Koster di Gereja (GMIT)

Heronimus Bani

KOSTER DI GEREJA (GMIT)

Heronimus Bani
Suatu ketika, dalam dua tahun yang lalu, saya menyarankan kepada Majelis Klasis Harian (MKH) Amarasi Timur, bila berkenan mengadakan suatu kebaktian atau satu kegiatan yang melibatkan para koster dari jemaat-jemaat se-Klasis Amarasi Timur. Sampai tulisan ini dibuat, MKH belum mewujudkan saran ini, karena terkendala, satu program mesti dibahas matang oleh sidang majelis klasis. Saya pastikan, bahwa itu hanya saran, apalagi disampaikan secara informal, sehingga tidak digubris pun bukan sesuatu yang menjadi persoalan pada saya yang menyarankan.

Bacaan Lainnya

Nah, pikiran dan perasaan awam terhadap jabatan koster secara gamblang yaitu jabatan dan tugas koster hanyalah sesuatu yang kecil di dalam gereja. Koster, bertugas membersihkan ruang kebaktian dan halaman gereja. Tugas lanjutannya adalah menabuh lonceng gereja tanda akan kebaktian/ibadah. Bila ada kegiatan yang membutuhkan lonceng gereja dibunyikan, maka kosterlah yang diminta membunyikannya. Bila ada kematian, koster diminta membunyikan lonceng gereja. Bila ada tugas lain yang diberikan oleh Majelis Jemaat Harian (mis: Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan anggota), ia sigap melakukannya. Sering orang berkata, ”Lu koster sa ju… .“ Kata-kata ini sangat mengecilkan jabatan koster. Dampaknya, para koster pun merasa sebagai orang rendahan. Tapi, berapa banyak orang yang mau “menyerahkan” diri untuk tugas kecil itu?

Saya berpikir agak berbeda. Mengapa? Nampaknya tugas yang dianggap sederhana dan kecil itulah, maka perhatian terhadap mereka pun dianggap “kurang penting” sekalipun dibutuhkan. Jika demikian, mengapa  para koster tidak dibuatkan program misalnya, pembinaan koster. Mula-mula melalui suatu kebaktian, lalu diikuti pembinaan berkelanjutan, sebab koster itu satu jabatan dan fungsi gerejawi.

Pembaca. Mari membayangkan. Jika satu jemaat (gereja di GMIT) punya satu koster saja. Lalu suatu ketika si Koster sakit demam atau sakit kritis dan  tidak sempat mengabarkan kepada MJH, lalu lonceng gereja tidak dibunyikan untuk kebaktian. Siapa yang disalahkan? Pasti si Koster. Anggota jemaat pasti kecewa dan marah; apalagi anggota MJ. Mereka akan makan gigi kalau koster tidak membunyikan lonceng gereja. Anggota jemaat akan sangat kecewa dan mempersalahkan koster jika mendapati bangku,kursi dan ruang ibadah berdebu. “Koster kerja apa ko sonde basapu, sonde pel lante, sonde lap bangku, kursi, sonde lap kaca jendela?” Kira-kira begitulah suara-suara sumbang dari mereka yang menganggap koster kurang kerja.

Dalam pengalaman hidup di tengah-tengah masyarakat pedesaan dan terutama menjadi anggota jemaat dan ketika menjadi anggota MJ, saya melihat dan merasakan hal itu. Koster bagai pesuruh kelas bawah. Ia “berlari”  untuk mengurus rumah tangganya sebagai kepala keluarga atau ibu rumah tangga, sambil pikiran, perasaannya tetap diarahkan ke gedung gereja, halaman gereja dan lonceng gereja. Ia selalu harus ada di sekitar lingkungan/kintal gereja, jika ada rumah koster ia menetap disana. Jika tidak ada rumah koster, sehingga ia tinggal di luar kompleks gereja, maka ia pun harus selalu berada di rumah.

Suatu ketika koster di tempat saya mendapat kabar duka dari keluarganya  di kota Kupang. Saya pun mendapat kabar yang sama. Si Koster “mengeluh” karena harus datang melayat dan hadir dalam upacara subat, sementara pada hari besoknya, ada kegiatan di gereja. Ia harus memilih antara pergi melayat atau tidak. Lalu, saya minta si Koster ini pergi ke kota bersama saya dengan berkendaraan sepeda motor. Di tempat kedukaan, sesudah upacara pemakaman, kami bergegas pulang, sekalipun si Koster mestinya tinggal dulu karena ia bagian dari keluarga duka itu. Di perjalanan, ia menceritakan suka-dukanya menjadi koster.

Saya sangat bersimpati padanya. Lalu, terpikirlah untuk menyarankan kepada MKH Amarasi Timur untuk memprogramkan satu kegiatan (atau kebaktian) yang khusus dan khas para koster. Karmana ko?

[1]Sebuah refleksi menyongsong 70 tahun GMIT

Pos terkait