Oleh: Kolkey Ipansuri Kase, S.KM, M.H.(Kes)
Masalah penangan limbah medis menjadi perhatian serius. Hal ini karena dampak buruknya bagi kesehatan manusia dan pencemaran lingkungan akibat pengelolaan limbah medis yang tidak sesuai dengan persyaratan kesehatan. Limbah medis bersumber dari kegiatan suatu sarana pelayanan kesehatan, baik itu rumah sakit, puskesmas, dan tempat pelayanan kesehatan mandiri / praktik mandiri tenaga medis, perawat, dan bidan. Limbah yang dihasilkan sarana pelayanan kesehatan terdiri dari limbah padat, cair, dan gas.
Pengelolaan limbah medis harus dilakukan sesuai dengan persyaratan kesehatan sehingga tidak berpotensi menimbulkan berbagai macam penularan penyakit, termasuk pencemaran lingkungan hidup.Dengan kata lain, “pengelolaan limbah medis yang tidak sesuai dengan persyaratan kesehatansebenarnya bisa dikatakan mengancam kelangsungan hidup setiap orang, dan merusaklingkungan hidup, termasuk melanggar hak asasi manusia untuk dapat hidup sehat, dan hidup di lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana amanat UUD 1945”.
Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, permasalahan mengenai pengelolaan limbah medis masih mejadi hal yang penting yang harus diperhatikan secara serius. Dilansir dari media onlineKompas.com 14/01/2016, “pantauan Kompas.com di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Nonohonis Kamis (14/1/2016) terlihat botol bekas cairan infus, jarum suntik, kain kasa, dan kapas berserakan persis di bagian barat TPA. Sampah tersebut sedang dikelilingi delapan ekor sapi yang sementara makan sampah.Seorang warga menyatakan bahwa, selama ini sampah medis sering dibuang bebas oleh mobil sampah maupun mobil milik RS. Tumpukan sampah yang dibuang sembarangan ini kerap menimbulkan bau obat”.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa, “Direktur RSUD Soe, mengatakan sampah yang dibuang bukan berasal dari RSUD Soe. Ia mengatakan sampah atau bahan bekas berupa botol infus, jarum suntik, kain kasa dan bahan lainnya yang dibakar di TPA Nonohonis”.
Tentunya akan timbul pertanyaannya umum bahwa, sebenarnya berasal dari mana limbah medis tersebut? Rumah sakit saja? Belum tentu. Fasilitas pelayanan kesehatan di Kabupaten TTS khususnya kota Soe bisa dikatakan cukup banyak, baik itu Puskesmas, maupun praktik mandiri tenaga medis, perawat dan bidan. Terlepas dari pertanyaan tersebut maka sebenarnya sarana pelayanan kesehatan mempunyai tanggung jawab dalam pengelolaan limbah yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan di rumah sakit.
Tanggung Jawab Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan salah satu sarana pelayanan publik dalam bidang kesehatan, yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Kegiatan-kegiatan yang terjadi dalam rumah sakit tentunya menghasilkan limbah medis sebagai hasil proses kegiatan di rumah sakit dan potensial dapat menularkan berbagai macam bibit penyakit dan pencemaran lingkungan hidup. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pelayan kesehatan oleh rumah sakithukum mewajibkan agar di rumah sakit tersedianya prasaran instalasi pengelolaan limbah, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 11 huruf e UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Tersedianya prasarana instalasi pengelolaan limbah dibutuhkan guna melakukan pengelolaan limbah hasil kegiatan di rumah sakit. Pengelolaan limbah di rumah sakit sebagaimana diterangkan dalam Penjelasan Pasal 11 huruf e UU RS meliputi, “pengelolaan limbah padat, cair, bahan gas yang bersifat infeksius, bahan kimia beracun dan sebagian bersifat radioaktif, yang diolah secara terpisah”.
Kemudian bagaimana tata laksana pengelolaan limbah padat, cair, bahan gas yang bersifat infeksius, bahan kimia beracun dan sebagian bersifat radioaktif dari rumah sakit sehingga sesuai dengan persyaratan kesehatan? Mengenai Hal ini, sebenarnya sudah diterangkan secara jelas dalam Kepmenkes Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Sebagai contohtata laksananya limbah medis padat sebagaiamanaketentuan huruf C Kepmenkes tersebut, yaitu: a. minimisasi limbah, b. pemilahan, pewadahan, pemanfaatan kembali dan daur ulang, c. tempat penampungan sementara, d. transportasi, e. pengolahan, pemusnahan, dan pembuangan akhir limbah padat.
Tentunya tidak bisa dipungkiri bahwa, dalam pelaksanaannya tidak lepas dari faktor-faktor penghambat dan faktor pendukung pengelolaan limbah rumah sakit. Faktor penghambat dari sisi teknismisalnya, belum adanya incinerator, atau mungkin sudah ada tetapi belum memiliki izin operasional.
Apabila rumah sakit belum memiliki incinerator untuk pengelolaan pemusnahan limbah B3 dan limbah padat infeksius maka sebaiknya rumah sakit bekerja sama dengan pihak lain atau pihak ketiga, atau memanfaatkan kontraktor baik milik pemerintah atau swasta untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mungkin sulit untuk dilakukan sendiri oleh rumah sakit. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 59 ayat 3 UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH. Pasal tersebut menyatakan bahwa, “dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain”.
Selain permasalahan teknis di atas, kemungkinan belum ditetapkan dalam Peraturan Internal RS (Hospital By Law) mengenai tugas pokok dan fungsi petugas rumah sakit yang berwenang pada bagian pengelolaan limbah unit teknis rumah sakit. Selain itu, kemungkinan lemahnya pengawasan dari pejabat yang berwenang.
Tanggung Jawab Pemerintah
Dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat dalam hal pengelolaan limbah medis, pemerintah diwajibkan melakukan pengawasan terhadap penyelenggara kesehatan yang menghasilkan limbah hasil kegiatan pelayanan kesehatan.
Pengawasan lingkungan hidup daerah sebenarnya harus dilakukan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 02 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian yang berwenang menetapkan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 71 ayat (3) UU PPLH bahwa, “dalam melaksanakan pengawasan, Menteri gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional”.
Tentunya menjadi hal yang penting dalam hal pengawasan lingkungan hidup oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah karena dengan dilakukannya kegiatan pengawasan maka akan mengetahui, memastikan, dan menetapkan tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam izin lingkungan dan peraturan perundang–undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Hak Setiap Orang Untuk Sehat dan Hidup di Lingkungan Sehat
Hukum sebenarnya diperlukan untuk melindungi kepentingan (hak) setiap orang. Pada dasarnya “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal ini merupakan amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28H ayat (1). Salah satu pencapaian derajat kesehatan bagi setiap orang adalah mendapatkan lingkungan yang sehat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa, “setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan”. Masrudi Muchtar, dkk (2016) menyatakan bahwa, kesehatan lingkungan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Untuk mewujudkan hak setiap orang untuk hidup dalam lingkungan yang sehat maka diharapkan rumah sakit, puskesmas, dan tempat pelayanan kesehatanmandiri tenaga medis, bidan, dan perawat harus benar-benar memperhatikan persyaratan kesehatan sebagaimana ketentuan dalam peraturan perundang-undangan kesehatan khususnya. Pengelolaan limbah medis yang kurang efektif atau tidak sesuai dengan persyaratan kesehatan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat, termasuk merusak lingkungan hidup, dan sebenarnya hal itu sudah melanggar hak setiap orang untuk sehat dan mendapat lingkungan yang baik dan sehat.
Pemerintah sebagaimana memiliki fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kesehatan diharapkan melakukan fungsi pengawasan secara maksimal. Karena tanpa pengawasan yang maksimalbisa dikatakan pengelolaan limbah hasil kegiatan penyelenggara kesehatan pun tidak maksimal sesuai dengan persyaratan kesehatan. Sebaliknya jika pengawasan dilakukan semaksimal mungkin maka pengelolaan limbah medis oleh penyelenggara kesehatan akan maksimal sesuai persyaratan kesehatan. Dengan demikian hak setiap orang atas lingkungan yang sehat terwujud.
Referensi:
Pasal 28H UUD 1945
UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 02 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kepmenkes Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
Sigiranus M. Bere, 2016, “Sampah Medis Berserakan di Tempat Pembuangan Akhir”, Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2016/01/14/23481951/Sampah.Medis.Berserakan.di.Tempat.Pembuangan.Akhir, diakses tanggal 7 Juni 2021Pukul 11.37 WITA.