Halo Guru, Adakah Gayamu pada Hardiknas 2022?
Awalan Hardiknas Ini
Hari ini, Senin (02/05/22), Dunia Pendidikan di Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional. Tema yang diusung yakni, Pimpin Pemulihan, Bergerak untuk Merdeka Belajar. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi tidak menyelenggarakan Upacara tepat pada 2 Mei 2022 ini. Upacara akan dilangsungkan pada 13 Mei 2022. Mengapa? Karena Hardiknas 2022 ini bertepatan dengan Hari Raya Idulfitri 1443 H dan cuti bersama tahun 2022. Dalam surat Kemdikbud Ristek Nomor 28254/MPK/TU.02.03/2022; tanggal 22 April 2022 memberikan pedoman pelaksanaan peringatan Hari Pendidikan Nasional 2022. Surat itu ditujukan kepada berbagai instansi jenjang pusat di dalam negeri dan luar negeri, hingga kepala satuan pendidikan. Lantas, apakah para guru saat ini sedang berada dalam nuansa peringatan Hardiknas 2022? Jawabannya, sepi (maaf, semoga saya keliru).
Dalam surat Kemdikbud Ristek ini ada himbauan agar instansi pusat, daerah, satuan pendidikan, serta Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dapat menyelenggarakan aktivitas/kegiatan memperingati dan
memeriahkan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2022 secara kreatif, menjaga dan membangkitkan semangat belajar di masa darurat Covid-19, serta mendorong pelibatan dan partisipasi publik, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Boleh jadi semua itu akan dilaksanakan oleh satuan-satuan pendidikan sesudah Libur Lebaran dan Cuti Bersama.
Kita bertanya kini, dapatkah guru di pedesaan dan pedalaman (misalnya di Timor) akan menyelenggarakan pada Hardiknas 2022 sebagaimana surat Kemdikbud Ristek itu? Jawabannya, variatif; paling kurang ada 3 jawabannya; dapat, tidak dapat atau bingung. haha…
Isian Hardiknas 2022 ini
Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2022 bertujuan: Memperkuat komitmen seluruh insan pendidikan akan penting dan strategisnya pendidikan bagi peradaban dan daya saing bangsa; Mengingatkan kembali kepada seluruh insan pendidikan akan filosofi perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam meletakkan dasar dan arah pendidikan bangsa; Meningkatkan rasa nasionalisme di kalangan insan pendidikan.
Menelisik 3 tujuan peringatan Hardiknas 2022 ini, kiranya terlihat kata kuncinya yakni, posisi strategis pendidikan bagi peradaban, filosofi pendidikan nasional, nasionalisme insan pendidikan. Saya endak mencoba mengurai ketiga kata kunci ini dari perspektif seorang guru SD di Pedesaan/Pedalaman Timor.
- Posisi Strategis Pendidikan bagi Peradaban
Selurun insan pendidikan, pengambil kebijakan pada semua arasy, hingga masyarakat bangsa ini menyadari bahwa pendidikan dalam segala aspeknya akan berdampak pada peradaban. Para pendiri bangsa telah menempatkan pendidikan dalam satu visi yang teramat strategis yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Rasanya hanya satu frasa tanpa makna filosofis, sosiologis dan edukatif. Kelihatannya amat sederhana, tetapi mencapainya tidak semudah pernyataan pendek itu. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai suatu visi yang teramat jauh bagai fatamorgana sekaligus bagai bayang dekat di depan mata. Bangsa ini bergenerasi. Tiap generasi ada zamannya yang menjadi anutan sekaligus di sana ada perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan seturut zaman itu memberi pengaruh pada dunia pendidikan sehingga nyaris tidak dapat menghindar untuk tidak melakukan perubahan pada paradigma apa yang disebut kurikulum itu. Kurikulum pendidikan pada bangsa ini dengan berbagai pendekatan pembelajaran turut memberi andil pada praktik pendidikan khususnya di semua jenjang satuan pendidikan.
Haryanto (dalam http://staffnew.uny.ac.id/) mencatat adanya kesadaran kritis dunia pendidikan menghadapi modernitas. Ia mengutip 5 hal yang ditulis Harahap (1998) dalam status positif perkembangan global bagi dunia pendidikan. Pertama, terjadinya pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan perdagangan, investasi, dan informasi; dari keseimbangan kekuatan (balance of power) ke arah keseimbangan kepentingan (balance of interest). Kedua, hubungan antarnegara-bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan
(dependency) ke arah saling bergantung (interdependency); hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat bergantung kepada posisi tawar-menawar (bargaining position). Ketiga, batas-batas geografis hampir tidak lagi menjadi sesuatu yang berarti secara operasional. Kekuatan suatu negara dan komunitas di dalam interaksinya dengan negara dan komunitas lain lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keungulan kompetitif (competitive advantage). Keempat, persaingan antarnegara lebih diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Sehingga setiap negara berkepentingan untuk mendongkrak anggaran dan penyediaan dana yang besar bagi penelitian dan pengembangan bila tidak ingin
tertinggal dengan negara lain. Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistis, efisien, dan tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi dianggap tidak menguntungkan. Sebaliknya, implikasi negatif perkembangan global memunculkan pribadipribadi yang miskin spiritual, menjatuhkan manusia dari maklhuk spiritual ke lembah material-individualistis; eksistensi Tuhan hanya berdiam di relung pemikiran, diskusi,
khutbah-khutbah baik lisan maupun tulisan; dan mengalami frustasi eksistensial (existential frustation) dengan ciri-ciri; hasrat yang berlebihan untuk berkusa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure) dengan uang-kerjaseks, dan perasaan hidup tanpa makna, seperti bosan, apatis, dan tak punya tujuan. Ikatanprimordial dengan system politik modern cenderung melahirkan nepotisme, birokratisme, dan otoriterisme baru yang akhirnya jatuh kepada krisis multidemensi yang tak kunjung usai sebagaimana melanda Indonesia dewasa ini. Seperti dikatakan Seyyed Hossein Nasr (1975) dalam bukunya Islam and the Plight of Modern Man, bahwa manusia modern cenderung mengalami split personality dan split integrity karena modernisasi global. Lebih dari itu, peran agama digeser menjadi persoalan akhirat yang tidak memiliki keterpautan dengan perkembangan global dan orientasi serta pembangunan masa depan.
Bila mengaitkannya dengan peradaban di zaman ini, orang pasti segera sadar bahwa kita berada di zaman digitalisasi. Insan berilmu pengetahuan, telah sampai pada satu titik waktu peradaban yang serba cepat, tepat, yang memungkinkan untuk mengurangi ketertinggalan karena karena sangat pesat dan cepatnya kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya pada teknologi rekayasa. Komputerisasi bukan hal baru pada abad XXI ini. Demokratisasi dan Hak Azasi Manusia, bagai penglima tertinggi yang memegang kendali peradaban. Oleh karena itu orang yang memasuki abad XXI ini, memilih untuk menyebut bahwa dunia makin sempit tanpa batas geografis. Ketiadaan batas geografis ini menyebabkan perkembangan informasi bagai selebar satu ruas jari.
Peradaban di zaman digitalisasi ini terlihat pada akses negatif pula. Nyaris setiap orang mempunyai kanal informasi dan komunikasi. Siapa yang akan menonton, membaca atau memberikan respon pada kanal-kanal milik perseorangan yang menjamur? Persaingan makin terlihat ketika orang menunjukkan kapasitas dan kapabilitas diri. Dunia pendidikan patut meramu isinya sedemikian rupa agar karakter manusia Indonesia yang hendak mendapatkan pencerdasan makin memperoleh tempat yang tepat di sana.
- Filosofi Pendidikan Nasional
Kita ingat tiga filosofi dasar yang diajarkan Ki Hadjar Dewantoro; ing ngarso song tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Dunia pendidikan di Indonesia memilih untuk menempatkan tut wuri handayani sebagai statutanya, tanpa mengabaikan dua yang pertama. Dunia pendidikan Indonesia yang hendak menggapai hari depan mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak sedang menempatkan diri paling depan atau paling belakang semata, tetapi justru berdiri di belakang untuk memberikan dorongan kepada anak bangsa. Dorongan untuk maju, berkembang dan naik. Maju dalam kapasitas dan kapabilitas diri. Berkembang dalam karya-karya inovatif dan kreatif, hingga naik menjunjung harkat dan martabat manusianya dan bangsanya, bangsa Indonesia.
Siapakah di antara para peserta didik dan pendidik yang tidak bangga ketika mencapai prestasi tertentu dengan mengharumkan nama keluarga, komunitas entitas, hingga bangsa Indonesia? Ketika seseorang atau satu grup, satu satuan pendidikan mengantarkan suatu karya inovatif dan kreatif pada bidangnya, mencapai titik prestasi pada jenjang tertentu akan menjadikan anak bangsa turut berbangga. Pada saat yang demikian, orang tetap harus berada dalam karakter, keteladanan, motivasi, dan kepamongan. Ilmu padi selalu menjadi ajaran berarti, makin berisi makin merunduk. Bukankah isian yang demikian yang diharapkan? Bernas.
- Nasionalisme Insan Pendidikan
Rasanya nasionalisme insan pendidikan sedang dipertanyakan pada zaman ini. Pernyataan ini kiranya menjadi sesuatu yang patut dijawab oleh kaum pendidik dan peserta didik. Sebutlah bahwa kaum pendidik di zaman digitalisasi sedang menggeser rasa nasionalisme mereka ke arah bukan Pancasila dan UUD 1945. Keinginan untuk menjadikan NKRI suatu negara yang berlandaskan doktrin dan dogma agama tertentu terasa kian merambah dan merembesi satuan-satuan pendidikan tertentu. Mungkinkah itu faktor fanatisme buta pada doktrin dan dogma agama? Bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, ya. Hal ini sangat konstitusional, tetapi bukan satu agama tertentu akan mendominasi tata negara dan pemerintahannya hingga mengubah landasan idiil dan konstitusinya.
Saya tidak masuk lebih jauh ke sana, tetapi lihatlah satuan-satuan pendidikan tertentu memiliki kurikulum yang menekankan pentingnya bahasa asing. Proses pembelajaran aktif dengan bahasa asing dan indoktrinasi dogma agama. Bukankah bunyi sumpah/ikrar Pemuda pada 28 Oktober 1928 berbunyi menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indoesia? Mengapa satuan-satuan pendidikan yang difavoritkan justru lebih menekankan pada aspek bahasa asing daripada bahasa nasionalnya? Bukankah agama merupakan ranah privasi seseorang sehingga doktrin itu tidak ada kaitan langsungnya dengan dunia sekularisme yang variatif agama dan kepercayaan?
“Hubungan antara agama dan nasionalisme tidak selalu serasi; dan karena itu masih terus menjadi perbincangan dan baik di kalangan akademisi maupun praktisi politik, khususnya yang berorientasi keagamaan.” Demikian Azyumardi Azra (dalam republika.co.id).
Heru Margianto (dalam nasional.kompas.com) menulis, era Indonesia modern yang ditandai dengan derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang dirayakan secara gegap gempita, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam hal kesadaran berbangsa dan bernegara. Derasnya gempuran kebudayaan asing yang terfasilitasi dengan media dan teknologi internet dapat secara bebas leluasa hadir di tengah-tengah masyarakat kita dan berpotensi mendominasi serta mempengaruhi kebudayaan lokal. Ditambah lagi dengan permasalahan-permasalahan negara lainnya yang mengancam kedaulatan bangsa, khususnya pasca 1998, seperti bermunculannya ideologi yang berseberangan dengan ideologi negara, terorisme, radikalisme, serta konflik sosial berbasis suku, ras dan agama.
Mirip dengan catatan Heru Margianto, Laksono Hari Wiwoho menyebut banyak generasi muda Indonesia saat ini lebih mengerti dan mencintai budaya asing dari pada budaya-budaya asli Indonesia. Padahal, untuk menjadi bangsa yang maju dan kuat, jiwa nasionalisme harus dimiliki oleh setiap warganya. Dengan jiwa nasionalisme, setiap warga negara akan merasa cinta dan bangga dengan bangsa dan negaranya. Begitu pula sebaliknya, setiap warga negara merasa terusik jika ada bangsa lain yang meremehkan atau bahkan menghina bangsanya. Inilah jiwa nasionalisme yang harus dimiliki oleh setiap rakyat Indonesia.
Mungkinkah dunia pendidikan Indonesia berada “di simpang” peradaban?
Akhir Catatan Saya ini
Sampai di sini dalam opini saya sebagai seorang guru di pedesaan. Saya menyaksikan masih ada harapan untuk terus menginjeksikan ilmu, pengetahuan, teknologi dan seni kepada generasi muda harapan bangsa. Di pedesaan yang sudah terjamah teknologi informasi dan komunikasi yang makin canggih, kiranya masih ada ruang keteladanan, motivasi dan kepamongan. Di pedesaan masih ada ruang dan peluang untuk menginjeksikan karakter bangsa yang khas.
Selamat Hari Pendidikan Nasional Tahun 2022.
Penulis: Heronimus Bani