei peida aweidomagi
1TG kasih ingat 2JM 2TG punya telinga mendengar
saya kasih ingat kamu untuk engkau bisa mengerti
‘budaya yang hampir punah engkau datang teliti , lestarikan budaya itu, saya kasih ingat kamu untuk engkau bisa mengerti ‘.
Pada data di atas ditemukan adanya pernyataan dalam tuturan oleh tua adat yang mengatakan bahwa generasi penerus atau kaum muda harus dapat menjaga dan melestarikan budaya yang sudah dari turun-temurun dilestarikan ini agar tidak hilang atau punah ditelan zaman. Bahkan perintah leluhur maupun orang tua ini diingatkan dengan tegas kepada kaum muda agar jangan lupa menjaga dan melestarikan budaya di daerah mereka terutama budaya Amungtape.

NILAI TUTURAN RITUAL AMUNGTAPE

Nilai Religius
Secara spesifik , nilai religius dikaitkan dengan agama yang dipandang sebagai suatu tindakan simbolik. Agama berkaitan erat dengan ritual karena ritual itu sendiri sesungguhnya merupakan bagian dari perilaku beragama, (Dhavamony, 1995: 67).

Sub nilai keyakinan akan Tuhan
Dalam tuturan ritual Amungtape , peran Tuhan dapat diamati dan tampak dari data-data yang akan disajikan oleh peneliti berikut ini.
Netula ye… bala miye mirang ngo…
Tuhan 1TG POSS ya… datang lah kiranya oh…
Ya Tuhanku datanglah kiranya oh…
Netula ye… bala miye mirang ngo…
Tuhan 1TG POSS ya… datang lah kiranya oh…
Ya Tuhanku datanglah kiranya oh…
‘Ya Tuhanku datanglah kiranya oh…ya Tuhanku datanglah kiranya oh…’

Sub nilai keyakinan akan para leluhur
Dalam tuturan ritual Amungtape peran leluhur selalu tampak pada data-data tuturan ritual Amungtape sebagai berikut.
Amakang ba api natu
manusia yang ada lesung
peserta yang berada di dekat lesung
wobalei natiti do
kelilingi/melingkar berdiri ini
berdiri mengelilingi ritual AMT

Pikuta pirata
POSS1 JM nenek moyang POSS 1JM turunan
kita punya nenek moyang sampai ke kita punya turunan
Dewo vanga ti
3 JM berkata bahwa
mereka berkata bahwa
ruwo gesiei ba
ayam/burung usir bilang
untuk mengusir ayam dan burung yang merusak
‘Peserta yang berada di dekat lesung berdiri mengelilingi ritual, kita punya nenek moyang sampai ke kita punya turunan berkata bahwa itu untuk mengusir ayam dan burung yang merusak lahan tanaman’.

Nilai Sosiologis
Nilai sosiologis merupakan nilai hubungan manusia dengan sesamanya dalam interaksi dan komunikasi sehari-hari dalam lingkungan masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, nilai sosial berfungsi untuk menata perilaku hidup manusia menuju ke kehidupan yang harmonis. Nilai sosiologis tersirat dalam tuturan ritual Amungtape dan mengandung beberapa subnilai, yaitu nilai kebersamaan dan kekeluargaan.

Sub nilai kebersamaan dan kekeluargaan
Masyarakat di Desa Lakatuli di Dusun Padailaka menyadari esensi dan nilai kebersamaan itu dalam berbagai aspek kehidupan termasuk nilai kebersamaan dalam ritual Amungtape. Subnilai kebersamaan dalam tuturan ritual Amungtape dapat dilihat pada tuturan berikut.
Amakang ba api natu
manusia yang ada lesung
peserta yang berada di dekat lesung
wobalei natiti do
kelilingi/melingkar berdiri ini
berdiri mengelilingi ritual AMT
Pikuta pirata
POSS1 JM nenek moyang POSS 1JM turunan
kita punya nenek moyang sampai ke kita punya turunan
Dewo vanga ti
3 JM berkata bahwa
mereka berkata bahwa
ruwo gesiei ba
ayam/burung usir bilang
untuk mengusir ayam dan burung yang merusak
‘Peserta yang berada di dekat lesung berdiri mengelilingi ritual, kita punya nenek moyang sampai ke kita punya turunan berkata bahwa itu untuk mengusir ayam dan burung yang merusak lahan tanaman’.
Pada data ini di atas didapati oleh peneliti makna kebersamaan dan kekeluargaan yang begitu kentara dan erat saat dimulainya ritual Amungtape di mana saat peserta ritual membuat lingkaran saling merangkul satu sama lain mengelilingi mesbah di situlah letak hubungan saling kekeluargaan dan kebersamaan yang di pupuk saat dibunyikannya gong dan moko untuk lego-lego bersama. Bahkan bukan hanya itu saja tetapi juga penyertaan leluhur turut serta dalam ritual yang sakral ini.

SIMPULAN
Tuturan ritual Amungtape dilaksanakan pada panen perdana setiap tahun di mana jagung, botok, padi, ketimun ,dan lain-lain yang terdiri dari tiga tahapan, yang masing-masing tahapan dipilah dalam tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, bagian isi dan bagian penutup.

Bentuk Tuturan Ritual Amungtape
Pengkajian bentuk teks tuturan ritual Amungtape mengacu pada superstruktur yang berbicara tentang kerangka teks yang terdiri atas bagian pendahuluan, isi, dan penutup. Ketiga bagian ini saling berhubungan erat dan merupakan teks yang utuh dan runtut , dan tercantum dalam teks tuturan ritual Amungtape, yang terdiri atas empat tahapan tuturan, yakni Amung kala tape, Neng jing dan Amung luk . yang masing-masing tahapan dapat dipilah menjadi tiga bagian, yaitu; bagian pendahuluan, isi dan penutup.
Pada bagian pendahuluan , penutur atau tua adat akan menyampaikan tuturan ritual berupa pemanggilan alat-alat ritual berupa weguor, natung, dol aki, kala dan lain-lain yang akan membuat roh leluhur mengerti bahwa acara Amungtape akan segera dimulai maka warga membunyikan gong dan moko membuat roh leluhur masuk ke suara gong dan moko itu mengakibatkan bunyi yang timbul membuat warga tetangga yang jauh di kampung sebelah segera bangun dan bergegas datang untuk bergabung dalam ritual ini. Penjelasan ini tentunya merupakan tahapan pembukaan tahapan ritual AKT. Sedangkan pada tahapan Neng Jing, di mana ritual ini khusus untuk kaum laki-laki menyiratkan di bagian pendahuluan dengan adanya pemujaan atau puji-pujian penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai bentuk permohonan berkat yang tiada berkesudahan saat penuturannya oleh tua adat , membuat Tuhan yang disembah dapat memberikan berkat dan kesejahteraan yang melimpah bagi warga tani. Selanjutnya bagian pendahuluan untuk tahapan Amung Luk menyiratkan tentang persatuan atau kebersamaan serta kekeluargaan yang kuat dari warga peserta ritual kepada sesamanya.
Pada bagian isi di tahapan AKT penutur menyampaikan bahwa acara ritual dimulai dengan warga mengelilingi mesbah dan dua orang yang menumbuk botok di mana warga saling merangkul dengan erat antara yang satu dan yang lain membentuk lingkaran di sekitar lesung dan mesbah lalu dua orang menumbuk botok di dalam lingkaran itu sambil tua adat sementara menuturkan ritual adat AKT itu. Sedangkan untuk bagian isi dari tahapan NJ ini yaitu warga memohon berkat berupa hasil panen yang baik kepada dewa dari alam roh menuju ke alam manusia di masyarakat Desa Lakatuli di Dusun Padailaka agar mereka peroleh kelimpahan. Selanjutnya pada tahapan akhir AL di bagian isi ini ditemukan adanya pesan – pesan atau nasehat yang diberikan leluhur atau orang tua kepada generasi muda untuk dapat mempertahankan budaya Amungtape yang ada ke generasi – generasi yang akan datang lagi dan mempunyai nilai dan pesan moril yang baik bagi warga di Desa Lakatuli di Dusun Padailaka.
Pada bagian penutup ,di tahapan AKT , penutur menyampaikan adanya penguatan identitas atau nama sesungguhnya dari ritual yang dilaksanakan itu yaitu Amungtape . Sedangkan di tahapan NJ bagian penutup ,penutur menyampaikan pemujaan dan penyembahan kepada seluruh Dewa-dewa atau roh leluhur untuk memberikan berkat bagi warga tani. Selanjutnya tahapan akhir AL di bagian penutup , penutur menyampaikan nasehat dan saran kepada generasi muda agar jangan lupakan budaya, adat istiadat , kampung halaman dan nasehat orang tua saat meniti ilmu dan membawa hasil yang baik bagi Desa Lakatuli di Dusun Padailaka agar identitasnya menjadi nampak di mata masyarakat luas.

Makna Tuturan Ritual Amungtape
Berdasarkan bentuk yang diemban, maka makna yang terkandung dalam tuturan ritual Amungtape adalah (1) makna religius, (2) makna sosiologis, (3) makna didaktis, (4) makna estetika, (5) makna yuridis.

Nilai Tuturan Ritual Amungtape
Berdasarkan makna maka nilai yang terkandung dalam tuturan ritual Amungtape adalah (1) nilai religius, (2) nilai sosiologis, (3) nilai persatuan. Nilai religius memiliki empat sub nilai, yaitu keyakinan akan peran Allahsala, keyakinan akan peran leluhur, kesadaran diri, kebenaran sebagai dasar kemanusiaan. Nilai sosiologis meliputi tiga sub nilai yaitu kebersamaan dan kekeluargaan.

SARAN
Penelitian ini merupakan penelitian awal yang mengkaji bentuk, makna dan nilai tuturan ritual Amungtape .Hasil penelitian ini menunjukan bahwa masih banyak masalah yang dapat diteliti dan dikaji melalui fakta bahasa, sejarah , sosiologi, dan hukum adat. Oleh karena itu , disarankan kepada:
1. Pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Alor dan instansi terkait, dan warga di Desa Lakatuli di Dusun Padailaka dalam kaitan dengan keberadaan tuturan ritual secara keseluruhan dari Amungtape yang diambang kepunahan, hendaknya mempertimbangkan pemberdayaan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam ritual secara keseluruhan dalam ritual Amungtape agar tetap hidup dan berkembang sesuai substansi yang sebenarnya dalam realitas sosial budaya guyub tutur etnik Padailaka pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
2. Lembaga pendidikan formal, khususnya dari guru tingkat SD sampai sekolah lanjut atas agar dapat menanamkan rasa cinta dan penghargaan yang tinggi kepada anak didik terhadap bentuk ,makna dan nilai dalam tuturan ritual Amungtape . Dengan penghayatan yang mendalam tentang bentuk ,makna dan nilai dalam tuturan ritual Amungtape , diharapkan anak didik dapat termotivasi untuk meningkatkan penghargaan terhadap budayanya sendiri, sekaligus menanamkan rasa cinta terhadap daerah mereka sendiri dan budayanya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa Putra, H.S. 2006. Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Kepel Press.
Alwi, dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta:
Depdikbud RI
Aminuddin. 2000. ‘Dekonstruksi dan Proses Pemaknaan Teks’. Dalam kajian Seba Linguistik: Untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa. Kaswanti Purwo, Bambang (Ed.).Jakarta: Gunung Mulia.
Bahar, M. 2005.” Epistemologi Kebudayaan: Kasus Seni.”Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 055, Tahun ke-11, Juli 2005. Jakarta: Depdikbud.
Brown, D. H. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Edisi Kelima. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Bourdieu, P.1977. Outline Of Theory Of Practice . Cambridge: Cambridge University.
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan publik, dan ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana.
Cassirier, E.1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esai Tentang Manusia.
diterjemahkan oleh Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 Komentar

    1. Begitulah pak hayat. Pemred telah mendapatkan izin dari yang bersangkutan untuk memposting hasil penelitian ini.

      terima kasih opahayat

      Pemred.