Keteladanan dari Orang Mulia, Guru

Heronimus Bani

Keteladanan dari Orang Mulia, Guru

Heronimus Bani

Dua puluh lima November dua ribu tujuh belas, hari dimana seluruh guru di Indonesia memperingati hari Guru Nasional (HGN) dan hari ulang tahun organisasi profesinya yang ke tujuh puluh dua. Hari bersejarah bagi para guru. Ya! Dalam moment itu, ada harapan refleksi dan introspeksi.

Tema peringatan HGN tahun 2017, membangkitkan kesadaran kolektif guru dalam meningkatkan disiplin dan etos kerja untuk penguatan pendidikan karakter. Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Pusat, Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd menyampaikan sambutan tertulis. Sambutan ini diunduh oleh semua pengurus PGRI pada semua level bahkan pada panitia-panitia.

Panitia Pelaksana Peringatan HGN dan HUT PGRI ke-72 di Kecamatan Amarasi Selatan Kabupaten Kupang, mengunduhnya dan dibacakan oleh Kepala UPT Dinas P & K Kecamatan Amarasi Selatan dalam upacara tersebut. Nuansa keteladanan sangat kental dalam sambutan ini. Guru adalah seorang panutan bagi siswanya baik dilingkungan sekolah maupun di luar sekolah, dalam bahasa jawa ada istilah “guru digugu dan ditiru”, itu mempunyai arti bahwa seorang guru itu dipercaya oleh muridnya dan diikuti setiap tindak tanduknya. Berarti apapun yang dikatakan oleh seorang guru pasti akan dipercaya oleh muridnya, dan apapun yang lakukan oleh guru dalam mendidik pasti akan diikuti juga oleh muridnya.

Selain nuansa keteladanan, Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Pusat, di akhir sambutan, menyebut para guru sebagai orang-orang mulia. Wah, ungkapan yang fantastis. Ungkapan ini pasti telah menggema di se-antero republik ini ketika diperdengarkan dalam upacara. Ungkpan ini akan menjadi trending topik para guru di sela-sela kesibukan tugas mengajar dan mendidik.

Pertanyaannya, kemuliaan seperti apa? Apakah orang “memuliakan” guru di zaman milenial ini? Apakah jabatan yang professional ini dimuliakan? Ataukah jabatan yang professional ini hanyalah tempat yang menjanjikan masa depan?

Banyak kaum muda dewasa ini ingin menjadi guru. Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) semisal: FKIP dan STKIP terus membuka pintu penerimaan mahasiswa bakal calon guru masa depan; pada sisi berikutnya menelorkan calon-calon guru untuk zaman ini pula. Lalu mereka berkejaran untuk mendapat tempat di kelas-kelas baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sayangnya di pedesaan semakin banyak sekolah dibuka, justru semakin berkurang siswanya, oleh karena lahirnya kampung-kampung keluarga berencana.

Pada tataran para guru sendiri sebagai orang-orang mulia dan yang dapat diteladani, mereka dapat saja menodai sendiri kemuliaan itu dengan sikap, tindak, dan tutur yang kurang terpuji, sehingga ada yang harus berhadapan dengan kasus-kasus tertentu yang menurunkan derajat kemuliaan guru. Dapat pula mulianya para guru tergores karena layanan kepada peserta didik yang kurang professional, dan hubungan dengan lingkungan di sekitar sekolah kurang nyaman.
Seorang guru, yang tergolong orang mulia, dapat menjadi terhormat dan mulia bila menempatkan diri sebagai kaum intelektual di sekitar lingkungan kehidupannya. Sayangnya, tidak semua guru dapat tampil sebagai kaum itu. Padahal, bila saja hal itu terjadi, tempat terhormat dan prioritas akan mereka peroleh di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Semua ini jika terjadi di lingkungan pedesaan dimana masyarakat masih kental dengan rasa hormat dan sifat patriak.

Sementara di perkotaan, guru dipandang hanya sebagai profesi atau pekerjaan yang menghasilkan sejumlah uang gaji untuk menata ekonomi keluarga selama sebulan. Bila ada kekurangannya, maka les privat akan memberi tambahan penghasilan. Lalu, guru diterima sebagai orang upahan. Kemudian, kemuliaannya berada di posisi mana jika menjadi orang upahan?

Posisi Guru, akan terus menjadi polemic sepanjang upaya dan kerja keras mencapai visi bangsa Indonesia,mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pos terkait