Krira’, Wahana Pemaksaan Senyap tanpa Kreativitas Pemaksanya

Sumber: bukalapak

Krira‘, Wahana Pemaksaan Senyap tanpa Kreativitas Pemaksanya

Pengantar

Bacaan Lainnya

Pernahkan Anda mendengar kata krira’? Pernahkah Anda menyaksikan krira’? Kata ini ada di tengah masyarakat adat Pah Amarasi. Krira’ sebagai suatu kegiatan positif pada masanya yang terus dipertahankan sampai saat ini. Krira’ baik pada masa Swapraja Amarasi kemudian diteruskan oleh Pemerintah Kecamatan Amarasi, dan pada masa pemekaran ini. Sayangnya, kualitas krira’ tidak naik atau berkembang, tetapi justru terlihat menurun dan tidak berkembang.

Apa itu krira’? Krira’ merupakan suatu budaya pameran yang khas masyarakat adat Pah Amarasi. Krira’ biasanya disasarkan kepada kaum perempuan. Objek krira’ yakni tenunan dan anyaman.

Apa yang terjadi dengan krira’ pada masa kini ketika Pah Amarasi atau Amarasi Raya telah menjadi 4 kecamatan? Tiap kecamatan mempunyai program sendiri untuk mewujudkan krira’ itu. Tulisan ini saya fokuskan pada konteks locus dimana saya berada.

Perempuan Desa di Pah Amarasi Nakrira’

Pemerintah desa mana pun di bekas wilayah Pah Amarasi (Amarasi Raya) dipastikan tetap mempertahankan budaya krira’. Krira’ selalu berkaitan dengan kerajinan dari kaum perempuan. Kerajinanyang dimaksudkan itu yakni: menenun dan mengayam. WAktu krira’ selalu menjelang perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan NRKI setiap tahunnya. Maka, apa yang dilakukan kaum perempuan menyongsong hari itu? Mereka akan pontang-panting membanting tulang siang-malam untuk mendapatkan sehelai kain tenunan. Apakah itu karya sendiri? Belum dapat dipastikan? Mengapa tidak dapat dipastikan?

Berikut uraian bagaimana proses terjadinya suatu karya tenunan atau anyaman. Isteri-isteri dari para Ketua Rukun Tetangga, Ketua Rukun Warga, Kepala Dusun, hingga Kepala Desa yang tergabung dalam Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) akan menyampaikan kepada para perempuan di wilayahnya masing-masing model motif (a’kaif ~ atope’). A’kaif ~ a’tope’ dikeluarkan oleh PKK tingkat Kecamatan. A’tope’ itu sendiri akan disosialisasikan selanjutnya diikuti dengan ketentuan-ketentuan yang akan dikenakan kepada para perempuan warga dusun bila tidak mengerjakannya.

Waktu bergulir sejak disosialisasikan. Para perempuan sibuk dengan urusan rumah tangga dan lain-lain. Lalu tiba pada bulan Juli tahun berjalan, para perempuan pun mulai dag dig dug. Selama bulan Juli menuju bulan Agustus menjelang Hari Proklamasi Kemerdekaan NKRI setiap tahunnya para perempuan benar-benar sibuk. Mereka sibuk berbelanja benang, pewarna, dan lainnya hingga duduk sambil bekerja menenun agar sehelai atau beberapa helai kain tenun terwujud. Lalu tibalah hari krira’ secara berjenjang.

Jenjang pertama yakni di wilayah Dusun. Kepala Dusun, para Ketua RW, Ketua RT memobilisasi para perempuan ke suatu tempat, misalnya di rumah pribadi kepala dusun atau salah satu di antara mereka atau bila sudah mempunyai Balai Pertemuan Dusun mereka dimobilisasi ke sana. Mereka wajib membawa hasil tenunan dan anyaman. Kain tenunan wajib itu motifnya harus sesuai dengan apa yang dikeluarkan oleh PKK Kecamatan. Bila tidak memiliki produk kain tenun atau anyaman, maka para perempuan akan dikenai denda. Denda di tingkat dusun.

Kemanakah uang denda? Hanya Kepala Dusun dan perangkatnya yang mengetahui.

Selanjutnya di antara produk kain tenun dan anyaman itu ada yang terpilih untuk dibawa ke krira’ jenjang kedua yakni di Aula Kantor Desa. Di sana, akan diadakan pemilihan lagi produk tenunan dan anyaman terbaik untuk dibawa ke krira’ jenjang ketiga yakni di lokasi penyelenggaraan perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan NKRI tingkat Kecamatan. Dalam pada itu, krira yang demikian dapat dilanjutkan dengan menjual produk-produk tenunan dan anyaman ini.

Mari saya ajak untuk flash back tentang perempuan seperti apa yang diwajibkan untuk mengikuti krira’?

Pada zaman Swapraja Amarasi, Uispah Koroh mewajibkan perempuan-perempuan paruh baya (50-an tahun) menjadi pembina kepada mereka yang berada di lapisan umur di bawahnya. Mereka itu yakni yang sudah bersuami berumur antara 20 – 49 tahun. Merekalah yang diwajibkan krira’. Sementara para gadis masih dalam binaan hingga siap kelak menjadi calon peserta krira’ berikutnya bila sudah berkeluarga.

Pada masa Kecamatan Amarasi ketika Uispah Koroh sudah tidak lagi menjadi Camat, masih dipertahankan pendekatan itu. Perlahan-lahan hal pemertahanan ini digerus. Gadis-gadis pun mulai diwajibkan, bahkan mulai menggunakan pendekatan denda adat. Denda adat ditentukan oleh kaum laki-laki. Padahal kaum laki-laki mengenakan kain tenunan yang dibuat oleh kaum perempuan. Rasa malunya telah hilang ketika mendenda perempuan yang duduk berhari-hari untuk menghasilkan atau belum sampai menghasilkan satu lembar kain tenun.

Pada masa pemekaran kecamatan, denda makin diperhebat, walau ada pula perangkat desa yang secara diam-diam melindungi para perempuan di wilayahnya. Perangkat desa yang demikian itu mendaftarkan perempuan tertentu saja yang wajib mengikuti krira’. Lalu perempuan lain yang tidak masuk dalam daftar mendukung mereka dengan membantu pada tahapan proses tenun itu.

Selama masa pemerintahan Swapraja Amarasi sampai Kecamatan Amarasi, semua perempuan yang suaminya berperan penting di pendidikan, kesehatan, dan lain-lain layanan sektor tertentu, tidak diwajibkan untuk mengikuti krira’. Ketika trend pakaian tradisional Pah Amarasi makin naik, maka Kepala Desa tertentu mulai memaksa perempuan dengan status PNS/ASN ikut di dalamnya. Saya setuju saja jika krira’ sebagai ajang pameran kreativitas dan inovasi semua pihak, dan bukan hanya para perempuan saja.

Mari bertanya kepada PKK Kecamatan, apakah mereka telah memiliki ketrampilan menenun ketika menetapkan motif a’kaif ~ a’tope’ setiap tahunnya?

Tahapan Menenun

Seorang perajin tenun ikat di zaman ini akan selalu melewati tahapan seperti ini:

  • pengadaan benang diikuti mencuci benang
  • merentang benang pada alat bantu untuk mebuat bola-bola benang
  • merentang bola-bola benang pada perlengkapan siap ikat
  • mengikat motif (a’kaif) sesuai contoh (a’tope’)
  • mewarnai dengan cara mendidihkannya di dalam air panas
  • penjemuran, membuka tali-tali pengikat motif
  • merentang benang yang sudah bermotif di perlengkapan tenun
  • melengkapi benang bermotif dengan benang berwarna antar motif
  • menenun hingga tuntas
  • menjahit.

Menjahit hanya terjadi pada kain tenun yang disebut tai-runat, untuk perempuan dan tai-muti’ untuk laki-laki. Mengapa menjahit? Karena hasil tenunan untuk mendapatkan satu helai kain untuk perempuan atau laki-laki itu terdiri dari beberapa helai yang disatukan.

Proses yang demikian itu tidak dapat dilakukan oleh para perempuan di zaman ini. Maka, solusinya yaitu menyewa perempuan lain yang mempunyai ketrampilan. Mereka harus membayar mahal untuk meloloskan diri dari jerat denda adat pada saat krira’ di jenjang dusun.

Kini, krira’ tidak lagi menjadi ajang “memamerkan” kemampuan berkreasi, tetapi telah bergeser mundur sebagai ajang memaksa para perempuan muda untuk menunjukkan karyanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak perempuan muda telah menjadi kamuflator-kamuflator ketika berada di arena krira’. Sementara kaum laki-laki menjadi pemaksa yang sama dengan “menjajah” kaum perempuan muda. “Penjajahan” yang demikian justru terjadi menjelang hari Proklamsi kemerdekaan NKRI setiap tahunnya.

Betapa kaum laki-laki tertentu di wilayah bekas Swapraja Amarasi menjadi “usif” di zaman ini.

Penutup

Sesungguhnya kita sebagai masyarakat adat Pah Amarasi patut bersyukur bahwa ada satu budaya pameran (krira’) yang ditinggalkan oleh pemerintah Swapraja dan Kecamatan Amarasi pada masanya. Pengembangannya agar lebih berkualitas harus dilakukan oleh para Camat, Kepala Desa dan Lurah yang rerata sudah berpendidikan tinggi. Tetapi, mereka harus memiliki ketrampilan utama yakni menenun dan menganyam, bukan mampu menunjukkan model motif tanpa memberikan contoh cara kerjanya.

Hanya Kepala Desa ngawur yang mewajibkan tanpa memberi contoh. Hanya Pengurus PKK linglung yang mengirim a’kaif  ~ a’tope’ tanpa uraian mengapa memilihnya dan bagiamana cara membuatnya? Kepala Desa menjatuhkan sabdanya bagai Tuhan di desa. Lupa bahwa, ia mengenakan kain tenun karena keringat dan nuansa hati yang tak menentu dari seorang perempuan penenun.

Mari berefleksi. Terima kasih.

 

 

Penulis: Heronimus Bani

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *