Sudah Sedang Akan

Heronimus Bani

Waktu (chronos ~ Yunani; tempus ~ Latin, time ~ Inggris; oras ~ Uab Meto’) bila dibendakan, kiranya Anda suka wujud benda apa yang paling tepat padanya? Waktu tak dapat diwujudbendakan, tetapi ia selalu ada pada kita. Sekalipun ia tidak dapat diwujudbendakan, saya mengandaikan wujud bendanya bagai suatu bentangan jalan yang kiranya dapat dilalui menuju suatu tujuan (tempat ~ locus). Di dalam bentangan jalan itu insan manusia memanfaatkan fasilitas tertentu baik secara manual maupun mekanik. Pilihan kemungkinannya ada pada insan manusia itu sendiri untuk tiba pada tujuan itu. Ketibaan pada tujuan itu bergantung pada kesiapan untuk memulai perjalanan yang manual atau mekanik. Bila pilihannya manual, maka yang paling tradisional yakni berkaki meningkat menjadi berkuda, atau berdokar. Sementara yang mekanik mulai dari kereta angin hingga kereta api super cepat berlistrik. Semua pendekatan itu akan mengantar penggunanya sampai ke tujuan yang sama dengan gaya berbeda.

Bagaimana dengan Anda? Bila waktu sudah dibentang sebagai suatu jalan raya di suatu tempat menyusuri lereng, bukit terjal, menyeberangi sungai atau danau, mendaki bukit atau perbukitan hingga gunung dan pegunungan. Di sana ada tantangan dan rintangan, yang pada sisi sebelahnya ada ruang dan peluang. Anda akan mendapati pilihan-pilihan melanjutkan atau berhenti sejenak, berefleksi, maju atau mundur, dan kembali ke titik nol (0). Mungkinkah Anda akan kembali ke titik nol (0). Dalam bentangan waktu kita tidak dapat kembali ke titik nol, kecuali kita terus maju dan memulai sesuatu yang baru pada bentangan itu dengan menghitungnya sebagai titik berangkat baru, titik nol (0), tetapi dalam hitungan waktu, ia terus maju dan bukan memulainya dari nol (0).

Bacaan Lainnya

Kita baru saja melewati suatu bentangan waktu. Banyak orang menghitungnya mulai dari satuan tahun, bulan, minggu, jam, hingga menit dan detik. Betapa detil dan cermatnya orang-orang yang mau menghitung seperti itu. Alangkah bijaknya orang-orang seperti itu. Pendengar atau pembacanya akan termangu-mangu bila mampu menghitung semua itu. Mereka bagai tersanjung ketika keluar sebagai “pemenang” dalam hitungan itu. Sayangnya mereka lupa pada orang-orang yang menemukan trik dan metode menghitung waktu. Mereka lupa untuk berterima kasih. Waktu yang dikonversi dalam angka-angka itu pun tidak stagnan, tetapi terus bertambah sebagaimana lajunya perjalanan menuju suatu titik tempat. Angka itu akan terus bertambah.

Lihatlah angka 2021 kini bertambah satu saja menjadi 2022. Satu saja angka yang ditambahkan tetapi sesungguhnya bentangannya panjang dan jauh. Angka 2022 sebagai angka tahun baru ini sudah dimulai, dimulainya pada titik waktu yang disebut 00.00, lalu di sana orang mulai berangkat lagi, maju lagi. Mereka tidak mungkin untuk berbalik atau mundur laksana satu kendaraan bermesin yang dapat dimundurkan hanya dengan menggunakan kemudi (stuur ~ Belanda ~ di-MelayuKupangkan menjadi stir). Apakah orang merasa lelah untuk maju? Mungkin saja begitu, oleh karena setiap insan manusia tubuhnya akan dimakan waktu atau bahkan sedang dibungkus oleh waktu. Gerak hidupnya selalu ada di dalam waktu sehingga ia dapat melewati sesuatu dan akan berkata, sudah atau telah. Sudah atau telah ini dibangun ketika ia sedang atau sementara berada dalam satuan sekarang/kini. Pada satuan sekarang/kini ia memulai lagi langkah maju dengan daya dan gaya yang makin naik menuju klimaksnya atau sedang turun sebagai antiklimaksnya.

Maka orang menghitung umur dan usia. Ketika orang berada dalam hitungan umur dan usia ada harapan, mimpi atau visi yang hendak diraih di masa yang akan datang. Segala sesuatu yang sudah/telah direfleksikan sebagai modal. Refleksi itu hanya dapat terjadi pada satuan sekarang/kini. Orang tidak berefleksi pada satuan nanti/akan tetapi satuan nanti/akan itu hendak diraih. Permasalahannya untuk tiba di titik nanti/akan, bagaimana caranya? Imajinasi dimainkan. Ya, makhluk manusia ini mendapatkan satu keistimewaan dari Sang Khalik yakni imajinasi. Dalam imajinasi orang mulai berpikir tentang sesuatu yang sudah/telah, sedang/sementara dan nanti/akan. Suatu yang sudah/telah itu diimajinasikan dalam kalbu, hendak diwujudkan kembali pada satuan waktu sekarang/kini dalam rupa yang kiranya disebutkan diadakan kembali (held again), tetapi tidak akan mengubah waktu untuk kembali ke sana, ke titik darimana datangnya sesuatu yang diadakan kembali itu. Sesuatu yang diimajinasikan pada satuan sekarang/kini segera disikapi untuk berwujud. Bila sudah terjadi, ia akan tinggal di situ dan berada dalam catatan waktu, bahwa pada titik waktu sekarang/kini ada wujud benda X di sini, dan akan terus ada bersama penciptanya untuk dipertontonkan dan dibanggakan belaka di satuan waktu nanti/akan, yang pada saat itu waktunya akan disebut sekarang/kini.

Suatu satuan waktu nanti/akan kiranya hanya dapat diimajinasikan karena ia bagai fatamorgana yang tak dapat ditangkap. Ia bagai terlihat mata tetapi mata itu sendiri bagai tertipu bayang-bayang semu. Maka makhluk manusia senantiasa berada pada dua satuan waktu yakni yang sudah/telah dan sekarang/kini. Mengapa orang tidak pernah sampai pada satuan waktu nanti/akan? Karena ketika imajinasi sampai pada satuan waktu itu, misalnya pada Desember 2022 nanti/akan dibuatkan benda X. Ketika tiba pada Desember 2022 itu, orang tidak lagi menyebut nanti/akan tetapi orang menyebutkannya sekarang/kini. Maka sesungguhnya orang tidak akan pernah sampai kepada satuan nanti/akan. Bagaimana opinimu?

Kini lihatlah segala lapisan kaum. Anak-anak berimajinasi nanti/akan pada satu satuan waktu kelak akan menjadi sesuatu agar memberi jaminan pada hidupnya sendiri dan orang lain. Ia berada di bentangan waktu maju, maju, setiap langkah maju dan kemajuan berlangsung, fisik dan psikisnya ikut bertumbuh dan berkembang. Di sana satuan waktu membungkusnya. ia bertambah dan berkembang, dan pada titik klimaksnya ia mungkin sudah mencapai sesuatu itu. Lantas menjalaninya, menikmatinya, merasakan dan membagikannya atau justru ia mendapatkan dari pembagian orang lain padanya. Kemudian akan turun sebagai antiklimaksnya. Fisik mulai menurun, mimpi indah tentang masa depan masih ada padanya, tetapi daya dan gaya mulai berkurang terkuras dalam perjalanan di dalam bentangan waktu itu. Tengoklah kata-kata para tua-tua di kampung, “Ketika kenikmatan tiba, kami sudah tua, bagiamana kami menikmatinya?” Pernyataan dalam pertanyaan atau sebaliknya bertanya dalama kenyataan. Ada pula yang galau dan berkata pada anak-anaknya, “Andaikan kenikmatan ini terjadi pada masa mudaku, entah apa yang aku lakukan! Sungguh sayang, aku sudah tua!”

Halo, mari berefleksi, masih dapat disambung oleh pembaca sendiri.

Penulis: Heronimus Bani

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *