Rote Ndao-InfoNTT.com,- Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Rote Ndao oleh penggugat yakni mantan Bupati Rote Ndao Drs. Leonard Haning, MM, atau biasa disapa Lens Haning, terhadap Bupati Rote Ndao, Kepala Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Rote Ndao dan Panitia Pelaksana Pengadaan Tanah Skala Kecil pada lokasi bangunan pemerintah berupa kantor camat, puskesmas dan Balai Pertemuan Umum Kecamatan Rote Barat Daya di Kabupaten Rote Ndao Tahun Anggaran 2019, akhirnya diputus oleh Majelis Hakim dengan amar putusan mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.
Melalui press realesnya, Senin 21 Februari 2022, Rian Van Frits Kapitan, S.H., M.H selaku kuasa hukum Penggugat membenarkan hal tersebut, bahwa gugatan yang diajukan terdaftar dengan nomor perkara : 46/Pdt.G/2021/PN RND dan telah diputus oleh majelis hakim yang terdiri dari 3 (tiga) orang hakim pada tanggal 21 Februari 2022.
Rian Kapitan menjelaskan, dalam putusan tersebut, Majelis Hakim mengabulkan gugatan yang diajukan oleh penggugat untuk sebagian, antara lain mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, menyatakan hukum bahwa tanah seluas 45.554 M2, terletak di Jalan Desa Oehandi, RT. 011, RW.VI, Dusun Mataboaen, Desa Oehandi, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Sertifikat Hak Milik Nomor 00663 seluas 15.554 M2 dan Sertifikat Hak Milik No. 00664 seluas 30.000 M2 atas nama Pemegang Hak: Drs. Leonard Haning, MM, dengan batas-batas, sebelah timur dengan Tanah Stefanus Adu dan Kali, sebelah barat dengan jalan raya, sebelah utara dengan tanah Petrus Adu Messah dan Alexander Adu, sebelah selatan dengan tanah Arkalaus Henukh, Stefanus Sui dan Jusup Adu,
yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan Kantor Camat Rote Barat Daya, Pusat Kesehatan Masyarakat dan Balai Pertemuan Umum dan pelayanan pemerintahan maupun masyarakat Kabupaten Rote Ndao adalah hak milik sah dari penggugat.
Lanjut Rian, dalam putusan juga menyatakan hukum bahwa pemanfaatan tanah milik penggugat untuk kepentingan pembangunan, pelayanan pemerintahan dan masyarakat Kabupaten Rote Ndao dengan ganti rugi kepada penggugat sebesar Rp.2.400.000.000,- (dua miliar empat ratus juta rupiah). Menyatakan hukum bahwa penetapan nilai atau harga ganti rugi tanah milik penggugat untuk kepentingan pembangunan, pelayanan pemerintahan dan masyarakat Kabupaten Rote Ndao sebesar Rp.2.400.000.000,- (dua miliar empat ratus juta rupiah), tetapi tidak dibayarkan oleh para tergugat adalah perbuatan melawan hukum yang sangat merugikan penggugat.
Dalam putusan tersbeut juga menegaskan atau menghukum para tergugat untuk segera membayar ganti rugi tanah milik penggugat untuk pemanfaatan kepentingan pembangunan, pelayanan pemerintahan dan masyarakat Kabupaten Rote Ndao sebesar Rp.2.400.000.000,- (dua miliar empat ratus juta rupiah). Menghukum para tergugat untuk secara tanggung renteng membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini.
Pengacara muda yang sedang mengikuti serangkaian tes potensi akademik untuk keperluan pendaftaran studi Doktor Ilmu Hukum (S3) ini menyatakan, bahwa putusan hakim dalam perkara ini merupakan manifestasi dari dalil gugatan dan pembuktian yang telah dilakukan penggugat dalam persidangan, sebab dari sisi teori dan praktek hukum acara perdata, hakim memutuskan suatu perkara berdasarkan hasil pembuktian terhadap materi gugatan dan bantahan yang diajukan oleh penggugat maupun tergugat dalam persidangan pengadilan.
“Inilah mengapa dalam hukum pembuktian perkara perdata terdapat prinsip “actori incumbit probatio”. Prinsip ini bermakna siapa yang mendalilkan suatu hak, maka dia wajib untuk membuktikannya dalam persidangan. Materi gugatan yang kami ajukan, prinsipnya terkait dengan penggunaan tanah milik Pak Lens Haning oleh Pemerintah Rote Ndao yang terletak di jalan Desa Oehandi, RT. 011, RW.VI, Dusun Mataboaen, Desa Oehandi, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao, seluas 45.554 M2,” ungkapnya.
Rian menambahkan, sejak tahun 2016, Pemerintah Rote Ndao telah membangun gedung puskesmas, kantor camat, balai pertemuan dan rumah dokter di atas tanah tersebut, dan bangunan-bangunan itu sudah digunakan sejak tahun 2017 sampai dengan saat ini untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Namun, Pemerintah Rote ndao enggan memberikan ganti rugi bagi Pak Lens Haning sebesar. Rp.2.400.000.000,- (dua miliar empat ratus juta rupiah).
“Mereka tidak bayar, padahal nilai ganti rugi itu tidak ditentukan oleh Pak Lens Haning, melainkan ditentukan oleh hasil perhitungan Penilai Publik KJPP Ni Made Tjandra Kasih atau appraisal. Sebab berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, memang dalam menentukan nilai ganti rugi kepada pemilik tanah yang tanahnya menjadi objek pengadaan oleh instansi pemerintah mesti menggunakan jasa appraisal. Kemudian sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di pengadilan harusnya perkara ini sudah selesai pada tahapan mediasi jika saja Bupati Rote Ndao dan kawan-kawan mau membayar ganti rugi tersebut kepada kami sebelum mediasi dinyatakan gagal saat itu,” jelasnya.
Rian mengungkapkan, dalam mediasi di Pengadilan Negeri Rote Ndao saat itu, dirinya sebagai kuasa hukum penggugat berdebat cukup alot dengan Kabag Hukum Kabupaten Rote Ndao, Kadis Perkim dan Asisten II Kabupaten Rote Ndao terkait dengan pembayaran ganti rugi terhadap Lens Haning dan alasan kenapa ganti rugi itu tidak mau direalisasi oleh pemerintah.
“Kalau saja pemerintah mau memberikan ganti rugi pada saat mediasi itu, maka pengadilan tentunya akan mengelarkan Akta Perdamian atau bahasa asingnya Akta Van Dading yang nilainya setara dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Namun, sebagaimana yang diberitakan di berbagai media saat itu, pemerintah tegas menolak untuk memberikan ganti rugi, sehingga tidak tercapai kesepakatan dalam forum mediasi itu dan akhirnya dinyatakan gagal,” ujar Rian.
Dalam membuktikan dalil atau materi gugatan, dirinya dalam persidangan telah mengajukan bukti-bukti surat dan 4 (empat) orang saksi. Diantara bukti-bukti surat itu ada 2 (dua) bukti surat yang sangat penting, yaitu Serpifikat Hak Milik Nomor 00663 dan Sertipikat Hak Milik Nomor 00664 atas nama Pemegang Hak yakni Drs. Leonard Haning, MM. 2 sertifikat yang masih berlaku, dan ini merupakan bukti kepemilikan yang dalam hukum pembuktian bersifat sempurna dari Lens Haning terhadap tanah di Oehandi yang menjadi persoalan itu, sedangkan 4 (empat) orang saksi yang dihadirkan prinsipnya telah menerangkan tentang perolehan tanah di Oehandi itu oleh Lens Haning dan sejarah pembangunan gedung-gedung di atas tanah Lens Haning itu ; pemanfaatannya oleh Pemda dan masyarakat sampai dengan saat ini serta ganti rugi yang belum diberikan oleh pemerintah kepada Lens Haning sebesar Rp.2.400.000.000,- (dua miliar empat ratus juta rupiah).
“Kami buktikan kebenaran materi gugatan semuanya dalam persidangan, tidak ada kecualinya, karena itu memang pantas jika gugatan itu dikabulkan. Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Rote Ndao tersebut merupakan akumulasi dari 3 (tiga) tujuan hukum yang sangat sulit ditemukan secara bersamaan dalam suatu putusan pengadilan,” tambah Rian yang juga Dosen Fakultas Hukum UKAW Kupang ini.
TIGA TUJUAN HUKUM YANG DIMAKSUD
Pertama, putusan tersebut telah memberikan keadilan kepada Lens Haning sebagai pemilik tanah yang sudah sekian lama menderita kerugian karena tanahnya dimanfaatkan, tetapi tidak memperoleh ganti rugi yang sepantasnya. Keadilan dalam putusan tersebut tentunya juga dirasakan oleh Pemerintah Rote Ndao yang sekian lama tersandera dengan bayang-bayang potensi kerugian keuangan negara apabila melakukan pembayaran ganti rugi kepada Lens Haning. Dengan adanya putusan tersebut, maka Pemerintah Ndao tidak perlu lagi dihantui rasa was-was untuk membayar ganti rugi kepada Lens Haning, sebab putusan pengadilan yang bersifat kondemnator atau menghukum untuk membayar tersebut jika telah berkekuatan hukum tetap, maka wajib untuk dihormati dan dilaksanakan sebagaimana orang menghormati dan melaksanakan norma undang-undang yang bersifat memaksa.
Kedua, putusan Pengadilan Negeri Rote Ndao tersebut juga telah men-take over asas kemanfataan di dalamnya, sebab melihat manfaat dari penggunaan tanah Lens Haning tersebut oleh Pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan keterangan-saksi-saksi yang diajukan oleh kami dalam persidangan yang menerangkan puskemas, kantor camat, aula pertemuan dan rumah dokter yang berdekatan sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar yang membutuhkan pelayanan.
Ketiga, putusan pengadilan Negeri Rote Ndao itu juga memberikan kepastian hukum bagi Lens Haning dan bagi Pemerintah Rote Ndao sendiri. Kepastian hukum bagi Lens Haning adalah diperolehnya haknya sebagai pemilik tanah berupa ganti rugi, sedangkan kepastian hukum bagi Pemerintah adalah status tanah tersebut menjadi jelas. Sebab, selama ini status dari tanah tersebut masuk dalam wilayah yang “remang-remang”, karena di satu sisi pemerintah sudah mendirikan bangunan dan memanfaaatkannya untuk kepentingan umum, tetapi di sisi lain Sertipikat Hak Milik atas tanah tersebut masih atas nama Lens Haning. Namun, dengan adanya putusan ini, maka alur pengadaan tanah itu telah dinilai sebagai suatu proses yang sah oleh majelis hakim dan oleh karenanya tanah tersebut beralih menjadi asset Pemerintah Kabupaten Rote Ndao .
Ditanya tentang upaya hukum atas putusan tersebut, Rian menambahkan bahwa karena salah satu tuntutan dalam gugatan agar putusan tersebut dilaksanakan secara serta-merta tidak dikabulkan oleh majelis hakim, maka dirinya akan berkordinasi dengan Lens Haning sebagai kliennya.
Sedangkan tentang apakah yang dimaksud dengan putusan dapat dilaksanakan secara serta-merta, dirinya menyatakan bahwa istilah tersebut berasal dari istilah dalam bahasa Belanda” uitvoorbaar bij vooraad” yang merupakan salah satu prinsip pelaksanaan putusan pengadilan dalam hukum acara perdata. Secara sederhana prinsip ini bermakna putusan pengadilan dalam sengketa ini sudah dapat dilaksanakan walaupun pihak pemerintah melakukan upaya hukum berupa banding dan sebagainya, sebab sejatinya suatu putusan pengadilan barulah dapat dilaksanakan jika telah berkekuatan hukum tetap atau konkritnya Bupati Rote Ndao sudah harus melakukan pembayaran ganti rugi kepada penggugat, kendatipun putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap.
“Prinsip ini menurut pendirian Mahkamah Agung dapat dikabulkan apabila dalam gugatan itu penggugat mempunyai bukti yang otentik, sedangkan pihak tergugat sebaliknya tidak mempunyai bukti yang otentik, nah kami mendasari gugatan kami dengan bukti yang otentik, diantaranya asli 2 (dua) Sertipikat Hak Milik atas tanah di Oehandi, sehingga sebenarnya layak jika tuntutan pelaksanaan putusan secara serta-merta itu dikabulkan,@ tegasnya.
Ketika disinggung tentang apakah hubungan antara kliennya, Lens Haning dengan Bupati Rote Ndao saat ini yang notabenenya merupakan pasangan suami-istri masih baik-baik saja pasca putusan, Rian menyatakan, sengketa pembayaran ganti rugi tanah di Oehandi itu antara Lens Haning dengan Paulina Haning-Bulu yang kebetulan sekarang merupakan Bupati Rote Ndao adalah dua persoalan yang berbeda.
“Sebagai pribadi, memang Pak Lens dan Ibu Paulina Haning-Bulu merupakan pasangan suami istri. Namun, dalam kasus ini, Pak Lens memilih jalan yang sah, yaitu menempatkan diri sebagai warga negara yang haknya dijamin oleh hukum dan kepantasan untuk mengajukan gugatan terhadap Bupati Rote Ndao yang tidak mau membayar ganti rugi atas tanah beliau di Oedandi itu. Kendati pun, Bupati Rote Ndao itu kebetulan adalah istri beliau. Inilah legal choice atau pilihan hukum yang paling bijaksana dari seorang warga masyarakat dan pantas dijadikan panutan dan contoh bagi seluruh masyarakat Rote Ndao khususnya,” ujar Rian.
Dirinya juga mengajak masyarakat agar melihat sisi positif dari persoalan ini. Kalau saja kliennya Lens Haning dan Paulina Haning-Bulu yang kini Bupati Rote Ndoa mau melakukan pembayaran ganti rugi itu dengan mendasari kepada pendekatan yang lebih subyektif, yaitu sebagai suami-istri, maka tentunya sangat bisa dilakukan tanpa harus melalui langkah gugat-menggugat di pengadilan. Namun, faktanya tidak dilakukan pembayaran itu. Malahan, Lens Haning mengajukan gugatan agar pengadilan yang menilai persoalan itu, dan pembayaran itu tidak dilakukan berdasarkan pendekatan yang subyektif melainkan dengan penilaian hakim yang objektif.
“Nah, sekarang pengadilan secara objektif sudah memberikan penilaian berupa mengabulkan gugatan Pak Lens untuk sebagian, maka mau tidak mau harus ditaati putusan itu. Jadi tidak ada masalah diantara beliau berdua sebenarnya, sebab beda pendapat di pengadilan sebelumnya antara Pak Lens sebagai warga negara dengan pemerintah atau Bupati sudah diputus oleh pengadilan sebagai representasi kekuasaan yudikatif. Saya pikir inilah proses yang paling benar dan fair di republik ini, yang menurut hukum dan kepantasan harus dipilih dalam penyelesaian persoalan tanah di Oehandi itu, intinya inilah pilihan terbaik dari berbagai pilihan yang muncul dalam persoalan ini,” tandas Rian. (*)