Kembali pada Satu Tubuh Kristus: Memelihara Iman, Menjaga Persaudaraan

Heronimus Bani

Di era digital, para rohaniwan—baik dari kalangan Protestan maupun Katolik—semakin mudah menjangkau umat lewat media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Di satu sisi, ini adalah kesempatan emas: Firman Tuhan dapat diberitakan tanpa batas ruang dan waktu. Namun, di sisi lain, muncul tantangan baru. Sebagian pengajaran bernuansa apologis yang keras, menyoroti perbedaan teologis atau praktik ibadah, hingga tanpa sadar menimbulkan keretakan di antara saudara seiman.

Yesus sendiri telah berdoa bagi keesaan para pengikut-Nya:

Bacaan Lainnya

> “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.”

(Yohanes 17:21)

Kita perlu mengingat bahwa Kristuslah pusat iman kita—bukan algoritma media sosial, bukan perdebatan tanpa ujung. Apologetika memang penting untuk menjelaskan iman kepada yang bertanya (1 Petrus 3:15), namun harus dijalankan dengan kelemahlembutan dan rasa hormat. Perbedaan dogma adalah realitas sejarah dan teologi yang tidak harus menjadi tembok pemisah; justru dapat menjadi kekayaan iman yang saling melengkapi bila diolah dengan hikmat.

Tiga Sikap untuk Menjaga Kesatuan

1. Menempatkan Kristus di atas identitas denominasi

Kita boleh setia pada tradisi dan pengajaran gereja masing-masing, tetapi jangan lupa bahwa kita semua adalah anggota satu tubuh (1 Korintus 12:12–13). Kristus tidak terbagi-bagi.

2. Membangun dialog, bukan debat destruktif

Diskusi lintas gereja harus dilandasi keinginan untuk saling memahami, bukan memenangkan argumen. Ingatlah, tujuan kita adalah memperluas kasih, bukan memperlebar jurang.

3. Menggunakan media sosial sebagai alat berkat, bukan arena perpecahan

Setiap konten yang kita unggah atau bagikan hendaknya membangun iman, menguatkan pengharapan, dan menyalakan kasih—bukan memicu kemarahan atau kebencian.

Menjadi Saksi di Tengah Dunia yang Terbelah

Dunia kini terbiasa melihat orang berselisih. Namun, bila umat Kristen dan Katolik mampu tetap bersatu dalam kasih meski berbeda tradisi, itu menjadi kesaksian hidup yang luar biasa. Keesaan bukan berarti seragam, tetapi hidup berdampingan dengan saling menghormati.

Marilah kita kembali mengingat pesan Rasul Paulus:

“Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.”

(Efesus 4:2–3)

Di tengah derasnya arus konten dan opini, marilah kita menjadi generasi yang memegang teguh iman masing-masing tanpa kehilangan kasih persaudaraan. Sebab ketika kita saling mengasihi, dunia akan melihat Kristus di dalam kita—dan itu lebih kuat dari segala perbedaan yang ada.

Heronimus Bani-Pemulung Aksara

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *