Diskusi Publik: Perpanjangan Masa Jabatan Kades, Berkah atau Petaka Demokrasi?

Kupang-InfoNTT.com,- Wacana yang baru-baru hangat beberapa hari terakhir adalah terkait demo para Kepala Desa (Kades) yang tergabung dalam Perkumpulan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI).

Berdasarkan berita dari Kompas.id, para kepala desa melakukan unjuk rasa untuk meminta kepada pemerintah dan DPR RI untuk merevisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa. Secara khusus pada pasal 39 ayat 1 tentang masa jabatan kepala desa dari 6 tahun diperpanjang menjadi 9 tahun.

Alasan mendasar meminta perpanjangan masa jabatan karena waktu 6 tahun sangat susah untuk menyatukan polarisasi politik yang terjadi di desa. Di sisi lain rezim birokratis dan teknokratis dari negara terhadap desa begitu dominan, membuat waktu kades paska Pilkades dihabiskan untuk mengatasi persoalan tersebut.

Menanggapi hal tersebut, para pegiat desa lintas sektor dan lintas daerah mengadakan diskusi public bertajuk “Perpanjangan Masa Jabatan Kades: Berkah Atau Petaka Demokrasi”, yang berlangsung pada hari Kamis, 26 Januari pukul 19.00 WITA.

Diskusi tersebut menghadirkan 4 narasumber yakni Yonatan H. L. Lopo (Dosen FISIP Undana Kupang), Klemens Kawaman (Kepala Desa Hadakewa, Kabupaten Lembata), Vinsensius Bureni (Direktur Bengkel APPek, Kupang), serta Gregorius Sahdan, dosen STPMD Yogtakarta seklaigus Direktur The Indonesian Power for Democracy.

Dosen Fisipol Universitas Nusa Cendana Kupang, Yon Lopo menjelaskan bahwa memang desa mengalami berbagai persoalan paska berlakunya UU Desa. Hal ini tidak berbeda dengan desa sebelumnya ihwal determinesme negara terhadap desa.

Namun, ia juga mempertegaskan bahwa UU Desa itu memang harus direvisi. Tapi bukan untuk perpanjangan masa jabatan Kades. Melainkan menyelesaikan persoalan yang dihadapi desa sendiri.  Ungkap Lopo dalam penyampaian materinya dalam diskusi Via Zoom (online).

Sementara Klemens Kwaman selaku Kepala Desa Hadakewa, Lembata menjelaskan bahwasannya wacana perpanjangan masa jabatan itu tidak menjadi urgensi dalam pembenahan desa.

“Saya sendiri saja menjadi kepala desa ada masa jenuhnya, apalagi kalau sampai bertahun-tahun. Desa itu harus ada kaderisasi kepemimpinan dan regenerasi. Biarkan yang lain tumbuh untuk membangun desa,” ujarnya.

Rezim teknokrasi dan birokratis dalam desa selama ini memang telah mengekslusikan desa. Demokrasi desa dibabat habis oleh nalar negara yang birokratis dan teknokratis. Kemandirian desa patut dipertanyakan, karena kades bekerja sesuai nalar dari pemerintahan di atasnya.

Hal ini dipertgeas oleh Vinsen Bureni sebagai Direktur Bengkel Appek, bahwa sudah 17 tahun bengkel ApPek terlibat dalam advokasi desa di NTT. Dan terlibat dalam sejarah penyusunan UU Desa. Salah satu landasan penting lahirnya UU Desa adalah adanya asas kemandirian melalui pengakuan. Desa bisa merencanakan, menganggarkan dan menguruskan masyarakat desa.

Namun nyatanya pasca UU Desa maka kepala mengalami persoalan desa vs nasional. Banyak sekali aturan yang membuat kebingungan bagi Pemdes. Dan itu persoalan harus diselesaikan lintas depertemen agar tidak merepotkan pemerintah desa. Selain itu desa juga sangat penting melakukan penguatan kelembagaan-kelembagaan di desa misalnya BPD atau Lembaga nonformal lainnya. Karena selama keterlibatan bengkel Appek harus jujur kita katakana bahwa BPD itu tidak berfungsi sebagai mitra atau teman dari Kepala Desa dan Aparatnya.

Persoalan-persoalan itulah yang harus diselesaikan ke depannya. Revisi UU Desa harus kesana sasarannya. Bukan malah focus pada perpanjangan masa jabatan. Vinsen juga menegaskan bahwa menyuarakan perpanjangan jabatan merupakan orang yang belum mampu menyelesaikan persoalan selama 6 tahun.

Dalam diskusi semua pemateri bersekapat bahwa penetrasi dan determinisme negara terhadap desa begitu kuat. Desa jadinya mengalami berbagai persoalan dimana kemandiriannya diabaikan begitu saja oleh negara sendiri.

Gori Sadhan selaku Dosen STPMD “APMD” Yogyakarta menjelaskan, dalam UU Desa itu banyak praktek anti desa, tekonkratisasi desa mematikan demokrasi desa. Rencana pembangunan desa hanya kamuflase. Kemudian terjadi kooptasi yang dilakukan negara terhadap pemerintah desa.

Goris melanjutkan hingga kini ada 18 program yang dijalankan desa dan itu kepentingan dari kementrian sectoral. Katakanlah isu stunting itu yang seharusnya diselesaikan oleh negara, malahan diselesaikan oleh desa. Begitu juga dengan SGDs Desa. Program-program ini merupakan kepentingan kementrian. Jadi kepala desa hanya menjalankannya. Banyak dari program ini tidak sesuai dengan kebutuhan desa.

Sehingga wacana perpanjangan masa jabatan itu tidak menjadi penting soal berapa tahunnya. Kalau 9 tahun juga baik selama itu sesuai dengan kebutuhan desa dan desa juga diberikan kemandirian yang utuh dalam arti tidak ada kepentingan negara di desa. Ia juga menekankan bahwa kita sebagai pegiat desa harus menghindari pola pikir negara itu desa, des aitu negara. Pola pikir inilah yang menjadikan desa dikooptasi terus oleh negara.

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi beberapa peserta diskusi mengajukan argumentasi mengenai perpanjangan masa jabatan kades. Salah satu peserta aksi Ino Barung mengatakan, jikalau perpanjangan jabatan itu kebutuhan warga, mengapa para kades yang datang demo, kenapa tidak dihadirkan juga warganya. Jadi demo meminta perpanjangan jabatan itu kepentingan kades saja.

Ino juga melanjutkan anasir dan asumsi public tidak bisa ditolak semisalnya aksi para Kades di bawah naungan PAPDESI memiliki kaitan dengan kepentingan tahun 2024.

Sementara peserta diskusi lainnya, mengangkat persoalan desa dalam konteks mikro. Dimana hal-hal seperti itu sama sekali luput dari potret negara dalam memandang desa. Persoalan seperti Kades tidak mendengarkan masukan warga, Kades memasukan keluarga sendiri di jajaran Pemerintahan Desa, dn lain-lain. Persoalan ini harus diatasi sebenarnya, bukan malah menambah masa jabatan yang membuat para Kades semakin berkuasa semena-menanya.

Menanggapi pertanyaan dan masukan dari peserta diskusi, para pemantik diskusi, Vinsen Bureni mengatakan persoalan mikro des aitu yang harus diselesikan di desa. Harus ada kejelasan di antara depertemen kementrian agar tidak merepotkan pemerintahan desa. Desa harus diberi kemandirian dalam merencanakan, mengurus dan mengatur desa. Bukan didominasi secara terus menerus oleh desa.

Sementara Goris Sadhan menjelaskan bahwa untuk revisi UU Des aitu urusannya DPR RI dan sekarang sudah masuk dalam PROLEGNAS. Kalau seandainya DPR menerima masukan perpanjangan masa jabatan yah mau bagaimana lagi. Lalu hal terpenting lagi yakni dalam revisi UU Desa, maka nama Kantor Pemerintah Des aitu diganti dengan Kantor Desa. Kantor Desa itu erat kaitannya dengan demokrasi warga, sementara kantor Pemerintah Desa oitu lebih ke kantor administrative dan tidak ada demokrasi sesungguhnya di sana.

Yon Lopo melanjutkan, sesungguhnya diskusi ini tidak menolak revisi UU Desa. Ia menekankan revisi UU Desa itu penting untuk pembenahan desa. Tapi bukan untuk perpanjangan masa jabatan Kades.

“Lalu saya pribadi juga agak risih dengan kategorisasi dan justrifikasi bagi kelompok yang menolak perpanjangan masa jabatan Kades disebut sebagai anti politik. Klasifikasi seperti itu membatalkan dialektika pengetahuan yang sesungguhnya,” jelasnya.

Diakhir diskusi, moderator Ernest L Teredi mengucapkan terimakasih kepada pemateri, peserta diskusi dan Fisip Ilmu Politik Undana, The Indonesian Power for Democracy (IPD), Bengkel ApPek, Lopo Demokrasi dan Kelompok Studi Tentang Desa (KESA) yang sudah menginisiasi kegiatan diskusi.

Ia juga menutup diskusi dengan analogi cerita nyata mengenai perdebatan Haji Agus Salim dan Kusirnya ketika berjalan, saat itu tiba-tiba kudanya kentut, Haji Agus Salim mengatakan kudanya masuk angin, sementara kusirnya bilang kalau kudanya itu keluar angin. Dalam arti perdebatan, pro kontra adalah pintu masuk untuk mendalami suatu persoalan yang sesungguhnya. Dan diskusi kita mala mini sangat menarik karena ada perdebatan, teori, fakta empiris yang membuat persoalan desa terungkap satu persatu. Terima kasih.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.