Pilkada: Belum bertaji sudah Berkokok

gambar ilustrasi dari ayambangkok.org

Belum Bertaji Sudah Berkokok

Heronimus Bani

Mula Kata

Judul di atas sangat familiar pada masyarakat pedesaan. Mereka akan dengan mudah memahami pesan di balik simbol seperti itu. Mereka lebih paham postur dan karakter seekor ayam jantan, terlebih lagi para penyabung ayam (taji ayam, betab manu, pe’yu manu). Para pemain sabung ayam menelisik seluruh postur tubuh ayam jantan, perawakannya, warna bulunya, panjang bulu ekor, sisik kaki (bahkan dihitung jumlahnya), dan tajinya. Semua hal seperti itu ditelisik untuk membangun keyakinan pada pemiliknya, bahwa bila dibawa ke arena, pasti menang. Pasti pulang dengan mendulang money. Sementara yang kalah (keok) berbalik lalu memeluk tengkuk sambil menunduk tanda malu, memerah wajah meninggalkan arena membawa pulang si keok tanpa arak-arakan.

gambar ilustrasi dari ayambangkok.org

Kira-kira begitu gambaran dunia betab manu. Nah, apakah ada kesamaan bila betab manu dianalogikan pada pilkada nanti? Ketua MS GMIT, Pdt. Mery Kolimon telah memberikan pencerahan kepada para presbiter Rayon 1, Klasis Amarasi Timur (Selasa, 28 Maret 2017 di Bet’el Ekam). Menghadapi pilkada gubenur dan bupati tahun 2018/2019 di Nusa Tenggara Timur dan di kabupaten Kupang, GMIT menyerukan agar anggotanya menjadi warga negara yang memahami bahwa politik itu baik, tidak kotor. Politik itu diarahkan untuk keteraturan, kesejahteraan dan keadilan.

Pesan-pesan ini sebagai oe-beti’ kepada masyarakat melalui para presbiter. Selanjutnya para presbiter akan membagikan oe-beti’ itu kepada khalayak di area yang lebih sempit (jemaat, dan rayon, bahkan dalam percakapan informal).

Bacaan Lainnya

Sosialisasi para bakal calon

Sosialisasi. Kata ini sangat familiar di telinga khalayak. Umumnya kata ini dipakai di dunia sekuler, namun gereja (GMIT) pun menggunakan kata ini. Kata penjemaatan rasanya sudah usang sehingga tidak dipakai lagi. Kembali ke sosialisasi menjelang pilkada. Pilkada serentak yang diadakan di Indonesia Jilid I berakhir. Jilid II sedang dalam tahapan penetapan calon terpilih, atau menanti putusan Mahkamah Konstitusi menyangkut sengketa pilkada, atau menunggu putaran kedua seperti yang sedang ramai sekarang ini di Pilkada gubernur DKI Jakarta.

Sosialisasi itu berganti nama menjadi blusukan. Blusukan diperkenalkan oleh Ir. Joko Widodo (Presiden RI sekarang). Blusukan artinya masuk, yang mirip dengan besuk (Bahasa Belanda: bezoek) yang artinya masuk mengunjungi. Keduanya tersirat makna masuk mengunjungi orang sakit. Mungkin khalayak pemilik hak suara tergolong “orang-orang sakit” yang patut dibesuki, dikunjungi, diblusuki.

Ketika mengadakan sosialisasi atau blusukan/besuk, mereka yang ditugaskan mesti mampu berbicara meyakinkan orang-orang yang dikunjungi. Mereka “mengkokokkan” sang jantan (nai) yang tinggal di kota. Para kaki-tangan berlepotan dalam keringat, bau anyir, amis. Namun dapat menghirup udara segar di pegunungan sambil menikmati kendaraan pinjaman dari si nai unggulan, dan menikmati sesuatu yang dititipkan dalam kantong mereka. Kantong itu akan dikeluarkan secara irit ketika melakukan sosialisasi/blusukan.

Mari membuka mata lebar-lebar. Tengoklah, di pinggir jalan, bibir jembatan, pepohonan, di sudut-sudut kota telah dipajang wajah para nai dan keso yang diunggulkan. Mereka berharap agar ketika lembaga-lembaga survey melakukan survey, nama mereka muncul dengan tingkat prosentasi keterpilihan (elektabilitas) yang tertinggi. Selanjutnya akan masuk dalam tahapan “polesan” lainnya agar dapat menjadi calon yang diusung dan didukung baik melalui jalur perseorangan (independen) maupun jalur partai politik.

“Kokok” para nai dan homae para keso yang entah sudah bertaji dan bertanduk, sudah dan sedang giat-giatnya terjadi hari-hari ini menuju tahun 2018/2019. Masyarakat di pedesaan yang dalam istilah orang Amarasi disebut koro-manu membuka tangan, membuka pintu keramahan menyambut mereka. Kokok dan homae yang dibunyikan nai dan keso akan membangunkan koro-manu untuk menelisik siapa mereka.

Lihatlah dan dengarlah bisik-bisik koro-manu di pedesaan ketika safari politik yang disebut sosialisasi dan blusukan itu berlangsung. Ada sikap yang sinis pada koro-manu. Ungkapan yang muncul sesungguhnya hendak memberi gambaran bahwa berpolitik secara sehat, fair/jujur akan memberi dampak yang baik pada masyarakat pada umumnya termasuk pada perlakuan terhadap alam dan lingkungan tempat kita berpijak. Keserakahan akan mengancam keteraturan, kesejahteraan dan keadilan. Keserakahan yang mengantar para politisi ke meja hijau hingga berlutut di balik jeruji besi melahirkan sikap sinis pada masyarakat, koro-manu hingga di pedesaan, pedalaman, pegunungan, lembah, ngarai, daerah pantai, dan lain-lain. Itulah sebabnya mereka sering berdialog dengan ungkapan-ungkapan seperti di bawah ini.

“Dia tu sapa?”
“Dia pung karja apa?”
“Dia bisa bekin apa kasi botong di ini kampong?”
“Dia orang mana?”
“Dia pung laki orang apa?”
“Dia pung bini orang apa, ada hubungan deng bapak … ko?”
“Dia pung kekayaan kira-kira sampai barapa banya, oo…?”
“Dia agama apa, ee?”
“Dia dari suku apa, ko?”
“Orang besar sapa yang badiri di dia pung balakang, oo?”
“Kasi bantuan sumbangan ma pasti ada maunya, to!”

Sentimen tertentu terpancar dari pertanyaan-pertanyaan ini. Maka, jawaban manis sebagai kokok dan homae dari kaki-tangan (timses) yang melakukan safari politik untuk “menjual” sang nai atau keso, bukanlah solusi. Mereka harus bisa memberikan pencerahan bahwa politik dalam praktik itu bertujuan untuk kebaikan bersama sebagai sesama warga kota, dan warga negara. Para timses tidak boleh terpancing untuk masuk dalam sentimen SARA yang akan berdampak buruk pada praktik politik itu sendiri sekaligus juga tidak mendidik.

Pilkada di NTT dan Pilkada di Kabupaten Kupang

Tahun 2018-2019 masih belum tiba. Belum ada pesta-pesta tahun baru, tetapi aroma pesta demokrasi telah ditebarkan. Waktu yang belum tiba seakan ditarik paksa untuk segera tiba. Lantas, atas alasan berkejaran dengan waktu yang tidak lama lagi, para bakal calon (balon) melakukan sosialisasi diri, agar kelak bila tiba waktunya mereka dapat memperoleh tempat yang layak di jantung partai dan hati pemilih.

Provinsi NTT dan Kabupaten Kupang adalah dua di antara 171 daerah (provinsi, kabupaten dan kota) yang akan mengikuti pilkada serentak jilid III. Mereka yang dianggap layak dan pantas sebagai balon mulai dielus atau mulai mempromosikan diri. Gerilya dan gerak semu dan safari politik berbaju sosialisasi dan blusukan para timses yang belum jelas sudah mulai merambah dunia maya dan dunia nyata. Kabar-kabari digelar dan disebar. Mengistimewakan dan mengunggulkan pribadi bakal calon mewarnai gerakan-gerakan itu. Mereka lebih gesit daripada para sales terlatih.

gambar ilustrasi dari pulsk.com

Akhir kata

Pesan Ketua MS GMIT, Pdt. Mery Kolimon menjadi catatan berharga pada anggota GMIT dan masyarakat Nusa Tenggara Timur. Rasanya waktu-waktu ini adalah waktu untuk berpolitik saja. Mereka yang sudah bertaji bahkan dapat saja menjadi keok apalagi yang belum bertaji. Mereka yang sudah bertanduk, tanduknya pun dapat saja dipatahkan.

gambar ilustrasi dari manfaatbuah.com
Belajar dari pohon kujawas. Pohon kujawas (jambu biji, kurabis). Bila akan menjadi besar setelah berbuah, kulitnya terkelupas. Licin batang tubuhnya menandakan bahwa ia telah memberi buah dan siap untuk berbunga dan berbuah lagi. Ia jujur dalam kesehajaan postur yang tidak terlalu tinggi. Ia memberi sukacita dengan mempertontonkan batangnya yang licin berminyak yang bakal memberi bunga-bunga putih perak dengan makhota keemasan untuk menghasilkan buah-buah menarik dan manis.

Mari songsong para nai dan keso di rumah (umi) dan kampung (kuan). Terimalah mereka dengan tangan terbuka. Ajak berdialog secara sehat. Tuhan menetapkan orang yang tepat pada saat yang tepat. Jangan katakan, belum bertaji sudah berkokok. Biarkan mereka “berkokok”, walau mungkin mereka bukan pejantannya. Mungkin mereka telah memberi satu butir telur sehingga mereka patut “kokotek”.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *