Sahabat, Mana Pahlawanmu Hari ini?

Pengantar

Heronimus Bani

Setiap 10 November bangsa Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan. Peringatan ini dilakukan dengan refleksi pada jiwa kepahlawanan dari orang-orang yang telah mewakafkan diri mereka untuk membela kepentingan bangsa dan negara. Wakaf diri itu terjadi bahkan sampai harus gugur atau tewas dalam perjuangan mereka. Perjuangan itu sendiri tidak melulu pada tindakan mengangkat senjata ketika harus berhadapan dengan angkara murka kaum kolonial. Tindakan mengangkat senjata dibaca pula sebagai cara atau pendekatan tertentu yang layak dan pantas untuk mencapai tujuan, bermanfaat bagi bangsa dan negara.

Sepuluh November 1945, satu titik waktu di saat itu, para pejuang terbakar kobaran semangat yang digelorakan Bung Tomo melalui corong radio. Api semangat itu telah mengantar para pejuang menjadi tumbal kemerdekaan Indonesia. Darah mereka telah terpercik mewarnai persada dan bumi pertiwi. Korban berjatuhan yang meninggalkan banyak pusara tanpa nama.

Gelar Pahlawan

Saya tidak perlu menjelaskan ulang tentang arti kata pahlawan karena dengan mudahnya kita menemukan maknanya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pahlawan ialah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Dari dua makna yang terihat ini kita tidak sekadar memandang pahlawan dari aspek tindakan melawan penjajah. Makna pahlawan mesti dapat digeser lebih luas. Kita dapat merinci sifat-sifat yang dimiliki seseorang yang digelari pahlawan menurut makna yang terbaca dari KBBI. Ciri sifat-sifat itu yakni: berani, berkorban, dan pembela kebenaran. Sifat-sifat yang demikian bila dimiliki seseorang dan dapat ditunjukkan sebaik-baiknya untuk kebermanfaatan banyak orang, mereka akan disebut pahlawan.

Berdasarkan sifat-sifat yang disebutkan di atas, kiranya siapa pun dapat menjadi pahlawan walau dalam satuan area geografis yang sempit. Seorang anak bermain bola bersama teman-temannya. Bola itu kemudian jatuh ke tangan seorang yang lebih dewasa namun memiliki sifat buruk. Bola itu hendak diambilnya untuk diberikan kepada anaknya. Lalu seorang di antara anak-anak yang bermain itu dengan gagah berani berusaha untuk mendapatkan bola itu dari tangan si orang dewasa itu. Ia mula-mula memintanya secara baik-baik. Sang orang dewasa ini tidak mau memberikannya. Sang anak yang meminta mengupayakan dengan cara lain, kali ini ia berbicara dengan argumentasi yang lebih keras bahwa bola itu milik mereka. Mereka bermain, tetapi bola itu kemudian keluar dari lapangan. Seorang rekan tidak dapat mengambilnya karena jatuh ke dalam got. Hanya orang dewasa saja yang dapat mengambilnya. Maka, orang dewasa yang sudah mengambil bola itu sewajarnya mengembalikannya kepada anak-anak. Sementara itu, Sang orang dewasa ini bertahan pada pendiriannya bahwa bola itu ada di got, ia menemukannya. Setelah berdebat, akhirnya Sang orang dewasa ini harus mengalah ketika ada pihak ketiga menengahi. Si anak pemberani itu akhirnya menerima bola dari Sang orang dewasa itu, dan berterima kasih kepada Sang Penengah. Di sini, anak pemberani itu menjadi pahlawan bagi rekan-rekannya karena telah secara berani dan rela berkorban untuk mendapatkan bola itu kembali.

Pada contoh itu rasanya terlalu lugu dan lucu. Namun dapat dipahami bahwa gelar pahlawan yang disematkan kepada seseorang haruslah benar-benar ada sesuatu yang diperjuangkan dengan keberanian, pengorbanan dan gigih memperjuangkan kebenaran. Kebenaran harus ditempatkan di tempat yang tinggi untuk dijunjung. Kebenaran sebagai sesuatu yang diyakini secara bersama-sama tanpa cacad celanya. Kerelaan berkorban berisi ide yang disampaikan secara merdeka, sikap, tindakan, emosi, waktu dan materi. Keberanian tidak diragukan oleh pihak mana pun termasuk sikap ksatria untuk menerima kenyataan bahwa pada titik waktu atau situasi tertentu dapat saja terjadi kekeliruan yang menyebabkan kemunduran dan kegagalan, dan siap untuk memulai lagi dengan ide dan tindakan baru.

Hari ini, Presiden NKRI, Ir. H. Joko Widodo memberikan gelar pahlawan nasional kepada 4 orang putra bangsa ini. Keempat orang itu yakni, Usmar Ismail, dari DKI Jakarta; Raden Aria Wangsakara, dari Banten; Tombolotutu, dari Sulawesi Tengah; dan Sultan Aji Muhammad Idris dari Kalimantan Timur. Dalam keterangan yang disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, Keamanan dan Hak Azasi Manusia, Prof. Mahmud MD mengatakan, salah satu aspek yang dipertimbankan dalam penentuan seseorang menjadi pahlawan yakni, wilayah/daerah. Wilayah/daerah di Indonesia belum semuanya muncul pahlawan-pahlawan nasional.

Kata Mahfud, karena dua di antara daerah asal para tokoh tersebut belum memiliki pahlawan nasional sampai saat ini yakni Sulawesi Tengah dan Kalimantan Timur. (https://www.tribunnews.com/nasional/2021/10/28/mahfud-md-umumkan-4-tokoh-yang-akan-dianugerahi-gelar-pahlawan-nasional-pada-10-november-2021.)

Dengan sepenggal kutipan ini, kita dapat berasumsi bahwa di masa depan, bangsa ini akan memiliki beribu-ribu pahlawan nasional karena daerah-daerah akan beramai-ramai mengusulkan putera-puteri terbaik mereka untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional agar daerahnya ada pahlawan. Giliran berikutnya yaitu nama daerah disebutkan dalam sejarah nasional. Lalu, bagaimana dengan kriteria yang khusus tertuang dalam peraturan yang mengatur seleksi hingga penetapan seseorang menjadi pahlawan nasional.

Syarat khusus dalam kerangka pemberian gelar Pahlawan Nasional ditetapkan dalam pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Syarat-syarat yang khusus itu yakni:

  • pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa;
  • tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan; 
  • melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya; 
  • pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara;
  • pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa; 
  • memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau 
  • melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

Membaca syarat-syarat khusus yang demikian ini, maka tentulah seleksi harus dilakukan secara ketat di daerah yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, di antaranya Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi dilibatkan untuk “menguji” secara ilmiah usaha, kerja keras dan perjuangan seseorang tokoh di daerah yang dianggap pantas dan layak untuk diajukan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Sosial untuk selanjutnya mendapatkan persetujuan Presiden sebagai Pahlawan Nasional. Ini artinya seseorang tokoh di daerah haruslah benar-benar tokoh yang ide, sikap, tindakannya telah dapat dirasakan di daerah itu jangkauannya luas dan berdampak nasional.

Jika syarat-syarat khusus ini telah terpenuhi dan rangkaian proses dan prosedur ilmiah dilewati, maka seseorang tokoh dapat saja ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Sementara di daerah, seseorang tokoh tidak harus menerima gelar pahlawan daerah, namun jiwa kepahlawanannya yang kiranya menginspirasi publik di daerah itu. Maka, nama mereka disematkan pada nama jalan, nama rumah sakit, nama universitas, dan lain-lain.

Mana Pahlawanmu?

Seseorang bila digelari pahlawan, tentulah akan sangat bangga. Seorang pesepakbola berhasil membobol gawang lawan pada menit-menit terakhir pertandingan. Gol yang disarangkan ke gawang lawan itu menjadi penentu kemenangan tim mereka. Maka Sang Pembobol gawang ini diarak sebagai pahlawan. Namanya akan menghias lembaran surat kabar dan layar televisi hingga berbagai media di zaman digitalisasi ini. Sang Pembobol akan dikenang selalu di setiap pertandingan. Catatan-catatan tentang dirinya akan diingat-ingat lagi, bahkan hal-hal yang sebelumnya tidak diusik, ditelisik oleh para pencari berita untuk ditampilkan ke permukaan. Makin bersinarlah nama Sang Pembobol gawang itu. Prestasinya itu telah menaikkan gengsi dan martabat tim dan klub yang dibelanya. Dialah pahlawan pada hari itu yang menyelamatkan tim dan klub dari menutup wajah karena malu.

Seorang bapak rela berenang dalam arus banjir yang cukup deras demi menyelamatkan seorang anak yang diseret banjir. Anak itu berhasil diselamatkan, namun ketika tiba di bibir sungai itu, sebatang kayu menimpa kaki bapak itu. Salah satu tulang kakinya patah. Tulang itu tidak dapat disambung lagi kecuali harus diamputasi. Anak itu selamat, bapak penolong itu cacat, namun keluarga dari anak itu menerima bapak itu sebagai pahlawan. Ia telah mengorbankan dirinya untuk menolong anak itu. Ia tidak peduli pada keselamatan dirinya, tetapi lebih pada keselamatan orang lain, yaitu anak yang terseret banjir.

Dua contoh di atas menunjukkan sifat kepahlawanan. Dampak yang terjadi ketika tim sepakbola itu menang, dan membawa Sang Pembobol gawang makin terkenal. Jangkauan pemberitaan meluas tetapi apakah saat itu dia menjadi kapten tim? Belum dapat dipastikan karena ia menjadi salah satu pemain di dalam tim itu yang berhasil membobol gawang lawan. Kepahlawanannya berdampak luas tetapi dirasakan hanya oleh tim, klub dan pecinta (fans) klub. Apakah tindakan Sang bapak penolong tadi berdampak luas? Tidak. Karena hanya satu keluarga saja yang menikmati dampak dari kerelaan berkorban. Maka, gelar pahlawan padanya tak berjangkau luas, walau masyarakat dapat menganggapnya sebagai pahlawan, karena kerelaan berkorban dan keberaniannya.

Usaha dan kerja keras kita, kerelaan berkorban, keberanian untuk menjunjung tinggi kebenaran harus menjadi pionir dan patokan. Sifat-sifat yang demikian itu akan mengantarkan kita pada titik menjadi pahlawan dalam cakupan wilayah yang sempit, namun bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya. Itulah kepahlawanan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *