SIPERS, Merespon Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi

Pidato Kenegaraan Terakhir Presiden Joko Widodo: 10 Tahun Kepemimpinan Tanpa Kebijakan Keadilan Iklim, Saatnya Pemerintahan Baru Menunjukkan Komitmen Nyata Melalui Undang-Undang Keadilan Iklim


Jakarta, 18 Agustus 2024 – Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo yang disampaikan pada sidang DPR dan MPR 16 Agustus 2024 menjadi momen penting, tidak hanya sebagai pidato kenegaraan terakhir dalam masa jabatannya, tetapi sebagai refleksi dari 10 tahun pemerintahannya yang akan dikenang dalam sejarah Indonesia. Dalam momen ini, Aliansi Rakyat Untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menuntut Pemerintahan selanjutnya untuk menunjukkan komitmen yang serius untuk mewujudkan keadilan iklim. Pasalnya, hingga akhir masa kepemimpinan Presiden Jokowi, aksi-aksi pengendalian perubahan iklim belum menjadi prioritas utama, tetapi jauh dari perspektif Keadilan Iklim.

Momen pidato kenegaraan ini seharusnya dimanfaatkan oleh Presiden Joko Widodo untuk tidak hanya menegaskan komitmen Indonesia dalam penanganan krisis iklim, tetapi menunjukkan langkah konkret yang diambil untuk mengurangi ketergantungan pada industri ekstraktif. Indonesia harus mulai beralih ke model pembangunan yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan, yang tidak hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan, menegakkan hak asasi manusia dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat, khususnya bagi subjek-subjek rentan.

Bacaan Lainnya

Sayangnya, dalam pidato kenegaraan, Presiden Jokowi hanya menyinggung ekonomi hijau tetapi tidak menyinggung krisis iklim sebagai hal yang penting dan mendesak pada agenda pembangunan Indonesia ke depan. Lebih lanjut Presiden Jokowi secara eksplisit menyebutkan prestasi-prestasinya dalam bidang pembangunan ekonomi, infrastruktur, pengembangan sistem jaminan sosial. Meskipun demikian tidak ada satu keberhasilan pun yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam mengatasi krisis iklim. Presiden Jokowi gagal memaparkan keberhasilan dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk penurunan emisi GRK sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan Internasional.
.
Meskipun terjadi kemajuan-kemajuan secara makro, tetapi selama satu dekade terakhir, kebijakan ekonomi yang bertumpu pada industri ekstraktif menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap krisis iklim yang semakin memburuk. Dampaknya paling dirasakan oleh subjek-subjek rentan seperti petani kecil, nelayan tradisional, Masyarakat Adat, perempuan, orang muda, buruh, pekerja informal, penyandang disabilitas, anak-anak dan lansia yang berada di garis depan menghadapi perubahan iklim. Mereka lah yang menanggung beban
terberat akibat cuaca ekstrim, gagal panen, kerusakan ekosistem darat dan laut, termasuk dampak buruk dari proyek-proyek maladaptasi, aksi mitigasi sesat, dan berbagai dampak negatif pembangunan yang tidak adil dan inklusif sehingga mengancam kelangsungan hidup terutama subjek rentan. ARUKI mencatat bahwa selama 10 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, kebijakan dan aksi-aksi iklim yang dijalankan bukan hanya tidak menyelesaikan akar masalah dari krisis iklim, justru semakin mengancam keselamatan rakyat, merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia.

10 Tahun Pemerintahan Joko Widodo: Proyek Pembangunan yang Merusak Kemampuan Adaptasi Rakyat. Di bawah kepemimpinan Joko Widodo, berbagai proyek pembangunan besar-besaran terus digenjot, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan kemampuan adaptasi rakyat justru dilegitimasi melalui UU 2/2023 Ciptaker yang memperluas skala eksploitasi kawasan biosfer, cagar alam, dan hutan, tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan.

Berbagai proyek atas nama iklim, nyatanya hanya sebagai solusi palsu, di antaranya:

  1. Proyek transisi energi. Skema transisi energi yang digadang-gadang Pemerintah Jokowi tidak demokratis dan tidak berkeadilan. Proyek-proyek yang mengatasnamakan aksi iklim, nyatanya hanya menjadi business as usual (BAU) yang lebih menekankan pada investasi skala besar dan cenderung menambah persoalan dan kerentanan rakyat akibat perubahan iklim, serta semakin menyulitkan rakyat untuk beradaptasi. Proyek geothermal, CCUS, PLTA, kendaraan listrik dan berbagai proyek transisi energi lainnya, justru memperluas kerusakan lingkungan, merusak hutan dan kerugian bagi rakyat. Studi Walhi & Celios (2023) menunjukkan bahwa ekspansi dan eksplorasi Geothermal di Pulau NTT telah mengakibatkan kerugian ekonomi warga sebesar 1,1 triliun rupiah per tahun. Ini belum termasuk kerugian lingkungan dan konflik yang harus ditanggung oleh rakyat dalam jangka panjang. Alih- alih aksi iklim juga digunakan Pemerintah untuk gencar memberikan izin-izin tambang dan smelter nikel kepada korporasi. Kementerian ESDM mencatat bahwa hingga 2023, telah diterbitkan izin tambang nikel kepada 213 entitas perusahaan dan setidaknya 693.246,72 hektar kawasan tutupan lahan hutan di Indonesia telah diberikan
    kepada korporasi pertambangan nikel2. Skema ini telah berkontribusi pada pelepasan emisi GRK (Gas Rumah Kaca), menyebabkan pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang signifikan. Petani kecil, nelayan tradisional, perempuan dan masyarakat adat di sekitar area tambang dan smelter nikel di Sulawesi, Maluku, dan Papua menjadi korban langsung dari perampasan ruang hidup dan perusakan lingkungan.
  2. Proyek transisi energi JETP (Just Energy Transition Partnership), didominasi oleh utang luar negeri yang berpotensi menambah beban baru keuangan negara dan semakin memberatkan warga negara sebagai pembayar pajak. Selain itu, proyek transisi energi dalam JETP mengutamakan pembangunan energi terbarukan berskala besar yang rentan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Skema pendanaan JETP justru mengabaikan pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas yang mendekatkan sumber energi
    terbarukan dengan masyarakat sehingga mudah dijangkau dari sisi harga.
  3. Memberikan konsesi pertambangan batubara kepada ormas keagamaan (Nahdlatul Ulama/ NU dan Muhammadiyah). Pemberian konsesi pertambangan batubara kepada ormas keagamaan ini, bukan hanya upaya mencuci dosa ekologi industri batubara namun juga
    melemahkan gerakan lingkungan hidup di Indonesia. Setiap gerakan lingkungan hidup yang menyuarakan pentingnya penanganan krisis iklim akan berhadapan dengan NU dan Muhammadiyah. Kedua ormas keagamaan yang telah masuk dalam bisnis energi kotor batubara hampir bisa dipastikan akan menghalangi setiap gerakan masyarakat yang mendesak pemerintah memperkuat komitmen iklimnya. Konflik horizontal antara gerakan lingkungan hidup dan kedua ormas Islam menjadi sulit untuk dihindari.
  4. Proyek Food Estate, yang gagal mencapai tujuannya dan malah menimbulkan dampak buruk. Program yang menelan APBN lebih dari 104 triliun rupiah, dibangun di Sumatera, Kalimantan, Papua dan NTT, justru gagal dan menyebabkan kerusakan ekologi dan ekonomi hingga ketimpangan sosial. Di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, proyek Food Estate telah membabat kawasan hutan lindung seluas 165.000 hektar, termasuk 600 hektar hutan hujan. Akibatnya, masyarakat di kawasan tersebut menghadapi ancaman banjir karena deforestasi.
  5. Proyek Shrimp Estate. Pengembangan proyek tambak skala raksasa yang dilakukan di era Joko Widodo di wilayah Jawa Tengah, Kalimantan Tengah dan NTB, nyatanya mengeksklusi subjek rentan, terutama petambak tradisional dan perempuan petambak. Proyek Shrimp Estate untuk memastikan terpenuhinya supply udang Indonesia untuk kebutuhan ekspor ke negara-negara seperti Amerika Serikat dan Jepang, akan mengancam eksistensi petambak tradisional, penurunan kualitas lingkungan dan degradasi ekosistem pesisir seperti mangrove diabaikan. Pelanggaran hak-hak pekerja perempuan petambak pada masa pasca panen pun seringkali terjadi (Infid, 2022). Proyek ini juga absen dalam memperhatikan dampak turunan pada situasi ancaman perubahan iklim di sektor pesisir dan kelautan. Pada bagian lain, Sebagaimana hasil Rembug Iklim Pesisir (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia & Yayasan Pikul, 2023) menunjukkan bahwa kebijakan iklim yang tidak tepat justru meningkatkan kerentanan dan menghancurkan kemampuan adaptasi nelayan tradisional dalam menghadapi krisis iklim.
  6. Skema perdagangan karbon yang berorientasi pada bisnis dan tidak menjawab akar krisis iklim. Skema ini dilihat sebagai upaya melepaskan tanggung jawab korporasi atas kerusakan lingkungan dan penyumbang emisi GRK. Selama 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi, alih-alih meletakan prinsip keadilan iklim di dalam membangun kebijakan dan aksi-aksi iklim di Indonesia, justru sebaliknya peraturan terkait iklim lebih mendorong pada munculnya bisnis yang memperdagangkan krisis alih-alih mengurangi emisi gas rumah kaca secara nyata dan meningkatkan ketahanan rakyat. Situasi ini diperparah dengan besarnya ruang diskresi yang berdampak pada pelemahan demokrasi dan hilangnya fungsi kontrol publik kepada pemerintah atas jalannya kebijakan yang merugikan rakyat dan lingkungan.

Saatnya Indonesia Memiliki Undang-Undang Keadilan Iklim.

Hingga akhir kepemimpinan Presiden Jokowi, tidak ada peraturan perundang-undangan yang menjamin keadilan dan keselamatan rakyat dari krisis iklim. Padahal ancaman dan dampak krisis iklim sudah tak terhindarkan. Subjek-subyek rentan harus menanggung dampak terberat ketika negara gagal merespon secara holistik persoalan krisis iklim, bahkan memperburuk kemampuan adaptasi subjek rentan dengan pilihan model pembangunan ekstraktif yang merusak lingkungan dan melanggar HAM. Berdasarkan suara dan aspirasi subjek rentan dalam proses konsultasi rakyat yang digelar ARUKI, yang telah berjalan di 8 provinsi yang berbeda di Indonesia3 , bahwa dampak atas ketidakadilan pembangunan dan ketidakadilan iklim yang dialami dan dirasakan oleh rakyat niscaya mendesak untuk segera direspon secara lebih komprehensif dan berkeadilan.

Untuk itu, ARUKI (Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim) mendesak agar pemerintahan baru untuk:

  1. Proaktif melakukan evaluasi dan koreksi terhadap seluruh kebijakan dan regulasi yang bertentangan dengan semangat mewujudkan Keadilan Iklim seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja.
  2. Melakukan revisi secara menyeluruh dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP yang menempatkan pembiayaan transisi energi di Indonesia didominasi utang luar negeri dan mengabaikan pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas.
  3. Mambatalkan atau mencabut semua konsesi tambang batubara yang telah ditawarkan kepada ormas keagamaan, serta menghentikan pemberian izin-izin tambang atas nama mengatasi krisis iklim.
  4. Pemerintah dan DPR baru untuk segera membahas Rancangan Undang-Undang Keadilan Iklim. Indonesia perlu satu regulasi yang lebih tinggi dan bisa memayungi semua sektor melampaui sekat-sekat sektoral dan birokrasi. Momentum ini sangat penting untuk dimanfaatkan, mengingat dampak krisis iklim yang semakin meluas dan mengorbankan kehidupan rakyat Indonesia, terutama mereka yang sangat bergantung pada daya dukung dan daya tampung lingkungan. Keadilan iklim bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan mendesak demi melindungi masa depan bumi dan rakyat Indonesia.

Narahubung:
– Omen Bagaskara (omenbagaskara@pikul.id/085 314 451 953)

Tentang ARUKI

ARUKI merupakan aliansi 34 organisasi masyarakat sipil yang dibentuk pada 20 November 2023, organisasi masyarakat sipil tersebut di antaranya: Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Nasional, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Kemitraan, Yayasan
Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (PIKUL), Madani Berkelanjutan, Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Yayasan Pusaka, Aksi! For Gender Social Ecological Justice, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Solidaritas Perempuan, TUK Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Koaksi Indonesia, 350.org Indonesia, ELS FH Univ. Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, Climate Ranger (CR) Jakarta, XR Indonesia, Koprol Iklim, DPP Kasbi, PSHK, Trend Asia, Walhi Jakarta, Celios, Perkumpulan Huma.

ARUKI dibentuk untuk mendorong terwujudnya UU Keadilan Iklim, yang diyakini sebagai instrumen hukum tertinggi yang dapat mendorong kolaborasi dan harmonisasi dalam mengatasi krisis iklim. Visi ARUKI adalah mendorong perubahan sistem negara agar
terwujud keadilan iklim di Indonesia yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan. Misinya adalah: (1) Membangun kekuatan rakyat dalam mendorong keadilan iklim (2) Mendorong perubahan sistem demokrasi negara dalam perwujudan keadilan iklim (3) Meluaskan gerakan keadilan iklim di tingkat daerah, nasional, regional, dan global.

ARUKI dibagi memiliki kelompok kerja meliputi: (1) Kelompok Kerja Substansi dan Naskah Akademik: menyusun narasi pengetahuan tentang keadilan iklim dan mengembangkan kertas posisi menjadi naskah akademik RUU Keadilan Iklim. (2) Kelompok Kerja  Pengorganisasian Rakyat: membangun penyadaran masyarakat terdampak dan mendorong keterlibatan rakyat dalam mewujudkan keadilan iklim. (3) Kelompok Kerja Advokasi dan Komunikasi Strategis: menghubungkan advokasi di tingkat tapak dengan pengambilan keputusan di tingkat daerah dan nasional. ARUKI merupakan bukti komitmen berbagai organisasi masyarakat sipil untuk memperjuangkan keadilan iklim di Indonesia, dan diharapkan dapat menjadi penggerak utama dalam mewujudkan perubahan sistemik yang berkelanjutan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *