Oleh: Heronimus Bani
Dalam sebuah rapat dengar pendapat antara Komisi X DPR RI dan Pengurus Besar PGRI, Tharismah Ismail, anggota DPR RI yang membidangi pendidikan, menyampaikan sebuah pernyataan yang menggugah sekaligus menyentil realitas pendidikan nasional: “_Tidak mungkin untuk sekolah tidak merekrut guru honorer, kecuali ingin pendidikan di Indonesia bangkrut.”
Pernyataan ini bukan sekadar retorika politis, melainkan cerminan jujur atas ketergantungan akut sistem pendidikan nasional terhadap tenaga honorer. Di berbagai pelosok negeri, dari dataran tinggi Papua hingga desa-desa di Nusa Tenggara Timur, guru honorer menjadi denyut nadi pendidikan dasar hingga menengah. Mereka hadir di kelas-kelas tanpa jaminan kesejahteraan, namun dengan semangat pengabdian yang luar biasa.
- Kenyataan Lapangan: Ketergantungan Sistemik
Sekolah-sekolah negeri, terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), sering kali hanya memiliki satu atau dua guru ASN. Sisanya adalah guru honorer yang menambal kekurangan tenaga pengajar tetap. Mereka bukan pilihan, tapi keharusan. Tanpa mereka, ratusan ribu kelas akan kosong; jutaan siswa akan kehilangan hak dasarnya untuk belajar.
Ironisnya, keberadaan mereka seolah hanya diakui saat krisis muncul. Ketika beban belajar meningkat, saat guru ASN pensiun, atau ketika sistem pendidikan hampir lumpuh, barulah suara tentang pentingnya guru honorer terdengar.
- Antara Ideal dan Realitas
Idealnya, sistem pendidikan tidak boleh bergantung pada tenaga kerja yang digaji di bawah standar kemanusiaan. Namun realitas menunjukkan bahwa negara belum mampu memenuhi kebutuhan formasi guru secara proporsional. Ketimpangan antara kebutuhan dan penempatan guru ASN membuat guru honorer menjadi solusi cepat, murah, dan praktis, namun sering kali tanpa kebijakan perlindungan yang memadai.
- Pesan Moral dan Tanggung Jawab Negara
Pernyataan Tarismah Ismail menyiratkan satu hal: jika negara tidak serius menyelesaikan masalah honorer, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nasib para guru, tapi masa depan bangsa. Pendidikan yang terus berdiri di atas pilar yang rapuh akan menghadapi kehancuran sistemik—yang tidak bisa ditambal hanya dengan kurikulum baru atau slogan revolusi mental.
Pendidikan bukan hanya soal murid dan kurikulum, tetapi juga tentang siapa yang berdiri di depan kelas. Ketika guru honorer terus dibayar di bawah UMR, tidak memiliki jaminan kesehatan, dan berada dalam ketidakpastian status hukum, maka yang rusak bukan hanya tubuh guru itu sendiri, tapi juga martabat profesi dan kualitas pendidikan.
- Jalan ke Depan: Legalisasi dan Kesejahteraan
Sudah saatnya negara berhenti memandang guru honorer sebagai ‘pengisi kekosongan’. Mereka harus diakui, dihargai, dan difasilitasi secara legal dan adil. Pemerintah dan DPR perlu memastikan bahwa kebijakan rekrutmen ASN melalui jalur PPPK atau jalur lainnya berjalan adil, transparan, dan manusiawi.
Dalam terang konstitusi, pendidikan adalah hak warga negara dan tanggung jawab negara. Maka, negara juga wajib memastikan bahwa pendidik, siapapun dia, dihormati dan dihargai setara dengan tanggung jawab yang mereka pikul.
Akhir kata, pernyataan Tharisman Ismail adalah panggilan untuk bangkit dari kemunafikan sistemik: kita tidak bisa terus bergantung pada guru honorer sambil terus menutup mata terhadap penderitaan mereka. Jika tidak ingin pendidikan kita bangkrut, maka investasilah secara serius pada mereka yang selama ini menopangnya tanpa pamrih.