Litani SD GMIT Noenoni di Timor Tengah Selatan

interaksi guru dan siswa SD GMIT Noenoni TTS-NTT
Litani SD GMIT Noenoni di Timor Tengah Selatan
 

Rabu, (2/10/19), saya mendapat kesempatan bersama satu tim dari Kantor Sinode GMIT berkunjung ke pedalmaan Timor Tengah Selatan. Perjalanan ini dengan misi mengantar hibah dana kepada satu unit sekolah milik gereja, GMIT di pedalaman Timor Tengah Selatan. Nama unit sekolah itu adalah Sekolah Dasar GMIT Noenoni, di Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Heronimus Bani
 
Menariknya, untuk mencapai lokasi ini kami harus menempuh perjalanan yang menurut informasi kami mengambil jalan pintas melewati arah utara di Kecamatan Molo Tengah lalu berputar ke timur ke Kecamatan Amanuban Tengah hingga tiba di Kecamatan Oenino di sana ada salah satu desa bernama desa Noenoni. Di desa inilah SD GMIT Noenoni berada.
 
Sekolah ini berdiri pada 1 September 1955. Menghitung waktu berjalan maju, maka telah lebih dari enam dekade (64 tahun) sekolah ini berdiri. Ini artinya sekolah ini telah memberi kontribusi pada pembangunan manusia di desa ini yang pada gilirannya mendukung pembangunan manusia di Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT – Indonesia.
Tetapi, apakah institusi pendidikan swasta yang bereksistensi atau saya menggunakan istilah bermerk GMIT tumbuh dan berkembang baik? Jawabannya, bagai tanaman umur panjang seperti pohon kelapa. Ketika bertunas dan berumur tiga-empat tahun buahnya sarat hingga mencapai umur di atas 20 tahun. Sesudahnya, produksinya mengalami penurunan.
Semestinya saya tidak menganalogikan institusi pendidikan dengan pohon kelapa, namun faktanya banyak sekolah swsta di pedalmaan Timor yang mengalami hal seperti itu. Ada kerinduan untuk lebih baik dari hari-hari kemarin, namun justru makin turun bahkan ada yang dialihkan kepemilikan dan managemennya ke tangan pemerintah daerah kota/Kabuapten.
Apa yang dapat dikatakan? Semangat mengurus dan menggali potensi manusia melalui institusi pendidikan swasta sangat diperkenankan oleh aturan, tapi semangat itu mesti dibarengi modal kapital yang tidak sekedar ada, tapi sebaiknya ada dalam takaran yang “limpah” sehingga dapat mengkover keseluruhan item pembiayaan. Semestinya bila sudah berkehendak mendirikan institusi pendidikan yang sifatnya privat/swasta, pada saat yang sama harapan untuk memperoleh suntikan dari pemerintah (di semua jenjang), tidak harus seratus prosen, tetapi bantuan pemerintah itu mungkin menjadi subsidi semata.
Saya menyaksikan kemarin di salah satu institusi pendidikan itu, jika hendak dikatakan “merana” akan berdosalah saya yang menulis artikel pendek ini. Itu faktanya. Pemerintah Desa Noenoni mendukung dengan membangun satu unit ruang yang akan dipakai dengan dua fungsi, ruang guru dan perpustakaan. Sementara itu ada ruang belajar yang sudah lapuk rangka atapnya.
Ada pergumulan pada kevakuman kepemimpinan dimana kepala sekolah sudah pensiun, sementara pihak yayasan belum mengambil sikap untuk menetapkan seseorang menjadi kepala sekolah, bahkan sampai kurang lebih dua tahun tanpa kepala sekolah. Tapi, patut disyukuri, kemarin pihak yayasan dalam hal ini Ketua Yayasan hadir dan dari mulutnya sendiri menetapkan seorang kepala sekolah definitif, melalui diskusi yang alot dengan para pemangku kepentingan di desa Noenoni itu.
Begitulah sekilas catatan perjalanan saya yang tersisa saya bagikan di sini.
 
By : Heronimus Bani

Pos terkait