Pahitnya Malam, Tangis Merebak di Ruang Sempit RSUD Naibonat

Lauda Marthareda Ora, S.Pd

Mengetahui datangnya malam ketika matahari terbenam. Bila bulan dan bintang tanpa halangan mereka menjadi penghias jagad maya. Saat sebahagian makhluk hidup perlu beristirahat, sebahagian lainnya melakoni hidup justru pada malam hari. Semuanya itu normal dan berjalan alamiah.

Sang waktu bergulir katanya 24 jam yang di antaranya digolongkan untuk waktu bekerja dan beristirahat. Dalam waktu beristirahat sekalipin, masih ada orang yang secara wajar dan wajib bekerja, di antaranya atas alasan kemanusiaan.

Bacaan Lainnya

Malam tersedia dengan ritme kisah berkesannya. Ia tidak mengubah haluan dirinya, tetap berlalu hingga menjelang fajar. Saat itu ia menyapa pagi lalu lenyap. Padahal sepanjang malam ada insan mengukir di keremangan pikir hingga keceriaan dan kecerahan rasa Pada keremangan pikir, kiranya di sana lampu akan padam bila minyak tak terisi lagi. Saat itu ia bakal padam. Gelap gulita membungkus dan tangis pun merebak.

Kami masih di sini ketika waktu menunjukkan angka perpisahan hari. Pukul nol nol. Pada saat itulah detak jantung terakhir berdenyut. Lalu sang dokter berkata “Bapa, kami sudah maksimal berusaha. Adik sudah jalan.”

Tangis merebak di ruang sempit ini. Semuanya menangis. Dalam waktu sejam berikutnya sebahagian para muda teman-temannya telah berhasil menembus gulita dan tiba di ruang gemertak gigi.

Pahit. Malam terasa pahit.

Selamat jalan anak manis. Kami tak dapat menahan dirimu. Yang Maha Kuasa berkuasa atas hidup dan matinya milik-Nya.

Lauda Marthareda Ora, S.Pd

Naibonat, 16 Januari 2021 (02.15)

Penulis: Heronimus Bani

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5 Komentar