Oleh : Arifin Lete Betty, STP
InfoNTT.com,- Pembaca tahu kain lap? pasti tahulah. Yang mana kain lap merupakan secarik kain entah serbet yang dijual di pasar, entah kanebo yang kebanyakan dipakai untuk lap kendaraan, entah guntingan kain dari baju atau celana bekas yang dipakai untukmembersihkan sesuatu, misalnya meja, kaca, kursi, pel lantai dan sebagainya.
Ada kisah lucu, di mana saya pernah melihat orang buat kain lap celana dalam. Bukan celana dalam bersih, karena yang saya lihat itu celana dalam kotor yang dipakai untuk membersihkan meja.
Orang itu tanpa canggung memegang celana dalam tersebut, lalu sibuk membersihkan sini sana sampai wajahnya berkeringat saking capeknya. Sepintas kelihatannya apa yang dilakukan sudah baik dan membantu menyelesaikan satu problem kebersihan. Objek yang dia lap kelihatan bersih.
Saya melihat orang-orang di sekeliling menertawakan kebodohan dia, separuhnya mengomel sambal menyuruhnya berhenti, malah beberapa ibu menunjukan mimik wajah seperti mau muntah melihat cara kerjanya, tapi orang itu “cuek” dan terus membersihkan meja dengan penuh percaya diri menggunakan celana dalam bekas tersebut.
Saya sempat berpikir bahwa perilaku orang itu tidak baik bahkan cenderung aneh, mengapa?
Pertama, masa dia ambil celana dalam yang kotor untuk dipakai lap meja dan dia yakin bahwa meja itu bersih, karena sebersih-bersihnya celana dalam, namun celana dalam bekas mestinya tidak dipakai lap meja, apalagi celana dalam kotor.
Kedua, masa dia bisa cuek dan percaya diri dengan pilihannya bahwa celana dalam adalah salah satu kain untuk lap meja, meskipun banyak orang ramai mencibir dan mengomelinya.
Saya juga ikut gemas saat itu, bahkan seperti mau pergi “remas dia punya pipi”. Tapi dipikir-pikir, sudahlah, mungkin dia buta huruf sehingga pengetahuannya pun hanya sebatas itu. Saya pun segera berlalu dari tempat itu karena kalau terus duduk di tempat tersebut, bisa terpancing emosi. Biarlah mungkin tiba saatnya si bos akan memecatnya karena kerja tidak benar.
Inilah sepenggal kisah belasan tahun lalu dan saya juga hampir melupakannya.
Hanya saja pagi ini ketika membuka laman facebook, saya membaca tulisan Bapak David Boimau (Anggota DPRD TTS-Fraksi Hanura) mengkritisi Keputusan Bupati TTS Nomor.146/KEP/HK/2022 yang intinya menunda pelaksanaan Pilkades serentak di TTS, yang awalnya dijadwalkan tanggal 17 Juni 2022, lalu ditunda ke tanggal 25 Juli 2022 dengan disertai penegasan bahwa sepanjang waktu 1 bulan lebih ini para calon kepala desa dilarang berkampanye.
Tentu kita samakan bahwa dengan kata lain masa tenang yang mestinya terhitung sejak tanggal 14 Juni kemudian diperpanjang hingga 25 Juli mendatang.
Menurut saya, bapak David Boimau mengulas bahwa, yang dimaksud dengan masa tenang dalam Perda TTS Nomor.10 Tahun 2015 tentang Pilkades adalah 3 hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara, atau dengan kata lain, SK Bupati bertentangan dengan Perda atau salah di mata Perda. Nah, kontradiksi hukum inilah yang sering kali memicu konflik dalam penerapannya di lapangan.
Jadi seperti kisah kain lap dari celana dalam yang saya ceritakan di atas. Bahwa mungkin maksud si pembuat SK adalah untuk menyelesaikan masalah penundaan waktu pencoblosan karena ketiadaan surat suara, tapi tidak berpikir bahwa alat (SK) yang dipakai itu tidak tepat, bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan berpotensi timbulkan masalah baru, misalnya potensi konflik horizontal ; dan bahkan semua calon kepala desa yang kalah pun bisa menggugat proses Pilkades secara keseluruhan hanya karena kesalahan tahapan yang bertentangan dengan Perda.
Sampai di sini tentu kita berharap, si pembuat SK tidak berperilaku seperti “tukang lap” tadi yang percaya diri dan cuek di tengah-tengah cibiran bahkan omelan banyak orang.***