Kupang-InfoNTT.com,- Saat ini Keluarga Tomboy sedang semangat untuk menunjukkan kepada publik atau kepada pemerintah bahwa tanah yang dipasang papan plan di beberapa titik di Kota Kupang adalah benar milik Keluarga Tomboy.
Tokoh adat Ayub Titu Eki yang dipercaya oleh Keluarga Tomboy menjelaskan perjalanan panjang hak milik tanah Keluarga Tomboy tersebut. Dasar pengakuan tanah tersebut adalah pada tahun 1935 Raja Alfons Nisnoni bersama Fetor Arnolus Amabi memberikan 283 hektar tanah kepada keluarga Kobole’u Tomboy sebagai jasa sudah ikut berperang melawan penjajahan Belanda mempertahankan Kota Kupang.
283 hektar tanah yang dibagi kepada Keluarga Kobole’u Tomboy tersebut bagian utara perbatasan dengan garis pantai laut sedangkan bagian timur perbatasan dengan keluarga Saubaki, bagian selatan berbatasan dengan keluarga Amtaran, dan bagian barat berbatasan dengan Amabi.
Jadi tanah yang dibagi oleh raja dan fetor tersebut bukan tanah swapraja karena bukan tanah kerajaan. Yang mana diketahui bahwa seluruh tanah di Timor ini pemiliknya adalah para Amaf bukan raja. Selain itu di Timor juga memiliki dua sistem hukum adat. Jadi tanah di Timor ini dimiliki oleh para Amaf.
Selain itu, bukti konkrit satuan masyarakat hukum adat di Timor ada pada Amaf-Amaf, yang mana di setiap tempat selalu menyebutkan 4 marga sebagai bangunan atau tiang induk masyarakat adat. Jadi tanah yang dibagi untuk Keluarga Tomboy adalah tanah dari Amaf Amabi, yang pembagiannya untuk Keluarga Saubaki, Amtaran dan Tomboy. Artinya pembagian 283 hektar tanah tersebut murni untuk jasa kepahlawanan dan diberikan menjadi hak milik dan harus di hormati oleh Negara.
Ayub Titu Eki juga menyampaikan dengan berlakunya UU Nomor 56 PRP Tahun 1960 pasal 4 dijelaskan bahwa petani hanya berhak memiliki 21 hektar, kelebihan tanahnya harus dilaporkan atau dilaporkan untuk dipakai oleh pemerintah, tapi bukan dilaporkan lalu diambil begitu saja. Ada ketentuan ganti rugi tanah kepada pemilik.
Untuk diketahui, aturan ini yang diadopsi dari Hindia Belanda, padahal dalam hukum adat, seperti yang berlaku pada UU Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960, dikatakan bahwa hukum pertanahan di Indonesia bersifat dualisme, yaitu hukum barat dan hukum adat. Jadi kalau mau menerapkan hukum barat, maka tidak boleh meniadakan hukum adat. Itulah sebabnya dalam UUD 1946 pasal 18b ayat 2, mengatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Inilah yang harus ditegaskan untuk membuka pemahaman para pejabat sekarang.
Kemudian sesudah berlakunya UU Nomor 56 Tahun 1960, keluar juga UU Pokok Agraria di tahun yang sama, yang mengatakan bahwa setiap keluarga petani hanya berhak atas tanah 21 hektar mulai berlanjut. Kelanjutannya pada tahun 1989 ditindaklanjuti dengan adanya aturan UU 56, maka dibentuklah panitia landreform tingkat kecamatan dan kabupaten, untuk menindaklanjuti serta mendata tanah-tanah kelebihan tersebut yang diperuntukkan.
Panitia landreform kemudian mulai bekerja dengan melakukan survei di lapangan. Hasil survei kemudian dilaporkan kepada Ketua Panitia Landreform Kabupaten Kupang. Laporan panitia kecamatan ditulis pada tanggal 2 Juli tahun 1989. Dalam risalah tersebut ada beberapa kesimpulan yang pertama, dikatakan bahwa benar ditemukan 283 hektar lahan yang pemiliknya tunggal yaitu Leonard Tomboy anak dari Kobole’u Tomboy. Jadi 283 hektar tanah tersebut pemilik tunggal tidak ada pemilik bersama.
Kedua, panitia landrefrom juga menemukan batas-batas tanah jelas sebelah utara dengan garis pantai laut, sebelah timur dengan Keluarga Saubaki, sebelah selatan dengan Keluarga Amtaran dan sebelah barat dengan Keluarga Amabi. Lalu di dalam area tanah itu ditemukan ada tanaman dari Keluarga Tomboy. Panitia juga menemukan keluarga lain, yaitu keluarga-keluarga Rote sebagai penggarap. Keluarga Rote ketika ditanyakan terkait tanah tersebut, panitia mendapat jawaban bahwa mereka hanya sebagai penggarap saja, sesuai dengan yang diijinkan oleh Keluarga Tomboy.
Namun sebagai penggarap mereka lalai untuk memenuhi kewajiban memberikan upeti kepada Keluarga Tomboy sebagai tanda pengakuan. Kelalaian tersebut tidak membuat Keluarga Tomboy menagih upeti itu, karena hasil yang didapat juga tidak banyak. Selain itu dengan memberikan upeti, bukan berarti keluarga penggarap tersebut mencicil tanah, atau membayar tanah, itu hanya wujud pengakuan bahwa tanah tersebut ada pemiliknya yakni Keluarga Tomboy.
Butir paling penting dalam pemeriksaan lapangan adalah dicantumkan dalam risalah itu ada kelebihan tanah. Jadi dari 283 dikurangi 21 hektar untuk pemilik maka kelebihan 262 hektar yang kemudian dimanfaatkan untuk pembangunan, dan itu menjadi ditanggungjawab pemerintah untuk kemudian harus perhitungkan nilai ganti rugi. Inilah yang tertulis dalam risalah.
Sejak saat itu tanah seluas 262 hektar milik Keluarga Tomboy dimanfaatkan oleh pemerintah dengan melakukan kegiatan pembangunan. Lalu perhitungan ganti rugi belum terlaksana sampai saat ini. Sisa tanah 21 hektar, satu bulan kemudian, mulai dari tanggal 2 juli 1989 sampai 28 Agustus 1989, ketua panitia lendriform, mengeluarkan satu surat keputusan SK.01.8.1989. SK tersebut mengatakan bahwa tanah Keluarga Tomboy dan Amtaran yang disebut dalam SK itu merupakan tanah swapraja, dan dialihkan statusnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, artinya tidak lagi mengakui tanah itu adalah tanah keluarga tapi sudah menjadi tanah Negara, berarti yang tadi kelebihan tanah 262 hektar sudah diambil pemerintah untuk pembangunan dengan ganti rugi dilakukan kemudian.
Fatalnya, 21 hektar tanah milik Keluarga Tomboy juga diambil, berarti Keluarga Tomboy tidak mendapat apa-apa. Jadi mulai dari saat itu Keluarga Tomboy dianggap tidak ada bahkan ketika mau mengurus satu sertifikat atas nama Keluarga Tomboy saja tidak diberikan. Sayangnya lagi anak dari Leonard Tomboy diberhentikan dari pekerjaannya tanpa SK pensiun, dan tidak menerima gaji pensiun.
Ayub Titu Eki mengatakan bahwa ini dapat dikatakan secara kasar bahwa tanahnya di ambil orangnya dihukum. Dengan adanya pasal 4 UU Nomor 56 tahun 1960 dan keluarnya SK No.1.8.1989 merupakan salah aatu produk aturan yang salah diterapkan oleh pemerintah, di mana aturan tersebut meniadakan Keluarga Tomboy.
Adapun gugatan dari salah satu keluarga yakni Sofia Tomboy atas dua bidang tanah yang di kuasai oleh pemerintah. Gugatan yang masuk ke Peradilan TUN mendapat jawaban bahwa masalah tersebut sudah lewat waktu atau kadaluwarsa dan sebagainya. Mestinya hakim tahu bahwa persoalan hak atas tanah tidak akan dibatasi oleh waktu.
“Ini hanya permainan mafia tanah dan mafia peradilan tanah, hak atas tanah itu turun temurun. Kasus ini sudah kita laporkan, mudah-mudahan dalam waktu tidak lama akan datang Presiden dan juga Menteri ATR. Sudah ada pemasangan papan plan Keluarga Tomboy, jika ada yang bongkar maka akan disomasi. Perlu diketahui juga, setiap titik yang terpasang papan, sudah ada foto dan fotonya dikirim ke Presiden dan Menteri ATR di Jakarta,” tegas Ayub Titu Eki.
Laporan: Chris Bani