Keadilan bagi Alam yang Terluka (Berdasarkan Matius 6:26–30)

Ilustrasi

Refleksi dalam rangka Bulan Lingkungan Hidup GMIT

“Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga… Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu.”

Bacaan Lainnya

 

Bulan November bagi Gereja Masehi Injili di Timor merupakan waktu untuk berefleksi, bersikap dan bertindak secara nyata kepada bumi. Bumi, tempat di mana makhluk manusia berpijak, bergerak untuk menemukan sesuatu, memanfaatkannya, menjalani seluruh kehidupan hingga pada titik kematian, bumi pulalah yang menerima jasadnya. Maka, apa yang sebaiknya dilakukan oleh makhluk yang paling sempurna dalam akal budi, etik, moral dan nilai, bahkan berTuhan?

GMIT menempatkan bulan ini untuk berefleksi. Entahlah sudah ada dampak/hasilnya setelah beberapa tahun berefleksi pada setiap November tiba. Empat minggu berturut-turut dalam ibadah-ibadah, bahkan dalam ibadah-ibadah rayon, gugus, resort, atau lingkungan.

Kita berdoa setiap minggu, “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga,”. Kita mengutip keseluruhan doa yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya. Kita merasa telah menjadi murid Yesus Kristus, Guru Agung itu. Kita merasa telah beriman ketika setiap minggu dalam doa umat ada doa yang diucapkan secara bersama. Namun, bila melihat ke sekeliling kita, bumi kita semakin jauh dari wajah surga.

Tengoklah di sekitar tempat tinggal kita masing-masing; sampah plastic berserakan. Pergilah ke pasar-pasar, betapa joroknya area pasar. Di sana yang melakukan transaksi menjual dan membeli di antaranya orang-orang yang mengucapkan doa Bapa Kami, dan pada frasa jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga. “Bum” yang paling dekat yaitu pekarangan kita, secara spiral mulai keluar ke tempat bekerja baik itu pada institusi pemerintahan, swasta, bahkan pada dunia industry; sementara di Kawasan pertanian dan peternakan kaum tani dan peternak mengusahakan dengan pendekatan mereka sendiri demi kelangsungan hidup diri dan komunitas serta ternak-ternak mereka. Kaum nelayan yang hidup di pesisir, tengoklah, apakah laut, selat dan tanjung bersih sehingga tidak mengganggu ekosistem di dalamnya?

Mari tengoklah hutan. Hutan yang dulu menjadi rumah bagi burung dan satwa lainnya, kini gundul oleh mesin-mesin yang tak mengenal sabat. Manusia menebang tanpa jeda, menambang tanpa belas kasihan, dan membakar tanpa kesadaran bahwa bumi ini bukan miliknya. Semua dilakukan atas nama “kemajuan,” padahal yang maju hanyalah deret angka ekonomi, sementara roh ciptaan tertinggal di reruntuhan.

Tengoklah Sungai-sungai besar di Tanah Timor, berapa banyak Sungai yang airnya mengalir sepanjang tahun? Sungai-sungai yang kering itu justru menjadi biang petaka ketika banjir tiba. Jembatan akan dipatahkan. Banjir meluap masuk ke perkampungan. Kekeringan sesudah musim penghujan berlalu. Siapa yang menikmati semua situasi itu?

Kita lupa, bahwa Yesus yang lahir di palungan, di antara binatang, jerami, dan udara terbuka. Ini mengindikasikan bahwa ada pendekatan untuk memuliakan kesederhanaan ciptaan. Alam menjadi altar pertama tempat Kristus hadir. Namun kini altar itu rusak, dan umat-Nya bersujud di sana dengan kemunafikan.

Yesus berkata, “Janganlah kamu kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum…” (Matius 6:25). Ayat ini menegaskan kepada pembaca dan pendengarnya tentang kekuatiran itu sesuatu yang sia-sia. Benar! Tetapi, siapakah individu yang tidak punya kekuatiran? Justru karena kekuatiran, manusia terus menimbun. Takut kekurangan, lalu menimbun bahan pangan berlebih. Takut kehilangan status, lalu membeli tanpa henti. Takut miskin, lalu menjarah bumi.

Kecemasan yang tidak dikelola dengan iman melahirkan keserakahan, demikian Pdt. Yudistira Nalle, dalam khotbahnya,(2/11/25) dan keserakahan melahirkan ketidakadilan ekologis. Gunung yang digali tanpa henti menjadi longsor. Laut yang dieksploitasi kehilangan ikan. Tanah yang ditanami dengan bahan kimia kehilangan kesuburan. Udara yang kita hirup tak lagi murni.

Dengarlah! Yesus menunjuk burung di langit dan bunga bakung di padang: keduanya tidak cemas, tidak tamak, dan tidak menimbun, namun dipelihara Tuhan. Mereka hidup dalam keadilan ekologis, dalam tatanan yang saling memberi dan menerima.

Di berbagai tempat, masih ada umat/jemaat yang mendengar jeritan bumi dan menjawab dengan kasih. Maka, kita bersyukur.

Pendekatan budaya dalam Masyarakat adat Timor, orang mengenal istilah a’soko. Pendekatan ini diwujudkan dengan memberi tanda larangan untuk tidak mengambil hasil hutan, tidak menebang atau membuat ladang di Lokasi yang ada tanda a’soko. Pendekatan ini cukup efektif, namun mengandung dan mengundang masalah hukum. Masalah perebutan atas lahan yang menjadi alasan adanya penempatan tanda itu.

Semua tindakan kecil ini berawal dari kesadaran bahwa ibadah tidak berakhir di altar, tetapi berlanjut di bumi. Mereka hidup seperti yang diajarkan Rasul Paulus:

“Segala sesuatu yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23)

Menanam pohon pun bisa menjadi doa. Mengurangi sampah pun bisa menjadi liturgi. Memelihara bumi adalah tindakan iman, bukan sekadar aktivitas sosial.

Keadilan bagi alam tidak lahir dari kebijakan besar saja, tetapi dari hati yang bertobat.Pertobatan ekologis berarti kembali percaya bahwa Allah mencukupkan keperluan dan kebutuhan bagi kita, sehingga kita tidak diwajibkan menimbun dari bumi-Nya. Ia mewajibkan kita memelihara alam ciptaan-Nya, bukan merusak sambil menimbun.

Ketika kita berhenti sejenak dan memandang bunga bakung, kita belajar bahwa Allah cemas. Ketika kita mendengar burung bernyanyi di pagi hari, kita tahu bahwa pemeliharaan-Nya nyata. Dan ketika kita berani hidup lebih sederhana, bumi pun bersyukur.

Keadilan bagi alam bukan sekadar menyelamatkan ekosistem, tetapi menyembuhkan relasi kita dengan alam dan Sang Pencipta. Karena di balik setiap tetes air, setiap daun yang tumbuh, dan setiap tanah yang basah, tersimpan kasih Allah yang masih setia menanti manusia kembali menjadi penjaga, bukan perusak.

“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.” (Roma 11:36)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *