Gong Belajar, Nasibmu?
Dalam masa kepemimpinan Gubernur NTT, Frans Leburaya (2008-2018) ia mencanangkan satu Gerakan moral yang mendorong kesadaran masyarakat pada salah satu sisi proses Pendidikan yaitu, belajar pada pukul 18.00 – 20.00 waktu setempat. Gerakan moral ini disebut, Gong Belajar. Sang gubernur gencar mengkampanyekan Gerakan ini. Di halaman kantor gubernur dan di halaman-halaman kantor bupati/walikota dibuatkan spanduk besar yang mengingatkan waktu belajar bagi anak-anak sekolah.
Gerakan moral dengan nama Gong Belajar ini terdengar gaungnya sangat besar semakin besar gong yang ditabuh, makin besar dan lama gaungnya menggelombang hingga ke berbagai pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur. Ini suatu hal baik, karena Gerakan ini ada di bibir para pejabat daerah untuk selalu mengingatkan masyarakatnya. Hal baik ini menjadi “lebih baik” pada seorang gubernur yang menabuh gong itu. Ia mendapatkan point emosi politik secara positif di kalangan masyarakat. Masyarakat menilai secara gamblang gong belajar sebagai Gerakan yang nilai kebermanfaatannya tinggi.
Menelisik masa-masa pelaksanaan Gerakan moral Gong Belajar, apakah ada komunitas masyarakat yang melakukan hal seperti: mematikan televisi dan handphone di setiap keluarga untuk memberikan kesempatan belajar kepada anak antara pukul 18.00 – 20.00 waktu setempat. Apakah hal ini pernah terjadi di salah satu keluarga di Nusa Tenggara Timur? Apakah satu lingkungan Rukun Tetangga atau Rukun Warga melakukannya di bawah pengawasan Ketua RT atau Ketua RW? Pada anggota masyarakat yang tidak mempunyai televisi di desa, anak-anaknya yang belajar paling kurang 30 menit saja, itu bukan karena gong belajar. Jika itu terjadi, patutlah diasumsikan sebagai satu kebiasaan. Namun, sepanjang pengetahuan saya sebagai guru di pedesaan, umumnya anak-anak di pedesaan kurang memanfaatkan waktu gong belajar, karena ketidaktahuan pada Gerakan itu, selain mereka sendiri lebih memilih untuk segera tidur setelah hari siang membantu orang tua.
Gong Belajar hanyalah seruan moral. Ia tidak diberi landasan dan payung hukum semisal Peraturan Daerah Provinsi tentang Gong Belajar!? Oleh karena ketiadaan aturan itulah, maka satu Gerakan moral tidak dapat diimplementasikan secara nyata di lapangan. Kesadaran belajar pada siswa/anak di luar waktu belajar yang regular di sekolah, bukan terjadi begitu saja. Kesadaran itu akan ada pada anak di rumah ketika para orang tua menyadari akan waktu belajar pada anak.
Di kota-kota, tersedia kursus-kursus privat pada mata pelajaran tertentu. Jika guru privatnya tidak didatangkan ke rumah anak, anaklah yang pergi ke rumah guru privatnya. Umumnya orang tua menghendaki anak-anak mereka lulus pada mata pelajaran yang diujikan secara nasional, sehingga mata pelajaran yang diikuti anak dalam kursus privat itu menyangkut subjek itu. Sementara itu, ada orang tua yang menghendaki anaknya trampil pada bidang tertentu, semisal, music, tari, jenis olahraga tertentu, dan lain-lain. Semua itu dilakukan di luar waktu belajar reguler yang biasanya berlangsung antara pukul 16.00 – 18.00. Lalu, apakah anak akan belajar lagi antara pukul 18.00 – 20.00 waktu setempat. Manalah mungkin itu terjadi?
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan semua Pemerintah Kabupaten dan Kota setiap tahun mengharapkan lulusan SMA/SMK dan sederajat, serta SMP, SD, dan sederajat mengalami kenaikan prosentase. Prosentase yang naik mencapai angka 100% merupakan kebanggaan, namun akan lebih berbangga sang gubernur, bupati, dan walikota, bila nilai tertinggi pada mata pelajaran yang diujikan secara nasional itu, anak/siswa dari provinsi, kabupaten dan kota di NTT ada dalam urutan-urutan top. Hampir selalu pemerintah provinsi NTT dan pemerintah kabupaten/kota selalu menundukkan wajah tanda malu. NTT hampir selalu dipastikan akan berada di urutan bawah. Ia belum bergeser naik sampai angka 20 hingga 10. Ia selalu berada di atas urutan angka 30.
Pengumuman kelulusan dilakukan oleh institusi birokrasi Pendidikan. Menetapkan kelulusan atas mata pelajaran tertentu pada jenjang Pendidikan SMA/SMK dan sederajat selalu di tangan birokrasi Pendidikan. Mengapa? Para operator yang menjalankan tugas korektor atas hasil ujian bukanlah guru. Scanning Computer, ketrampilan itu bukan milik guru, tetapi oleh staf di dalam birokrasi Pendidikan. Sekalipun secara teknis hal yang disebut scanning computer itu telah dijelaskan berulang kali sampai pada titik kejenuhan, tidak semua siswa dapat menjalani proses mengisi lembar jawaban computer secara baik. Maka, tidaklah mengherankan, bila siswa/anak yang diketahui cerdas di sekolah, dapat saja lulus dengan angka yang tidak memuaskan gurunya. Sementara anak yang kemampuannya sedang-sedang hingga rendah, seringkali ada yang lulus secara mencengangkan.
Para guru berada di posisi lemah ketika berhadap dengan pengurmuman kelulusan oleh birokrasi Pendidikan. Para kepala dinas dengan bangganya mengumumkan hasil ujian pada akhir tahun pelajaran. Mereka akan menyampaikan amanah sebelum pengumuman dibuatnya. Mereka tidak lupa pula untuk “mencela” proses belajar-mengajar, kinerja guru, dan banyak hal yang menjadikan guru berada di posisi lemah. Lalu, pengumuman itu dikirimkan ke sekolah-sekolah. Pilihan lain dari pengumuman pada zaman ini adalah memanfaatkan media cetak. Cukuplah dengan menemukan suratkabar, siswa teruji akan mengetahui kelulusannya di sana.
Ketika Gong Belajar hanya sebatas Gerakan moral, maka tentu tidak atau kurang mendapatkan dukungan pembangunan dan pengembangan sarana-prasarana pembelajaran. Gedung dan isinya. Kualitas out put sekolah tidak serta merta ditentukan hanya oleh proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan siswa. Daya dukung untuk itu sangat diperlukan. Gedung dengan ruang belajar yang dapat menampung siswa diperlukan untuk itu. Isi Gedung sekolah tentulah pertama-tama adalah meja, kursi, papan tulis, lemari/rak buku, dan buku-buku. Sekolah yang hanya memiliki lemari/rak buku tanpa buku-buku terpajang di sana, apalah artinya sekolah dan proses pembelajaran baginya?
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) menjadi tumpuan pengadaan buku-buku untuk siswa dan guru. Sekolah tidak diperkenankan membelanjakan dana BOS pada buku-buku yang tidak direkomendasikan oleh Kemdikbud. Jadilah para penulis dan pengusaha perbukuan berebut mendapatkan hati pusat perbukuan. Buku A, B, C dan seterusnya diterbitkan oleh perusahaan A, B, C, dan seterusnya. Staf dari perusahaan-perusahaan penjual buku-buku itu yang mendatangi sekolah-sekolah menawarkan buku-buku. Sekolah pun harus jeli, karena ada-ada saja penipuan di zaman ini. Sekolah harus mempunyai daftar perusahaan yang direkomendasikan oleh Kemdikbud. Kita sudah dapat membaca aura yang sedang dimainkan bila rekomendasi diberikan oleh kepada perusahaan untuk menjual produk buku.
Jadi, Dana BOS dikirimkan oleh pemerintah pusat, sekolah membelanjakan buku-buku senilai 20% dari total dana BOS dalam setahun. Padahal, buku-buku yang tersedia di perusahaan-perusahaan itu tidak selalu 100% tersedia. Lalu berdalihlah sang perusahaan sementara proses belajar mengajar tidak berhenti untuk menunggu tibanya buku-buku. Uang telah disetorkan, atau belum sempat disetorkan justru menjadi masalah baru di sekolah.
Gong Belajar, dimanakah kau berada kini di masa bapak Victor Laiskodat menjadi Gubernur NTT? Belum adakah ide dari sang gubernur yang katanya fenomenal ini dalam rangka menaikkan prosentase lulusan dan terlebih lagi kualitas out put dari sekolah-sekolah di Nusa Tenggara Timur? Bukankah jargon Kita Bangun Kita Sejahtera mestinya melibatkan dunia Pendidikan pula? Mengapa belum terdengar gema suara program untuk Pendidikan di NTT?
Akh…
Saya sadar jika jajaran pemerintahan di NTT pada masa ini sedang giat-giatnya menanam, atas Gerakan Revolusi Hijau. Dimana-mana masyarakat digerakkan untuk menanam pohon kelor. Bahkan sekolah-sekolah pun “diwajibkan” menanam pohon kelor. Aspek lain yang sungguh sedang menjadi perhatian adalan infrastruktur jalan dan jembatan penghubung antardaerah di NTT. Jalan-jalan provinsi sedang dikebut. Semuanya untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Produk budaya dan pariwisata digalakkan secara simultan. Pakaian yang khas daerah dan etnis-etnis di NTT mendapat prioritas, bukan dibibirkan tetapi dibadankan. Kewajiban para ASN mengenakan pakaian khas daerah setiap hari tertentu menjadikan provinsi ini bagai meniru provinsi Bali adanya.
Saya sadari pula bahwa mungkin pemerintah provinsi secara sadar dan sengaja mengedepankan pembangunan bidang ekonomi. Bidang Ekonomi ini yang mungkin menambatkan tali untuk menarik maju bidang Pendidikan dasar dan menengah di NTT?? Mungkin pula Bidang Ekonomi turut pula menarik maju bidang-bidang lainnya??
Gong Belajar nasibnya tak tentu lagi. Sayapun tidak perlu mengejar akhir dari kisah Gong Belajar. Dia bukanlah kisah dalam novel berakhir menyedihkan atau menyenangkan. Kepastiannya, dia telah berakhir begitu saja ketika terjadi pergantian kepemimpinan di provinsi NTT ini. Ide digagas, diterjemahkan ke dalam program-program nyata oleh tim khusus yang dibentuk untuk itu. Program-program yang dapat diaksikan secara nyata di tengah-tengah masyarakat yang langsung menyentuh kepentingan dan kebutuhan masyarakat itulah yang menjadi prioritas. Pendidikan, tidak dapat serta merta dinikmati. Siapa menikmati lulusan yang prosentase dan nilai pencapaian tidak membanggakan?