UANG NEGARA HASIL KORUPSI DIKEMBALIKAN TIDAK MENGHENTIKAN PROSES PIDANA ATAU MENGHAPUS PERBUATAN MELAWAN HUKUM

OLEH: BENIDIKTUS BOY BENU, S.H., M.H.

Leluhur bangsa indonesia (The founding father) dengan tegas menetapkan tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Bacaan Lainnya

Idealnya dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), hukum menjadi panglima artinya apa yang diatur dalam hukum harus ditaati oleh seluruh masyarakatnya, namun di Indonesia hal tersebut masih jauh dari yang diharapkan bahkan hukum terkadang dijadikan sebagai alat oleh sebagai orang (penguasa) untuk melindungi kepentingannya serta menjustifikasi suatu tindakan yang secara jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan hukum berlaku.

Di negara kita korupsi telah menjadi suatu hal yang lumrah untuk dilakukan. Bahkan korupsi di Indonesia dapat dikatakan telah membudaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai jenis tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara serta menghambat pembangunan nasional.

Korupsi juga disebabkan karena adanya penyalahgunaan kekuasaan, dimana ini terjadi dengan melibatkan upper economic class (konglomerat) maupun politik sebagai upper power class (pejabat tinggi negara) yang berkonspirasi dan bertujuan untuk kepentingan ekonomi kelompok. Secara konseptual, pada negara berkembang, pemikiran bahwa korupsi merupakan bagian dari kekuasaan, bahkan bagian dari sistem itu sendiri, menjadi tidak diragukan. Karena itu, ada yang berpendapat, penanggulangan yang terpadu adalah dengan memperbaiki sistem yang ada. Kendala dalam pengembalian keuangan Negara disebabkan oleh Abuse of Power. Kesulitan dalam pembuktian hasil dari tindak pidana korupsi yang bersinergi dengan kekuatan politik, ekonomi dan kekuatan birokrasi karenanya korupsi begitu menjadi sangat kuat dalam konteks perilaku politik dan sosial, kendala dalam pengembalian hasil korupsi ini bukan hanya pihak birokrasi untuk mencapai kepentingan sekelompok atau orang. Tetapi disebabkan oleh kekuasaan umum (pejabat birokrat) yang dapat dikatakan telah memposisikan mereka dalam status beyond the law, sehingga hukum sering dikatakan sebagai kekuatan politik saja.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka dalam konteks pengembalian aset negara hasil dari tindak pidana korupsi menjadi suatu harapan besar bangsa Indonesia sehingga upaya pengungkapan harus betul-betul dijadikan sebagai tolok ukur dalam proses Pengembalian aset negara sebagai suatu kesuksesan dari aparat penegak hukum. Jika aparat penegak hukum dalam upaya penyidikan dan penyelidikan telah menemukan adanya indikasi bahwa negara telah dirugikan karena terdapat suatu perbuatan melawan hukum dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi yang kemudian aparat penegak hukum berhasil mengembalikan kerugian Negara berdasarkan pada alat bukti sebagai tolak ukur maka perlu diberikan apresiasi yang sebesar-besarnya terhadap keberhasilan dan kesuksesan yang diraih, namun aparat penegak hukum tidak serta merta hentikan jalan proses pidana/pemidanaan. Apabila tersangka/terdakwa berusaha mengembalikan uang hasil korupsi maka dapat dikatakan berarti ada itikad baik untuk memperbaiki kesalahan. Dengan demikian bahwa pengembalian uang hasil korupsi tidak mengurangi sifat melawan hukum.

Pemberhentian Proses Penyelidikan Kasus Internet Desa di TTS

Pemberantasan korupsi difokuskan kepada tiga isu pokok, yaitu pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery). Mengacu pada ketiga isu pokok tersebut maka yang menjadi alasan Kejaksaan negeri TTS menghentikan proses penyelidikan kasus dugaan penyimpangan internet desa dikarenakan pihak ketiga dalam hal ini adalah PT. Telkom telah mengembalikan temuan kerugian negara sebagaimana hasil audit dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (Inspektorat) Kabupaten TTS dalam tenggang waktu 60 hari sebagaimana diatur dalam MOU antara Mendagri, Kejaksaan Agung dan kapolri pada 2018 lalu.

Landasan pijak kejaksaan negeri Timor Tengah Selatan terhadap MOU/nota kesepahaman sejatinya bukan merupakan dasar hukum yang menjadi suatu rujukan yang legitimate. Kenapa demikian? Karna nota kesepaham tersebut dalam interpretasinya terhadap praktek hukum yang terjadi sulit untuk dapat dibedakan mana pelanggaran administrasi dan mana pelanggaran pidana. Sementara dalam nota kesepahaman (MOU) antara Kejaksaan, Polri dan Mendagri sejatinya hanya cenderung kepada pelanggaran administrasi. Dengan demikian terhadap penghentian penyelidikan kasus internet desa oleh Kejaksaan Negeri TTS sebaiknya dengan bukti permulaan yang sudah cukup dalam proses penyelidikan harus ditingkatkan menjadi penyidikan (proses peradilan pidana).

Dalam tindak pidana korupsi, ada atau tidak adanya pengembalian kerugian negara, sepanjang ada perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, maka delik itu terpenuhi. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 2 ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Ayat (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Selanjutnya, Pasal 3 UU, bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Sehubungan dengan Kasus Internet desa yang terjadi pada Kabupaten  TTS seyogyanya telah memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam pasal 2 UU Tipikor tersebut di atas. Lebih lanjut diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghilangkan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi.

Bahwasan jika Kembalikan Uang Tak Dipidana, maka itu merupakan Bentuk Toleransi kepada pelaku Korupsi. Dengan demikian maka Berdasarkan peraturan perundangan tersebut semestinya nota kesepahaman antara Kementerian Dalam Negeri, Polri, dan Kejaksaan Agung diselaraskan dengan undang-undang yang ada agar tidak bertentangan (konflik norm).

Pada pertimbangan lain terkait dengan Nota Kesepahaman tersebut jika Jaksa mengedepankan pada hukum administrasi apabila kasus korupsi Internet desa tersebut dibawah nominal 50 juta minimal dan/atau 200 juta maksimal, maka Jaksa boleh menghentikan kasus tersebut dengan pertimbangan bahwa biaya penyelidikan dan penyidikan akan melebihi uang hasil korupsi, maka boleh dihentikan karena negara juga akan rugi dobel. Namun kasus korupsi internet desa yang terjadi di Kabupaten TTS boleh dikatakan hampir mendekati 800 juta maka semestinya tidak harus hentikan oleh Kejaksaan Negeri TTS.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi salah satu unsur Tindak Pidana Korupsi adalah adanya tindakan yang merugikan negara. Dengan adanya unsur ini maka setiap terjadi korupsi pasti merugikan negara. Dalam proses pengembalian kerugian negara dari hasil korupsi, Kejaksaan mempunyai kewajiban untuk mengembalikan kerugian uang negara melalui uang pengganti seperti yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pengembalian keuangan hasil Tindak Pidana Korupsi sudah merupakan norma yang berdiri sendiri, dengan prinsip hukum bahwa pelaku Tindak Pidana korupsi tersebut tidak boleh mendapatkan keuntungan dari hasil korupsi. Dalam konteks tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, maka perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi kerusakan dan degradasi kuantitas dan kualitas perekonomian dan mensejahterakan masyarakat yang terkena dampak dari yang diakibatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi.

Pengembalian uang hasil korupsi terhadap sanksi pidana yang dijatuhkan (terhadap pelaku) dijelaskan dalam pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999) serta penjelasannya. Dalam pasal 4 UU 31/1999 dinyatakan antara lain bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 2 dan pasal 3 UU tersebut. Kemudian, di dalam penjelasan pasal 4 UU 31/1999 dijelaskan sebagai berikut : Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan sebagai bentuk pertimbangan Hakim dalam melakukan putusan di pengadilan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Pengembalian hasil tindak pidana sering dikaitkan dengan waktunya. Bila pengembalian dilakukan sebelum penyidikan dimulai, seringkali diartikan menghapus tindak pidana yang dilakukan seseorang. Namun, bila dilakukan setelah penyidikan dimulai, pengembalian itu tidak menghapus tindak pidana.

Bagi penulis, dikembalikan sebelum atau sesudah penyidikan itu tetap melawan hukum. Misalnya saya mencuri, lalu mengembalikan barang curian sebelum orang lain tahu. Itu kan tetap tindak pidana, Pengembalian uang hasil korupsi secara sukarela oleh terdakwa biasanya menjadi alasan bagi hakim untuk mengurangi hukuman. Jadi, Pada prinsipnya adalah terdapat relevansi antara pengembalian hasil korupsi dengan sanksi pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku. Di satu sisi, pengembalian uang hasil korupsi dapat menjadi alasan bagi hakim untuk mengurangi pidana bagi si pelaku, tapi tidak menghapuskan pidananya. Demikian menurut peraturan perundang-undangan dan praktek atau kebiasaan yang berlaku. Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan kepemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.

Pasal 17 UU Pemberantasan Tipikor, selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Pidana tambahan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor: Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: 1). perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang- barang tersebut 2). pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. 3). penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. 4). pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Uang hasil korupsi yang di gunakan tersebut wajib dikembalikan oleh terpidana korupsi berupa uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Hal ini juga dapat dilihat dari Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor, yang secara implisit mengatakan adanya pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Akan tetapi pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan, tidak menghilangkan sanksi pidana.

Sejalan dengan pengaturan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Purwaning M. Yanuar dalam bukunya berjudul Pengembalian Aset Hasil Korupsi bahwa pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen pidana menurut UU Pemberantasan Tipikor dilakukan melalui proses penyitaan, perampasan, dan aturan pidana denda.

Tujuan pemberantasan korupsi salah satunya di Indonesia adalah mengembalikan kerugian negara, “Restorative Justice” merupakan salah satu konsep untuk mengembalikan uang negara. Sedangkan untuk mengembalikan uang negara melalui restorative justice tidak hanya berdiri sendiri, karena juga bagaimana merestorasi korban. Tetapi juga ada “retributive justice. Menekankan pada hukuman, yang penting orang-orang itu dihukum setimpal dengan perbuatannya yang menjadi efek jera bagi calon-calon koruptor lainnya, ada teori “distributive justice”. Ini bagaimana sesungguhnya pengembalian itu bisa dipakai sebagai restitusi. Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini, hanya fokus pada perbuatan pelaku dan tidak memikirkan bagaimana dari korban dari suatu tindak pidana.

Berdasarkan pada konsep teori di atas semestinya jaksa lebih cenderung pada prinsip kemajuan terjadi di bidang ilmu pengetahuan hukum pada akhir abad ke-20. Adapun ciri-cirinya, yakni humanitarian law, law and civilization, law as a part of human welfare, dan law and moral sehingga ada rasa keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana, yaitu korban, pelaku, masyarakat, dan bahkan pemerintah. Sekian

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *