Sejak tahun 1999 ketika saya berada di sekolah, saya menyaksikan dan ikut merasakan/mengalami apa yang disebut sebagai liburan. Saya mencoba membagi liburan itu sebagai berikut: libur hari-hari besar nasional, libur hari raya keagamaan, libur akhir semester dan akhir tahun pelajaran dan libur hari tertentu.
Libur nasional dan keagamaan biasanya sudah ditetapkan pada kalender umum dan telah menjadi pengetahuan umum, oleh karena kalender umum diberi tanda merah, di samping hari minggu. Libur hari raya keagamaan ada regulasi yang menyertainya oleh karena seringkali ada penambahan hari.Mengapa? Karena umat beragama butuh waktu untuk melakukan silaturahmi, saling berkunjung antarkeluarga, sahabat, kenalan, rekan sejawat, dan lain-lain.
Lalu, tentang liburan akhir semester dan akhir tahun pelajaran. Keduanya sama, karena dilakukan sessudah pembagian laporan pendidikan, baik pada semester pertama maupun semester keduaa. Bedanya, ketika kembali dari dari libur semester pertama, siswa kembali pada kelasnya dalam rombongan belajarnya. Sementara, libur akhir tahun pelajaran, ketika siswa kembali, mereka berpindah kelas, dan mungkin ada di antara mereka yang tertinggal (tidak naik kelas). Lalu, ada rombongan belajar yang tiada lagi karena telah dinyatakan lulus, sehingga harus meninggalkan sekolah, dan ada datang rombongan belajar baru.
Nah, bagaimana dengan libur spekulasi? Sebetulnya tidak ada libur yang demikian. Libur yang saya sebutkan sebagai libur spekulasi itu, sebenarnya hanyalah spekulasi para guru dan kepala sekolah. Jika ada regulasi (paling tidak perbup, atau perwalkot, pergub) yang mengaturnya, maka libur seperti itu tidak dispekulasikan. Tetapi, bila tidak ada aturan mainnya, maka liburan itu terjadi dengan kenyataan yang bervariasi. Ada sekolah yang libur sehari. Ada sekolah yang libur dua sampai tiga hari. Siapa yang menegur?
Semua mengatasnamakan paling kurang dua hal: (1) mayoritas pemeluk agama dan toleransi; (2) otonomi sekolah. Yang membuat miris adalah pada alasan kedua. Jika kepala sekolah mengeluarkan kalender akademik, dan di dalamnya terdapat hari libur itu yang tidak diatur oleh regulasi di atasnya, maka mungkin hal itu dapat dibenarkan. Kalender akademik dipastikan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Sekolah. Lalu, bagaimana kalua hal itu tidak dilakukan?
Tentang mayoritas pemeluk agama? Masalah ini sangat sensitive. Semestinya orang tidak perlu mempertentangkan mayoritas-minoritas. Gereja Katolik mempunyai Yayasan penyelenggara pendidikan. Yayasan-yayasan itu sangat otonom mengelola sekolah-sekolahnya, sekalipun ada campur tangan pemerintah dalam hal-hal tertentu. Yayasan mempunyai kewenangan menyusun kalender pendidikan dan kalender akademik pada sekolah-sekolah binaannya. Lalu, apabila mereka libur pada suatu masa tertentu, (misalnya, tanggal 1-2 November), itu telah diatur.
Sementara di Gereja Masehi Injili di Timor yang mempunyai yayasan penyelenggara pendidikan, tuntutan kalender pendidikan telah disiapkan oleh yayasan. Tetapi, para guru lebih memilih “taat” kepada pemerintah, bukan pada Yayasan. Maka, ketika ada hari raya gerejawi, sekolah-sekolah dengan label GMIT linglung dengan liburan. Contohnya, pada setiap 31 Oktober, GMIT merayakan hari jadinya sebagai organisasi keagamaan. Sekolah-sekolah GMIT linglung, antara libur atau bersekolah.
Ada istilah, libur fakultatif. Di sini, orang diberi kesempatan beribadah, kemudian kembali ke dalam rutinitas pekerjaan (PNS, Guru, karyawan, dll). Nah, bagaimana dengan siswa di sekolah? Apakah mereka fakultatif juga?
Inilah yang saya maksudkan sebagai libur spekulasi. Semoga ada pencerahan, dan ada perhatian dari pemerintah dan yayasan penyelengara pendidikan agar ada kesepahaman dalam hal liburan.