Kupang-InfoNTT.com,- Konferensi Daerah PGRI Kabupaten Kupang pada 8-9 September 2025 nanti tidak hanya menjadi ajang silaturahmi, tetapi juga momentum krusial untuk mengurai kompleksitas permasalahan internal, terutama terkait keanggotaan dan iuran. Realitas di lapangan menunjukkan adanya disparitas status guru yang signifikan—mulai dari PNS, PPPK, Guru Kontrak Daerah, hingga Guru Honor Komite/Honorer Sekolah dan Guru Pensiunan. Perbedaan status ini menciptakan celah besar dalam sistem administrasi dan finansial organisasi, yang pada akhirnya memengaruhi efektivitas program kerja.
Tanda Tanya Iuran dan Keadilan Organisasi
Persoalan utama yang mencuat adalah kesulitan dalam mengelola Kartu Tanda Anggota (KTA) secara manual, namun kini dapat diselesaikan melalui digitalisasi. Nah, akar masalah sebenarnya terletak pada iuran anggota. Mekanisme pemotongan langsung dari gaji yang diterapkan untuk PNS dan PPPK oleh Bendahara Pengeluaran pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kupang tidak berlaku bagi guru non-PNS/P3K dan Guru Pensiun. Akibatnya, iuran dari kelompok non-PNS ini selalu tidak didapatkan, sehingga menciptakan ketidakstabilan finansial bagi PGRI.
Situasi ini diperparah dengan fakta bahwa kewajiban setoran wajib ke Pengurus Provinsi dan PB PGRI Pusat tetap harus dipenuhi. Beban ini, secara langsung telah wajib ditalangi oleh iuran dari PNS dan PPPK. Praktik ini, meskipun bermaksud baik, menimbulkan pertanyaan mendasar tentang keadilan dan kesetaraan di dalam organisasi. Guru honorer dan kontrak, yang sering kali bergaji pas-pasan, beban mereka telah “ditutupi,” padahal seharusnya mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Selain itu, terdapat anomali lain. Pengurus Cabang atau Ranting di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Kejuruan menghadapi masalah berbeda. Gaji mereka tidak dipotong oleh bendahara dinas kabupaten/kota, melainkan oleh instansi dinas Pendidikan provinsi. Hal ini membuat kewajiban penyetoran iuran mereka menjadi tidak jelas. Dampak langsungnya, dana program untuk pengurus kecamatan dan ranting tidak dapat dicairkan sepenuhnya, menghambat inisiatif dan kegiatan di tingkat akar rumput.
Sekolah Menengah Atas (Umum dan Kejuruan) lokusnya di Kabupaten dan Kota. Mereka dapat membentuk organ PGRI dengan nama Cabang khusus atau Ranting dengan anggota minimal 20 orang, tetapi masalah muncul ketika akan menyetor iuran sebagai kewajiban anggota.
Solusi Menuju Kemandirian dan Keadilan
Mengatasi benang kusut ini membutuhkan terobosan yang berani dan sistematis. Ada dua solusi yang dapat dipertimbangkan:
1. Digitalisasi Total dan Integrasi Data: PGRI Kabupaten Kupang harus segera mengadopsi sistem digital terpadu untuk keanggotaan dan iuran. Sistem ini harus mampu mengintegrasikan data seluruh anggota, terlepas dari status kepegawaiannya. Dengan sistem ini, pembayaran iuran bisa dilakukan melalui berbagai kanal digital seperti e-wallet, transfer bank, atau bahkan QRIS, yang memudahkan guru honorer dan kontrak untuk memenuhi kewajiban mereka secara mandiri, tanpa perlu menunggu pemotongan dari pihak lain. Data setoran dapat tercatat secara real-time, meminimalkan penundaan dan transparansi.
2. Skema Iuran Berjenjang dan Otonomi Keuangan Ranting: PGRI dapat merumuskan skema iuran berjenjang yang disesuaikan dengan status dan pendapatan guru. Iuran guru honorer bisa dibuat lebih rendah dibandingkan PNS atau PPPK, sehingga tidak memberatkan. Selain itu, perlu adanya otonomi keuangan yang lebih besar bagi pengurus ranting dan cabang. Sebagian besar iuran yang terkumpul di tingkat ranting dapat langsung digunakan untuk membiayai program mereka, tanpa harus menunggu pencairan dari tingkat kabupaten atau provinsi. Ini akan memotivasi para pengurus di tingkat sekolah untuk lebih aktif dalam mengelola keanggotaan dan iuran, karena hasilnya langsung dirasakan.
Dengan mengurai masalah ini secara transparan dan berani, Konferensi Daerah PGRI Kabupaten Kupang tidak hanya akan menjadi acara seremonial, tetapi juga wadah untuk transformasi fundamental organisasi. Memperkuat peran guru menuju “Kabupaten Kupang Emas” harus dimulai dari pembenahan internal, memastikan bahwa setiap guru, tanpa memandang statusnya, merasa dihargai dan memiliki kontribusi yang setara dalam rumah besar PGRI.
Heronimus Bani – Pemulung Aksara





