Kupang-InfoNTT.com,- Pembangunan infrastruktur yang menjadi program utama Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap menghadapi tantangan, terutama dalam pembebasan lahan.
Kendala ini terjadi karena tidak semua lahan yang digunakan untuk pembanguan merupakan milik pemerintah. Banyak juga lahan-lahan milik masyarakat yang harus digunakan untuk membangun infrastruktur seperti halnya di Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, NTT.
Pada prakteknya pemerintah telah mengatur pembebasan lahan untuk kepentingan masyarakat. Mekanisme appraisal atau penilaian harga tanah dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), dengan perhitungan berdasarkan bidang per bidang. Namun hingga kini masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut belum mendapatkan haknya seperti yang digaungkan oleh Presiden Jokowi.
Pembangunan Bendungan Tefno-Manikin di wilayah Kabupaten Kupang-NTT ini rencananya akan memiliki kapasitas tampungan bersih 14,63 juta m3 air. Hal ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Kupang dan sekitarnya, baik untuk air bersih maupun irigasi. Selain untuk menunjang kebutuhan air bersih dan irigasi bendungan Manikin ini juga bertujuan sebagai tempat pariwisata dan kawasan hijau.
Namun mimpi masyarakat sedikit tersendat khsusunya warga yang lahan dan pemukimannya masuk dalam kawasan pembangunan bendungan Tefno-Manikin. Bendungan yang rencananya akan selesai pada tahun 2024 tersebut aktivitasnya terus berjalan, bahkan lahan produktif warga sekitar pun sudah dibabat habis.
Dominggus Atimeta, salah satu tokoh masyarakat Desa Bokong, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, kepada media ini, Selasa (07/9/2021) siang di lokasi lahannya yang juga masuk dalam kawasan pembangunan bendungan mengatakan, proses ganti rugi dari pemerintah hingga saat ini masih terkatung-katung dan belum jelas.
“Saya cukup miris dan sedih kalau lihat masyarakat di RT 16, RW 08, Desa Bokong yang berjumlah 63 KK dan ditambah dengan 1 Gereja Katolik (Kapela). Mereka itu hidup susah sejak pembangunan bendungan, di mana sawah dan kebun sudah digusur bahkan sudah setahun mereka tidak ada hasil panen. Ini yang harus dilihat oleh Negara, jangan biarkan rakyat susah apalagi sedang pandemi seperti ini,” ujar Dominggus yang juga anggota DPRD Kabupaten Kupang dari Fraksi PAN.
Dominggus Atimeta sendiri mengaku bahwa Ia mengikuti semua proses rencana ganti rugi ini. Yang mana semua tahapan diikuti dan turut serta bersama-sama mengerjakan setiap kegiatan di lapangan serta menyiapkan segala dokumen yang diminta, namun semua hanya sebatas mimpi.
“Jujur sesungguhnya menimbulkan banyak tanda tanya, karena sudah sekian kali kami melakukan pertemuan dengan BWS (Balai Wilayah Sungai) NTT, pihak pertanahan dan kehutanan, tetapi sampai hari ini prosesnya terkatung-katung tidak ada kejelasan. Saya katakan seperti demikian karena BPN sudah turun melakukan pengukuran berdasarkan data kordinat yang dilakukan oleh BWS pada saat pengkajian amdalnya, yang mana titik koordinatnya sekian hektar dan BPN sudah melakukan itu,” jelasnya.
Menurut Dominggus, BPN sudah melakukan tugasnya dengan baik, artinya pengukuran dan secara administrasi proses pelepasan hak dari pemilik lahan sudah selesai, datanya ada di pertanahan. Ini pertanda ada yang tidak beres dengan proses ganti rugi ini, hal ini harus disuarakan agar Presiden Jokowi mendengar keluhan warga masyarakat di desa.
“Sampai hari ini saya tidak tahu prosesnya sudah sampai di mana? Kita sudah ada di bulan September 2021 tetapi informasi menyangkut proses ganti rugi belum ada titik kejelasan,” ucapnya.
Menurut Dominggus, awalnya Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Provinsi NTT menyatakan bahwa desa desa di wilayah Taebenu dan sedikit dari Amarasi Barat masuk lokasi bendungan ini, sehingga kemudian dibangunlah komunikasi beberapa kali terkait solusi dari lahan-lahan tersebut. Hal ini sudah diketahui oleh BPKH NTT ketika turun langsung mengukur tapal batas.
“Saya juga ikut sama-sama dengan teman-teman dari BPKH NTT melakukan pengukuran pemasangan tapal batas dan saya tentu tahu titiknya ada di mana, namun yang buat agak terganggu bahwa terkesan antar BPKH, BWS dan BPN tidak ada komunikasi secara baik karena proses untuk ganti untung saja tidak ada hingga saat ini,” ungkapnya.
Menurutnya, BPN sudah melakukan tugasnya yaitu turun melakukan pengukuran sehingga bisa memproses bukti kepemilikan lahan yaitu melalui sertifikat, tetapi yang menjadi tanda tanya pihak BPKH dan BWS NTT selaku pelaksana kegiatan seperti tidak koordinasi dan membiarkan masalah ini begitu saja.
“Apa yang mereka buat ini terkesan kami warga masyarakat yang butuh bendungan. Kami minta semua pihak terkait harus duduk bersama menyelesaikan masalah ini sebelum masyarakat melakukan pergerakan. BPKH, BWS dan BPN harus bisa pecahkan masalah ini,” ujarnya.
Dominggus mengungkapkan bahwa sebelumnya ada pertemuan sekitar bulan Mei 2021 di Haubesi untuk mendiskusikan hal ini, yang mana semua pihak diundang secara tertulis, namun yang hadir hanya pihak dari BWS dan BPN sedangkan BPKH tidak hadir.
“Jika BPN kalau sudah terbitkan tinggal turun melakukan penilaian maka diduga kuat antara BPN dengan BPKH belum ada kordinasi, ini hanya persoalan dengan kawasan hutan saja. Jika hal ini terus menerus jadi problem maka bagaimana perasaan pemerintah terhadap kondisi dari 63 KK yang jumlahnya ratusan jiwa. Pengaduan ini juga sudah sampai ke lembaga DPRD sehingga Komisi III akan turun bertemu dengan masyarakat dan berusaha mencari solusi terbaik,” ungkap Dominggus.
Menurut Dominggus, menjadi soal bukan hanya masalah ganti untungnya, tetapi juga kelanjutan hidup dari 63 KK ini, soalnya lahan yang digarap untuk hidup sehari-hari sudah habis tergusur, seperti sawah da kebun. Tahun 2021 63 KK ini tidak ada hasil panen, maka bisa dikatakan kematian sudah ada di depan mata.
“Saya minta cobalah semua pihak yang ada di dalam proyek ini berpikir solusi untuk bantu kami, jangan buang kami seolah-olah kami yang berharap kehadiran bendungan ini. Secara pribadi kami tidak pernah minta untuk bangun bendungan itu, tetapi karena ini adalah program strategi nasional dari Presiden Jokowi, maka kami harus rela dengan berharap ada perhatian juga dari Negara. Satu lagi, ada ratusan leluhur dan keluarga kami yang makamnya ada di lokasi proyek bendungan, ini harus jadi catatan penting yang juga wajib ada perhatian,” kata Dominggus.
Sebagai wakil rakyat dan juga bagian dari masyarajat Taebenu, dirinya berharap agar proses pembebasan lahan ini segera dilakukan sebelum ada gejolak di masyarakat. Jika BPKH belum mau lakukan hal tersebut maka turun dan jelaskan motifnya apa? Jangan membiarkan rakyat menderita, sedangkan lahannya yang hampir 70 persen sudah diambil untuk pembangunan bendungan.
“70 persen wilayah Desa Bokong masuk kawasan pembangunan tapi kami tidak ribut sampai dengan hari ini. Hal inilah yang ingin kami pertegas bahwa jika melihat kami seolah-olah anak tiri maka saya ingin tegaskan, kami masyarakat Desa Bokong masih warga negara Indonesia dan kami tidak mau jadi penonton di kamping sendiri. Wilayah lain ada ganti rugi, masa di sini tidak?,” tandasnya.
Hal yang sama disampaikan Ketua RT 16, Desa Bokong, Simon Matbesi, bahwa masyarakat RT 16 Desa Bokong berada tepat di titik tergenangnya air bendungan Tefno-Manikin, di mana di wilayah tersebut selain tempat pemukiman juga ada rumah ibadah dan juga ratusan makam dari leluhur dan kerabat.
“Kami selalu mendukung pembangunan dari bendungan ini karena sangat membantu masyarakat, tetapi kami juga meragukan janji pemerintah yang hingga kini belum ada niat lakukan ganti untung lahan kami serta proses relokasi masyarakat RT 16,” tegasnya.
Menurutnya, masyarakat RT 16 saat ini merasa diabaikan terutama proses relokasi penduduk di RT tersebut. Hal ini sangat menyayat hati yang mana harus melihat pembanguan bendungan terus berjalan namun kepastian janji hanya sebatas ucapan saat pertemuan, selanjutnya tidak ada realisasi.
“Cepat proses pembebasan lahan ini dan minta untuk mempercepat ganti rugi ini atau ganti untung. Selanjutnya merelokasi kami ke tempat yang aman dan nyaman,” harap Simon. (*Chris Bani/Yongki Finmeta)