Mungkin Bahasa Daerahmu Bermanfaat?

Heronimus Bani
Heronimus Bani

Dua puluh delapan Oktober 1928, suatu titik waktu yang sudah jauh di belakang sana. Bila menoleh untuk menelusuri lorong waktu, maka sungguh merupakan suatu upaya yang akan melewati rintangan masa yang cukup berat. Betapa  tidak? antara 1928 – 2021, sudah 93 tahun yang lampau; hampir mencapai satu abad, namun kisah jiwa nasionalisme kaum muda akan tetap lestari dalam ziarah dan catatan bertinta emas di lembaran sejarah bangsa ini. Kaum muda telah menorehkan suatu prasasti yang prestisius yang menggetarkan jantung dan nadi kaum kolonis, sekaligus membuat mereka geram dan menggertakkan gigi. Bila kaum kolonis hendak mencapai kejayaan (the glory) mereka sudah mendapatkan satu batu antukan. Pada batu ini mereka akan terantuk secara sadar karena batu itu akan dibenturkan ke kaki dan bahkan pada kepala mereka.

Sumber: Google ranah publik

 

Bacaan Lainnya

Mari mencermati kalimat ketiga dari Ikrar/Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 itu. Bunyinya, Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung Bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Dalam kalimat ini ada satu kata yang membedakannya dari dua ikrar pertama, yakni, menjunjung. Kata menjunjung sebagai kata bentukan dari kata dasar junjung mendapatkan imbuhan/prefiks me- sehingga menjadi menjunjung. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (online), salah satu maknanya yakni, membawa di atas kepala. Tentulah membawa sesuatu di atas kepala. Dalam hal ini, membawa Bahasa Indonesia di atas kepala.  Dengan demikian, kaum muda pada masa itu (1928) hendak memproklamasikan bahwa mereka menempatkan di atas kepala mereka (menghormati) Bahasa Indonesia di atas bahasa lainnya yang mereka miliki. Hal ini sama dengan mereka secara implisit mengumumkan pula kepada publik bahwa bahasa yang mereka miliki yakni bahasa dari daerah mana mereka berasal, bahasa itu tetap terpelihara yang pada gilirannya akan memperkaya khazanah berbahasa Indonesia seluruh anak bangsa ini.

Menurut Badan Pengembangan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berdasarkan Summer IInstitute of Linguistics (SIL International) disana disebutkan bahwa jumlah bahasa daerah di Indonesia sebanyak 719. Tujuh ratus tujuh di antaranya masih aktif dituturkan oleh penuturnya, sehingga bila tanpa bahasa Indonesia yang sebagai bahasa nasional dan pemersatu, sangat riskan pada anak bangsa ini untuk berkomunikasi dengan sesama anak bangsa yang berbeda suku dan bahasa daerah. Seluruh anak bangsa ini pun sangat tidak mungkin untuk mempelajari 719 bahasa daerah itu agar dapat berkomunikasi dalam bahasa daerah ketika berada di satu tempat. Namun demikian kita harus tetap melestarikan dan menghormati bahasa daerah sambil terus menjunjung Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional.

Bahasa Daerah bukanlah bahasa yang tabu untuk dipakai dalam percakapan sehari-hari bahkan dalam pertemuan-pertemuan non formal. Banyak pejabat publik (politisi, birokrat, dll) sangat sering menyisipkan kata-kata dalam bahasa daerah mereka manakala berbicara dalam Bahasa Indonesia. Dari kata-kata bahasa daerah yang sering diucapkan atau kemudian menjadi suatu kebiasaan, maka kata-kata itu selanjutnya diserap ke dalam Bahasa Indonesia dan diterima sebagai Bahasa Indonesia. Bukankah itu makna dan wujud nyata dari menjunjung Bahasa Indonesia dengan memperkayanya?

Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu provinsi kepulauan, di sana ada kekayaan non materil yang nyata terasakan yaitu bahasa. Suku-suku dan anak suku di pulau-pulau Timor, Flores, Sumba, Kepulauan Alor, Sabu, Rote, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya memiliki dan sedang berada dalam ranah antara melestarikan bahasa daerah atau melemparkannya jauh-jauh dari dalam diri mereka sebagai pemiliknya karena intervensi bahasa di luar diri mereka. Menurut Rosa Dalima dalam situs https://rri.co.id/ yang dirilis pada 22 Maret 2021, terdapat 14 bahasa daerah di provinsi Nusa Tenggara Timur terancam punah. dari 72 bahasa daerah yang sudah berhasil diiventarisasi. Suatu bahasa daerah dikategorikan terancam punah bila jumlah penuturnya tertinggal di bawah angka 1000 orang. Walau demikian angka 72 bukanlah suatu angka yang tetap, karena Kantor Bahasa baik di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dan jajarannya di daerah masih terus melakukan inventarisasi bahasa daerah. Lembaga-lembaga non pemerintah yang peduli pada pelestarian bahasa daerah pun ikut andil dalam inventarisasi ini.

Gereja Masehi Injili di Timor membentuk suatu unit kerja yang khas dan khusus untuk tugas inventarisasi bahasa daerah di lingkungan pelayanannya. Unit itu disebut Unit Bahasa dan Budaya. Tugas utamanya yakni menerjemahkan alkitab, khususnya Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Daerah (yang dirujuk oleh MS GMIT). Tugas ini tidak ringan karena bahasa-bahasa daerah di lingkungan pelayanan GMIT bukanlah bahasa yang secara ilmiah sudah terstandar tata bahasanya. Semuanya masih oral dalam pemanfaatannya, bahkan cenderung diabaikan karena dianggap ketinggalan zaman. Kalangan tertentu yang menjadi penutur bahasa daerah di lingkungan pelayanan GMIT merasa lebih “bermartabat” menggunakan bahasa resmi yang sudah dikenal luas oleh anggota GMIT baik di perkotaan maupun di pedesaan. Padahal, secara statistik, anggota GMIT belum tentu seluruhnya berpendidikan menengah ke atas yang paham dan tahu secara praktis Bahasa Indonesia. Bahasa Melayu Kupang pun selalu dianggap sebagai Bahasa Indonesia yang “rusak” sehingga terasa tidak pantas dan layak dipakai dalam pelayanan, walau patut disyukuri bahwa Alkitab, khususnya Perjanjian Baru dalam Bahasa Melayu Kupang telah diluncurkan pada tahun 2005 dan sudah mulai diterima ketika ada kesadaran bahwa Bahasa Melayu Kupang, (dan bahasa daerah lainnya) merupakan aset berharga yang patut dilestarikan baik secara lisan maupun tulisan agar bahasa-bahasa itu tidak punah.

Sejak 1998, MS GMIT melalui CRS/CCCC UKAW yang kemudian berganti nama menjadi UBB GMIT telah berkiprah. Benderanya berkibar pada kegiatan penerjemahan alkitab (PB dan Kejadian) pada beberapa bahasa daerah. Tugas tambahannya yaitu menyediakan bahan-bahan bacaan pendidikan dalam rangka upaya menjadikan bahasa daerah sasaran terjemahan memiliki tata tulis yang baik. Sebutlah, Bahasa Melayu Kupang, Bahasa Amarasi, Bahasa Helong, Bahasa Dhao, Bahasa Rikou, Bahasa Dela, Bahasa Lole, Bahasa Tii, Bahasa Teiwa, Bahasa Wersing, Bahasa Klon, dan lain-lainnya. UBB GMIT terus berkiprah walau terasa tersendat di tengah pandemi covid-19. Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur pun terus menggiatkan inventarisasi bahasa daerah dan kegiatan ilmiah kebahasaan. Semua upaya itu dalam kerangka pelestarian bahasa daerah yang pada gilirannya memberi nuansa jati diri pada para pemilik/penutur bahasa daerah itu sendiri.

Mari lestarikan Bahasa Daerah sembari terus berbahasa Indonesia demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Selamat Hari Sumpah Pemuda.

 

Buraen, 28 Oktober 2021

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 Komentar

  1. Luar biasa, begitu banyaknya ragam bahasa. Kita harus mampu menjaga dan menyebar luaskan bahasa daerah jangan sampai punah. Tetap junjung bahasa daerah bukti kita cinta pada tanah air, bshasa nasional adalah pemersatu bangsa.

    1. Terima kasih ibu Ai Setiawati yang sudah berkunjung dan memberi tanggapan. Kita junjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia