Akhirnya Ketua Umum PDI-Perjuangan, Megawati Soekarnopoetri memutuskan mengusung petahana Basoeki Tjahaja Poernama (Ahok) dan Djarot Sjaiful Hidajat sebagai calon Gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta. Situasi ini menjadi klimaks dari seluruh pro-kontra polemik dan argumentasi yang bersiliweran menghias peta politik DKI Jakarta dan mewarnai Indonesia. Partai Nasdem, Hanura, Golkar yang telah lebih dahulu mengusung bertepuk tangan gembira riang, menari-berjoget sambil menyalami datangnya PDI-Perjuangan.
Kebanggaan tersendiri bagi pasangan petahana Gubernur/Wakil Gubernur DKI Jakarta ini. Mereka diantar langsung oleh Ketua Umum PDI-Perjuangan, Megawati Soekarnopoetri. Di kantor Partai Nasdem, Surya Paloh menerima mereka dan memberikan keterangan pers. Dari Partai Golkar DKI Jakarta Ketuanya Fayakhun Adriadi dan beberapa pengurus teras. Tak ketinggalan pengurus partai Hanura DKI Jakarta.
DKI Jakarta sebagai miniatur Indonesia menjadi sorotan sejak gong pilkada serentak jilid II digaungkan. Di Jakarta terdapat seluruh suku dan ras, agama dan keyakinan, partai dan LSM, dan masih banyak keragamannya. Dampak negatifnya adalah, mudahnya masyarakat disulut dengan isu dan gossip yang bernuansa SARA. Tapi, berdasarkan berbagai pemberitaan di media, ternyata isu-isu bermuatan seperti rasanya sudah mulai ditinggalkan, karena masyarakat Jakarta sudah sadar bahayanya, dan tingkat pencapaian pendidikan sudah semakin baik, sehingga logika/akal sehat lebih prioritas daripada sentimen sara.
Oleh karena itu, orang dapat menjagokan siapapun untuk dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, sepanjang memenuhi segala persyaratan yang ditentukan oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah berdasarkan Undang-Undang. Maka, para jagoanpun didatangkan dari praktisi politik yang lahir dari rahim partai. Lainnya lahir secara tiba-tiba dari rahim kampus. Ada pula lahir dari rahim situasi dan kondisi. Mereka “menjual tampang” sehingga menjadi hits untuk masuk dalam jangkauan radar para partai dan lembaga-lembaga survey baik internal partai maupun yang profesional. Hasil survey dipublikasikan secara periodik tertentu dengan ulasan-ulasannya.Selanjutnya publik memberikan respon baik positif maupun negatif. Lantas dilakukan survey lanjutan, dan seterusnya sampai para surveyer yakin akan hasilnya dan melihat pembuktiannya.
Hanta Yuda dalam acara talk show Mata Najwa Metro TV (21/09/16) menyebut satu istilah misteri Megawati. Istilah ini hendak menggambarkan bahwa Ketua Umum PDI-Perjuangan yang sungguh amat panjang sabar di dalam arus pro-kontra mengusung, mendukung si A, B atau C dan seterusnya, akhirnya justru muncul dengan petahana. Hal ini membuat para lawan menjadi gamang. Itulah sebabnya judul di atas yang diambil dari idiom dalam bahasa Melayu Kupang penulis kemukakan.
Partai Demokrat yang sebelumnya “diam” tiba-tiba muncul sebagai inisiator dengan mengundang Partai Amanat Nasional, PPP dan PKB ke Cikeas. Sementara Gerindra dan PKS menurut pemberitaan media tidak mendapat undangan. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Sandiaga Uno yang menyatakan bahwa Gerindra dan PKS akan hadir (dalam acara talk show Mata Najwa Metro TV (21/09/16).
Pada sisi ini mereka sedang mengalami apa yang dimaksud dengan aer su di batang leher. Ketika aer su di batang leher mereka masih mencari-cari siapa figur yang tepat untuk dipasangkan. Mereka melakukan permainan puzzle (bongkar-pasang). Susilo Bambang Yudoyono, Zulkifli Hassan, Muhaimin Iskandar, Romahurmuziy; masing-masing sebagai Ketua Umum dari partainya beserta para petinggi partai sedang “bermain” bongkar-pasang. Mereka mencoba Anis Baswedan-Sandiaga Uno; atau Yusril Izha Mahendra-Sandiaga Uno; atau Sandiaga Uno-Mardani Ali Sera; atau Rizal Ramli-Sandiaga Uno; atau lain-lain yang akan berkutat di sekitar nama-nama itu. Papan puzzle akan dimainkan oleh keempat ketua umum ini di Cikeas mulai 21 Sep. 16 sampai paling lambat 23 Sep. 16 pagi agar mereka dapat melakukan persiapan administrasi (pemberkasan) sekaligus menuju Sekretariat KPU DKI Jakarta pada hari itu juga.
Ini kerja rodi nan rumosha. Mata tak dapat dipicing, badan tak sudi tidur, pikiran mengawang mencari ide baru yang mencerahkan dan batin bergemuruh antara gamang dan gampang, galau dan kalau.
Akan sangat memalukan bila salah satu di antara nama-nama di atas yang lolos dalam utak-atik ala ke-4 saudara itu. Misalkan Anis Baswedan yang belum pernah menyatakan kesediaan akan mengikuti kompetisi itu. Berbeda dengan Yusril Izha Mahendra dan Rizal Ramli yang masing-masing menyimpan obsesi tersendiri untuk mengalahkan Ahok. Atau datanglah Adyaksa Dault dan Haji Lulung ikut meramaikan dengan obsesi yang sama mengalahkan Basoeki Tjahaja Poernama.
Tarik-ulur kepentingan dan “gengsi” partai dengan acungan jumlah kursi di DPRD DKI Jakarta akan menjadi acuan mereka. Mereka pun akan berdebat di sekitar prosedur tetap dari setiap partai bila hendak mengusung calon. “Gengsi” masih akan bermain di arus bawah sambil mencoba mengedepankan kebersamaan dalam kekeluargaan. Padahal, kekeluargaan yang dibentuk dalam koalisi telah berpisah dimana PDI-Perjuangan memeluk tiga sahabat dan melepas 6 teman. Di sisi yang sama Gerindra dan PKS belum dapat dipastikan akan terus bersama di dalam koalisi kekeluargaan karena “gengsi” pula. Mereka seelummnya telah mendeklarasikan Sandiaga Uno-Mardani Ali Sera. Jika mereka tetap pada keputusan itu, maka “gengsi” politik mereka terpelihara sekalipun hasilnya sudah dapat diduga. Paling tidak mereka akan menjadi kuda hitam yang meramaikan dan mengganggu proses pilkada itu. Mereka telah berada di jalur alir yang tepat bukan menunggu aer su di batang leher. Kemenangan dalam satu kompetisi menjadi fokus setiap kompetitor. Belum pernah ada kompetitor yang siap kalah, kecuali pernyataan di bibir siap menang – siap kalah para politisi.
Mari mengikuti perkembangan praktik demokrasi a la miniatur Indonesia di DKI Jakarta yang akan menjadi patron bagi daerah lain yang juga mulai tanggal 21 – 23 September 2016 mendaftarkan paslon untuk mengikuti pilkada serentak Februari 2017.
Semoga harapan masyarakat akan datangnya demokrasi yang sehat di Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (amandemen) dengan pilar-pilar kebangsaan NKRI, Bhineka Tunggal Ika, Proklamasi menjadi benar-benar nyata, dan ibu pertiwi pun tersenyum bangga pada anak-anak kandungnya.