Kupang-InfoNTT.com,- Di tengah hutan dan semak belukar yang bagai tak berujung, terdapat satu oase seluas puluhan hektare, di mana pohon-pohon pisang melambaikan dedaunan seperti harapan yang tak kunjung pudar. Setiap daun yang bergetar dihembus angin adalah suara bisikan alam, mengajak agar kita mendengar cerita dari jantung tanah yang subur.
Di pusat oase ini, berdirilah suatu bangunan sederhana—tempat yang menjadi persinggahan bagi impian dan kerja keras. Sekelilingnya, belasan ribu tanaman pisang terhampar, seakan membentuk perisai hijau yang melindungi kehidupan. Kanal-kanal buatan mengalirkan air seperti pembawa pesan, menyampaikan rahmat dari langit, memastikan setiap embun dipanen hingga ke akar. Di tengah hiruk-pikuk pertanian, tersimpan satu danau buatan, cermin dari langit yang membiru, mengundang ratusan ekor sapi untuk meneguk kebahagiaan dalam rasa tenang yang tak terukur.
Daniel, sang pemilik tanah, adalah sosok yang lahir dari kehidupan yang keras. Dia adalah petani dan peternak; dua wajah dalam satu jiwa, seperti bulan yang bersinar di siang hari—kala ada, kala tiada. Ia diibaratkan sebagai matahari yang memancarkan kasih sayang kepada ternak-ternaknya. Sapi-sapi itu, bagaikan pelindung di padang rens, menjemput pakan dengan tenang di bawah pengawasan sang penguasa.
Ada sisi lain dari Daniel. Ketika fajar memancarkan cahaya, ia menjadi seorang politikus—seorang pengemban amanah rakyat. Dalam bingkai jabatan Ketua DPRD, ia melangkah di antara dua dunia seperti jembatan yang menghubungkan daratan dengan pulau-pulau harapan. Pikirannya berkelana, menjaring aspirasi layaknya benak seorang petani yang menggarap sawah dengan penuh perhatian.
Sebagai pemimpin, Daniel memiliki tugas mulia untuk memberi makan lebih dari sekadar ternaknya. Seringkali, babi-babi yang diternak tak hanya menjadi komoditas, melainkan sumber kehidupan bagi anggota masyarakat yang memerlukan. Dalam tindakannya, tersimpan nilai-nilai kepedulian, tumbuh bak tanaman pakan ternak yang memadai, memberikan kehidupan bagi setiap makhluk yang melintasi jalur itu.
Sekeliling rumahnya, jalan beraspal lapen membentang seperti jalur masa depan, dan di sisi jalan, tumbuhlah tanaman pakan ternak—simbol harapan bagi kehidupan yang berkelanjutan. Hari itu, di bawah sorotan matahari siang yang ditingkahi rintik hujan, Daniel merenungi perjalanan hidupnya. Ia memahami bahwa kehidupan adalah rangkaian pilihan, di mana setiap langkah menjadi bekas yang tertinggal.
Bagaikan aliran air yang mengisi saluran, setiap keputusan yang diambil membawa dampak yang mengalir ke hulu dan hilir. Suara kanalisasi yang mengalirkan air mengundang kembali suara alam yang tenang, membisikkan agar kita senantiasa menjaga keselarasan; antar tanah dan manusia.
Daniel berdiri di ambang danau buatan, melihat bayangan dirinya di permukaan air. Ia tahu, di balik setiap langkahnya tersembunyi harapan; harapan untuk memberi dan menjaga, untuk merawat dan dibutuhkan, dan yang terpenting—menjadi jembatan antara tujuan pribadi dan tanggung jawab sosial.
Maka, seperti tanaman pisang yang terus tumbuh, seiring waktu, Daniel pun berharap agar setiap langkahnya tak hanya berakar kuat di bumi, tetapi juga membubuhkan makna, menjadi berkat bagi alam dan manusia, bagaikan jelaga tak terlihat tetapi ada, menjalin kisah dalam hening yang syahdu.
Penulis: Heronimus Bani-Pemulung Aksara