Elegi Simpang Tiga Emas
Aku tidur di sini sepanjang masa ketika aku ada. Aku menjadi saksi atas berbagai peristiwa dalam hidup insan yang menyebut dirinya berakhlah mulia. Mereka datang dari berbagai etnis di sekitar daratan besar ini. Daratan yang oleh penghuninya disebut Pah Meto’. Penghuninya menyebut diri Atoin’ Meto’. Ada pula yang menyebutkan mereka dengan menambah, menjadi Atoni’ Pah Meto’. Sedihnya, oleh karena pengetahuan yang terbatas, telah terlanjur dipublikasi hampir se-abad ini, mereka menyebutkannya sebagai Dawan. Padahal, Dawan itu versusnya Belu. Ha ha… Tapi, mereka bangga dengan kata itu, bahkan dipakai oleh para pakar.
Aku tidur di sini sepanjang masa ketika aku ada. Aku menjadi saksi atas kedatangan bangsa-bangsa Eropa hingga Jepang. Aku menyaksikan sendiri bagaimana area sekitarku diduduki setelah Perang Termanu yang mendatangkan insan bermuatan “emosi” dari seberang selat sana. Mereka mendiami pesisir utara hingga menjadi penghuni tetap sampai masa ini. Bahkan tetap tak menyebut diri sama dengan penghuni sebelumnya yang menyebut diri atoin’ meto’ itu. Mereka bagai “musuh dalam selimut” di area yang sama. Klaim diri sebagai etnis lain daripada yang lain telah dimakan usia hingga saat ini. Persahabatan dan persaudaraan terus diperjuangkan dalam bingkai pah yang lebih luas.
Aku tidur di sini sepanjang masa ketika aku ada. Aku menjadi saksi atas berbagai peristiwa. Satu yang hendak aku mulai gambarkan disini, ketika kaum Amaf bergabung dalam usaha mengusir kompeni. Ketika itu kaum amaf menyebut kompeni dengan istilah mereka sendiri, kumapnia. Persahabatan dengan topazes menjadikan mereka teramat kuat dan kokoh, tak terkalahkan oleh bangsa berkelas dengan merk kumapnia itu. Mereka bersenjata laras Panjang hingga Meriam peledak bukit sekalipun. Mereka tak mampu dalam waktu pendek untuk mengalahkan kaum amaf yang bersatu. Jadilah, kemudian kumapnia menggandeng etnis di selat seberang sana menjadi penolong dan sahabat dengan pampasan menarik.
Aku tidur di sini sepanjang masa ketika aku ada. Kaum amaf telah berakhir masanya ketika Perang Penfui berakhir. Perjanjian ditandatangani Belanda berkuasa, dan etnis dari selat seberang telah menjadi penghuni baru di pesisir hingga pah yang lebih luas berdiri kokoh hingga saat ini. Etnis itupun telah menjadi bagian yang tak lagi dapat dipisahkan dari tanah ini, tempat ini dan seluruh hal di lingkungan ini. Ada kondisi sosial-ekonomi yang mereka ciptakan sendiri untuk menghidupi komunitas dan membangun koherensi yang kuat dengan mereka yang sebelumnya dianggap lawan. Kini secara emosional mereka telah satu. Katanya, Ita Esa, Hit Mese’, Nekaf mese’-Ansaof mese’; begitulah kini mereka menggoyang lidah dalam aspek sosial-politik.
Aku tidur di sini sepanjang masa sejak aku ada. Bangsa kulit putih dari Selatan tiba dengan payung dari udara. Mereka mendarat dan tewas ketika menganggap diri paling mengetahui area ini. Monumen itu dibangun untuk mengenang mereka yang gugur akibat keserakahan politik kaum koloni penggagas perluasan wilayah.
Aku tidur di sini sepanjang masa sejak aku ada. Ziarah bersejarah diketahui waktu yang sedang terus berguling tiba dan terlampaui. Aku, titik penghubung kota dan pedesaan, pegunungan dan pedalaman. Aku, bahkan disebut-sebutkan nama setiap saat. Di desa, di bibir kota, kota kabupaten, dan kota provinsi. Aku, bahkan harus disinggahi bila melintas ke negara tetangga bila tak berburung besi perginya. Itulah aku.
Kini, aku bukan sekedar area dengan kisah sosial-poitik; aku telah bermetamorfosis menjadi area sosial-ekonomi. Kaum papalele dan mamalele malele dari bukit-bukit di selatan dan timur. Dari arah barat datang kaum berdasi, berlengan Panjang, hingga sepatu bertumit tinggi. Menawar harga hingga kudengar ada yang menuju pingsan bila kaum necis bersuara. Tangannya membolak-balik barang yang dipajang tanpa etalase necis, tapi disukai para neciser itu. Kaum bergincu lebih lagi menaruh rasa pada nilai di balik barang yang ditawarinya. Bila gincu digosokkan, lelehannya malele mirip bibir yang memamah sirih-pinang pemilik barang di etalase bibir jalan.
Aku di sini terus menjadi saksi, bangunan megah ratusan juta dibangunkan untuk mereka. Tapi gubuk dan lapak tak hendak ditinggalkan. Mereka tetap rindu di sana berdesak-desakan dan bersesak-sesak nafas hingga kentutpun terdengar di lapak sebelahnya. Bibir jalan makin tak karuan saja bila harus dilewati. Cek-cok sudah bukan barang haram. Petugas mana yang akan hirau pada situasi segera setelah copet beraksi?
Aku di sini tidur terlentang. Tubuhku mengeluh manakala bukan saja kaki bertelapak yang menapak. Ada yang tanpa alas kaki pun yang beralas kaki hingga disemir licin. Roda dua dan empat mendominasi perodaan pada permukaanku setiap hari. Aku tak pernah mencoba untuk menutup telinga ketika bising tiba. Dan, aku tak dapat mengusap mata ketika asap bermuatan kamomos keluar dari bibir belakang kaum bermesin dan beroda itu bergerak.
Aku di sini telanjang belaka. Siapa memberiku sehelai baju tenunan khas dari para etnis yang kupapah dan kugendong setiap hari? Mereka malah meniduri tubuhku dengan sampah-sampah berbau selama mungkin, bahkan bakteri pembusuk yang kumiliki pun tak mampu mengurai sebahagian sampah, terlebih lagi plastic yang menurut kaum berakhlak mulia, sampah itu murah-meriah. Murahnya benar, meriahnya betul, tapi mirisnya menjadikan permukaan diriku hancur untuk waktu yang lama. Mereka tidak menyayangi permukaan diriku hingga pori-pori dan kedalaman dagingku sendiri. Padahal, di dalam diriku aku menyimpan cairan pembersih diri untuk mereka. Mereka mengambilnya dengan penyedot bertegangan tinggi.
Aku di sini akan terus menjadi saksi dalam ziarah Panjang insan berakhlah mulia itu. Mereka akan menorah sejarah di Simpang Tigaku ini. Mereka mengetahui dan mengenal diriku dengan satu kata: Oesao.