Oleh : Sefnat Lopo (Mahasiswa Sosiologi Undana)
Sebagai agen perubahan, mahasiswa seharusnya sadar betul tentang eksistensinya sebagai role model bagi masyarakat umum. Harapan masyarakat pada mahasiswa sesungguhnya tidak muluk-muluk. Mahasiswa sukses dalam studi. Mahasiswa memiliki harapan yang sama. Kesuksesan bakal menjemputnya di akhir studi.
Di balik idealitas itu, muncul juga persoalan di tingkat mahasiswa, yang mana rendahnya minat baca, peralihan minat dari membaca menjadi berpetualang di media sosial, menyalahgunakan media sosial dan lain-lain merupakan deretan masalah yang tengah dihadapi mahasiswa.
Terkait dengan minat baca mahasiswa, rendahnya minat baca menjadi pertanda kematian idealitas mahasiswa. Membaca seharusnya menjadi makanan pokok mahasiswa, karena dengan membaca mahasiswa bisa mengikuti arus perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangan zaman. Kita tahu bahwa ilmu tidak pernah statis, oleh karenanya mahasiswa perlu gesit dalam mengikuti arus perubahan ilmu pengetahuan. Ilmu selalu berevolusi dari waktu ke waktu.
Di sisi yang lain, tidak bisa pungkiri bahwa tanpa membaca kapasitas mahasiswa akan hilang. Hal itu berdampak pada keengganan berdiskusi. Keenganan berdiskusi bisa disebabkan karena banyak hal. Salah satunya ialah karena berjubelnya hiburan atau sumber dari berbagai kanal media sosial.
Persoalan menjadi tambah rumit ketika banyak di antara mahasiswa tidak memahami fungsi media secara benar dan tepat. Rendahnya pemahaman mahasiswa akan fungsi media sosial berimplikasi pada penyalahgunaan media sosial. Di situ, mahasiswa mengalami disorientasi akan fungsi media sosialsebagai alat bantu dalam mencari referensi dan meningkatkankapasitas diri.
Fungsi media sosial bagi mahasiswa sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran dan mempermudah untuk mencari berbagai referensi, tidak dilakukan media sosial bahkan dipakai untuk mencuri bahan atau referensi tanpa menyebutkan atau menyertakan sumber. Rendahnya minat baca yang diikuti dengan kegagalan memahami fungsi media bersambungan juga dengan kemandekan penalaran mahasiswa dalam menganalisis persoalan sosial.
Hegemoni dan Hiperrealitas
Menurut Gramsci (dalam Taum, 2015: 37), untuk melestarikan kekuasaan, kelompok dominasi harus dilengkapi dengan hegemoni. Hegemoni adalah asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang membentuk makna dan mendefenisikan realitas bagi mayoritas masyarakat dalam budaya tertentu. Pendapat ini tidak ada bedanya dengan realitas kehidupan mahasiswa masa kini yang telah menjadi manusia apatis terhadap realitas sosial yang sedang mengelilingnya. Mata mahasiswa seakan gelap pada upaya kapitalisme menguasai dunia dengan menciptakan berbagai konten media sosial. Kesadaran kritis mahasiswa dibius dan dipenjara oleh konten media sosial. Faktanya, banyak mahasiswa kerap kali menghabiskan waktu untuk proses itu.
Pendapat Gramsci sesungguhnya ingin menjelaskan bagaimana upaya negara kapitalis (maju) menguasai negara-negara berkembang dengan skema neoliberal. Konten-konten tertentu menjadi rung hegemoni bagi manusia. Persoalan itu sudah menjadi menu regenerasi muda Indonesia dan NTT masa kini.
Selanjutnya, Baudrillard (1983:14) berpandangan bahwa dalam realitas media, sebuah produk dapat diubah menjadi (simulasi) menjadi produk budaya dominan dalam skema hiperrealitas. Gambaran Baudrilliard menunjukkan dominasi media terhadap kehidupan masyarakat. Naifnya, banyak orang, termasuk mahasiswa, tidak sadar dan terus menunduk di bawah panji neoliberalisme.
Fakta Sosial di Hadapan Mahasiswa
Mahasiswa berhadapan dengan realitas sosial dalam kehidupannya. Mahasiswa bertemu banyak sekali masalah sosial, yang terbentang mulai dari pendidikan sampai ke masalah sosial lainya. Beberapa di antaranya ialah rendahnya mutu pendidikan, tingginya biaya pendidikan, terbatasnya akses pendidikan, buta huruf, masalah kemiskinan, kenakalan remaja, pencurian, perkelahian, dan lain-lain.
Oleh sebagian kecil mahasiswa, persoalan di atas bukan menjadi rahasia privat. Deretan persoalan tersebut sudah menjadi topik diskusi publik. Di luar kampus, muncul aktivis pembela kaum tertindas maupun organisasi mahasiswa yang mengkaji tentang persoalan pendidikan dan banyak persoalan sosial lainnya.
Bagi kelompok mahasiswa seperti ini, dunia kampus tidak lagi berorientasi pada proses humanis. Kampus telah berubah wajah menjadi agen kapitalis. Kampus berorientasi pada komersialisasi. Oleh karena itu, persoalan komersialisasi tidak bisa dibiarkan. Di sini, muncul kesadaran kolektif mahasiswa; bahwa mahasiswa harus memiliki kesadaran kritis dan tajam agar tidak terbelenggu oleh narasi besar keadilan bangsa.
Di samping fakta di atas, ada lagi fenomena lain dunia mahasiswa saat ini. Faktanya, mahasiswa sangat tergantung pada konten-konten media sosial seperti: facebook, whatsApp, instagram, maupun tik tok. Mahasiswa terlena untuk kesenangan diri (hipnotis). Mahasiswa menjadi budak media sosial.
Dunia mahasiswa saat ini bukan hadir sebagai agen perubahan, tetapi aktor akselerasi konten media sosial. Mahasiswa kemudian menjadi trendsetter beragam konten media sosial. Maka, beragam persoalan yang terjadi tidak lagi menjadi konsen perhatian mahasiswa. Beragam persoalan seakan jauh dari perhatian mahasiswa. Oleh sebagian mahasiswa, masalah sosial merupakan urusan di akhir semester menjelang berakhirnya proses perkuliahan. Masalah sosial berurusan dengan tugas akhir yang disebut skripsi.
Mahasiswa ke depan
Dalam pemahaman masyarakat umum, kuliah di perguruan tinggi sama dengan upaya memperoleh gelar (serjana). Perspektif ini berkembang sampai hari ini dan menjadi indikator utama kesuksesan seorang mahasiswa. Sejauh mendapatkan ijazah, mahasiswa tersebut dianggap sukses. Masalahnya, tahukah orang tua jika anaknya lebih sibuk bergerak mengikuti ilukan tubuh penari di aplikasi tik tok atau sibuk membaca buku?
Saya masih berstatus mahasiswa. Pandangan saya tentang kehidupan mahasiswa masa kini bisa jadi cerminan diri saya atau saudara saya dan bukan orang lain. Biarkan tulisan ini dianggap sebagai curahan hati seorang pecundang yang mengaku akademik tetapi sesungguhnya mati kutu karena tekanan media.
Sampai di tapal tertentu, saya sadar bahwa sebagai mahasiswa, saya harus segera keluar dari zona nyaman kehidupan saya. Bahwanya mahasiswa mesti mengasa akal untuk terus berpikir kritis atas semua realitas keterbelengguan sosial. Media sosial sejatinya harus digunakan sebagaimana fungsi aslinya dan tidak dipakai untuk mengkampanyekan status sosial. Sebab, tanpa dipublikasi di media sosial pun, sesungguhnya sudah ada orang yang tahu dan kenal diri kita masing-masing. Semoga