Bersidang di dalam Sorga dan GMIT Jemaat Lokal (1)
Yermia 23:22
Sekiranya mereka hadir dalam dewan musyawarah-Ku niscayalah mereka akan mengabarkan firman-Ku kepada umat-Ku, membawa mereka kembali dari tingkah langkahnya yang jahat dan dari perbuatan-perbuatannya yang jahat
Tata Dasar Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) telah mengalami perubahan-perubahan mengikuti perkembangan zaman. Perubahan suatu Tata Dasar GMIT terjadi pada suatu Sidang Sinode yang dihadiri oleh utusan (perwakilan) yang terdiri dari: Pendeta, Penatua, Diaken, Pengajar dan anggota sidi dari Klasis-Klasis se-GMIT. Mereka inilah yang disebut Sinode; yang kemudian pada akhirnya memilih dan menetapkan Majelis Sinode. Itulah salah satu keputusan penting dalam Sidang Sinode GMIT itu.
Majelis Sinode itu dapat disebutkan sebagai mandataris Sinode GMIT. Hal yang mirip terjadi di lingkup jemaat lokal yaitu jemaat tunggal yang menyebar di seluruh wilayah pelayanan Gereja Masehi Injili di Timor. Di sana ada paling kurang dua persidangan yakni, Sidang Jemaat yang dihadiri oleh Pendeta, Penatua, Diaken, Pengajar dan anggota sidi. Salah satu keputusannya yaitu memilih dan menetapkan anggota Majelis Jemaat non pendeta (penatua, diaken, pengajar). Mereka inilah yang tergabung dalam satu badan organisasi yang disebut Majelis Jemaat di bawah kepemimpinan seorang Ketua Majelis Jemaat yang diutus oleh Majelis Sinode GMIT. Majelis Jemaat ini mempunyai satu wadah persidangan yang disebut Sidang Majelis Jemaat. Jadi di lingkup Jemaat paling kurang ada Sidang Jemaat dan Sidang Majelis Jemaat.
Tulisan ini fokus pada apa dan bagaimana mencermati ayat-ayat Alkitab yang mengurai, menjelaskan yang mencerahkan umat Tuhan mengenai suatu persidangan di Sorga yang diimplementasikan di dalam suatu Persidangan Majelis Jemaat (Lokal). Kita hendak melihat dan membaca Firman Tuhan kepada penghuni sorga atau dialog antara Tuhan dengan seorang nabi dari aspek nuansa sidang.
Sidang-Sidang Sorgawi
Semua umat Tuhan dalam agama semawi atau agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam) meyakini adanya dua tempat yang sangat kontras suasananya. Sorga dan Neraka. Sorga sebagai suatu tempat dimana Allah duduk sebagai Tuan dan Junjungan, Pemimpin dan Raja, Tuhan di atas segala tuhan, Pemilik Sorga itu sendiri. Neraka, sekalipun disana merupakan suatu tempat yang tidak menjanjikan kehidupan abadi, namun Allah punya kewenangan di sana pula, karena Allah berkuasa untuk memerintahkan seseorang atau sekelompok orang untuk berada di sana selamanya.
Bila kita mengajukan suatu pertanyaan, “Bila Sorga dan Neraka itu suatu tempat “berpemerintahan” apakah mungkin ada persidangan di sana? Kapan dan bagaimana tata persidangannya, siapa yang menjadi pelaksana dari hasil persidangan itu?
Menyadari akan kepemimpinan sorgawi, kita harus memastikan bahwa Allah sendirilah yang menjadi pemanggil, penyelenggara dan pemimpin persidangan di Sorga. Sidang itu mungkin dapat disebut Sidang Sorgawi atau Sidang Ilahi. Yermia 23:22 menyebutkannya dengan istilah dewan musyawarah. Raja Daud pernah menyerukan kepada para penghuni sorgawi agar mengarahkan segala kemuliaan, kekuatan dan sujud kepada TUHAN (Maz.29:1). Dua ayat ini menggambarkan kepada kita tentang keberadaan Allah bersama-sama dengan para penghuni sorga yang dihuni dan dipimpin-Nya. Lantas bila kembali kepada pertanyaan di atas, kiranya materi sidang itu seperti apa sehingga para penghuni sorga dapat mengikutinya, memberikan argumentasi dan usul yang sekiranya mungkin diterima atau ditolak, dan lain-lain hal yang nuansanya seperti persidangan yang nyata di dalam sidang-sidang di lingkup Sinodal, Klasis, dan Jemaat.
Mari kita mencoba melakukan pencermatan dengan menelusur secara gamblang apa yang tertulis dalam Alkitab. Kita dapat membaca Kejadian 1:28. Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binantang melata yang merayap di bumi.” Ayat alkitab yang satu ini sesungguhnya berisi suatu ajakan yang berasal dari suatu keputusan. Keputusan untuk menjadikan satu model ciptaan yang berbeda dari yang lainnya. Keputusan ini berbeda dengan keputusan pada penciptaan makhluk-makhluk sebelum adanya keputusan terakhir ini. Makhluk-makluk di air/laut (ikan-ikan), di udara (burung-burung), di darat (ternak/hewan/binatang) dan yang merayap baik di darat yang kering maupun yang becek/rawa (merayap). Semuanya bergerak, bernafas dan dapat berpindah tempat, tetapi tidak sama dengan model yang akan dijadikan dalam keputusan itu. Model itu disebut manusia. Ini suatu keputusan sidang. Keputusan sidang ilahi yang segera diwujudkan dalam aksi dan akta.
Perhatikan disana Allah menggunakan terminologi kita. Kata ganti orang dalam bentuk jamak, lebih dari satu yang secara bersama-sama berada di satu pihak. Ingatlah bahwa ada kata ganti orang yang jamak tetapi tidak secara bersama-sama berada di satu pihak yakni, kamu, kami, mereka. Pada posisi kata ganti orang yang disebut kita, di sana ada aku dan kau atau kamu. Jadi bila hanya ada aku dan kau, maka kita secara akumulasi kalkulatif ada 2 orang saja. Tetapi, bila aku dan kamu maka dapat saja lebih dari dua orang. Dalam posisi yang demikian kita dapat memahami bahwa Allah memanggil/mengajak “rekan-rekan-Nya” di dalam sorga untuk melaksanakan keputusan sidang, yakni menjadikan manusia. Inilah keputusan dalam Sidang Ilahi (sidang Sorgawi) yang teramat penting yang mengubah sejarah dan ziarah kehidupan varian makhluk di alam semesta ciptaan sang Khalik itu yakni Allah sendiri.
Aksi dan akta yang ditunjukkan Allah ketika melaksanakan keputusan untuk menjadikan manusia, di sana Allah tidak sendirian. Ia melaksanakan keputusan itu secara bersama, “Baiklah KITA … .”, menunjukkan mereka lebih dari satu orang. Kita mengetahui dalam ajaran/dogma Trinitas/Tritunggal bahwa di sana ada Allah Bapa, Allah Putera yakni Yesus Kristus, dan Allah Roh Kudus. Jadi, dalam KITA itu Ketiganyalah yang bekerja untuk menjadikan manusia sebagai aspek pelaksanaan keputusan sidang sorgawi. Mereka Bertiga bekerja bersama-sama agar menghasilkan suatu karya maha agung dan paripurna yakni suatu bangunan yang luar biasa. Bangunan itu disebut manusia. Sampai di sini kita melihat bahwa Allah, dalam pengambilan keputusan itu, Ia tidak sendirian, Ia dalam ke-Allah-tunggal-an-Nya bertindak secara jamak pula.
Mari kita lihat bagaimana Allah “b]erkompromi” dengan Iblis dalam suatu kesempatan. Tidak baikkah kita memandang “kompromi” itu sebagai suatu keputusan sidang? Perhatikan Ayub 1:6-12 dan Ayub 2:1-7. Di sana ada dialog yang disaksikan oleh anak-anak Allah yang menghadap Tuhan, dan di antara yang menghadap itu ada Iblis. Tuhan yang berada di singgasana sorga menanyakan status dan posisi Iblis. “Darimana engkau?” Nuansa pertanyaan ini seakan-akan Tuhan tidak mengetahui status dan posisi dari Iblis. Mungkinkah Tuhan Sang Mahakuasa yang mengatasi ruang dan waktu tidak mengetahui keberadaan Iblis? Tetapi, pertanyaan ini diajukan agar ada dialog yang hidup di dalam sidang surgawi itu. Iblis sebagai Tuan dan Raja tipu muslihat dapat saja berbelit, tetapi ia justru menghadap Allah dan tidak dapat membelit kata. Ia berkata jujur di dalam sidang itu bahwa, ia datang dari perjalanan mengelilingi dan menjelajahi bumi. Mari membayangkan ukuran keliling bola bumi. Betapa panjangnya dalam hitungan kilometer. Iblis mampu mengelilinginya. Dalam perjalanan keliling dan jelajah itu, ia melihat, mendengar, merasakan dan dapat saja dengan mudah memberi pengaruhnya pada seseorang atau sekelompok orang. Pengaruhnya itu menjadikan mereka orang yang mengikuti kehendaknya.
Kita telisik lagi apakah isi dialog selanjutnya? Tuhan bertanya kepada Iblis tentang keberadaan hamba-Nya yang bernama Ayub. Tuhan sangat mengetahui siapa Ayub itu sehingga, Ia bertanya tetapi sekaligus menjelaskan kepada Iblis bahwa seseorang hamba-Nya yang bernama Ayub, sungguh sangat berbeda, tidak seorang pun yang sama seperti dia. Dia seorang yang saleh dan jujur , yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan.
Dialog itu makin “panas”, karena ada argumentasi yang kuat dari Tuhan. Ia menyampaikan argumentasi latar belakang Ayub, tetapi semua itu hendak dibantah dengan klarifikasi oleh Iblis. Iblis mengetahui bahwa , kalau bukan Tuhan yang membuat semuanya itu, mana mungkin Ayub akan seperti itu? Tuhan sendiri yang memberikan segala apa yang dimiliki Ayub. Tuhan sendiri yang membangun pagar agar siapa pun tidak dapat masuk dan menyentuh Ayub, termasuk Iblis sekali pun tidak dapat menyentuhnya. Dalam klarifikasi sebagaimana yang diketahui Iblis, maka ia memberi saran atau solusi kepada Tuhan, “(Cobalah) Ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu!” Mari membayangkan suasana dalam ruang sidang ketika anak-anak Tuhan yang menghadap itu mendengarkan dialog argumentatif antara Tuhan dengan Iblis, dan ketika saran solutif disampaikan Iblis.
…
Apakah anak-anak Tuhan yang hadir pada saat itu diam? Alkitab tidak menjelaskan kepada kita perubahan sikap mereka, tetapi catatan selanjutnya menggambarkan sikap demokratis yang kompromistif dari Tuhan kepada Sang Agitator, Iblis. Tuhan menyetujui saran solutif Iblis.
Pada pasal 2:1-6, dalam konteks sidang sorgawi, anak-anak Allah menghadap TUHAN, dan Iblis pun turut serta. TUHAN menggunakan pendekatan yang sama untuk bertanya pada Iblis. Iblis menggunakan idiom, “kulit ganti kulit”. Menarik sekali pernyataan Iblis di hadapan TUHAN dan anak-anak-Nya.
Selanjutnya kita mengetahui apa yang terjadi, berapa lamanya hal itu terjadi pada Ayub, siapa saja yang mendukung atau sebaliknya mengajaknya untuk membelakangi Tuhan. Ini semua disebabkan adanya suatu sikap dan tindakan untuk melaksanakan keputusan sidang sorgawi/sidang ilahi. Dampaknya terlihat amat buruk secara kasat mata yang mengantarkan pada ketaatan atau sebaliknya, dan kesalehan atau sebaliknya, dan seterusnya. Pada akhirnya kita mengetahui bahwa Ayub mendapatkan kembali semua yang pernah hilang akibat dari pelaksanaan keputusan kompromi antara Allah dan Iblis.
Rasanya Iblis tertawa dan bergirang karena mendapatkan peluang untuk menghancurkan kesalehan, kejujuran serta rasa takut akan Tuhan dari Ayub. Ia berhasil berhasil memenangkan perdebatan dalam sidang sorgawi. Sayangnya secara psikologi sosial martabat Ayub di ruang publik yang digoncang dengan kehilangan, justru ia terima dan mau bertahan di dalam kesalehan dan kejujurannya. Ia bersabar dalam rasa takut kepada Tuhannya. Semua itu menjadikannya pemenang. (bersambung)