Ende-InfoNTT.com,- Minimnya kordinasi dan keterbukaan dalam pelayanan publik, membuat konflik antara pemangku adat atau pemilik hak tanah ulayat dengan pemerintah desa menjadi sangat rentan di berbagai daerah di Indonesia.
Hal yang sama terjadi di Desa Tiwerea, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Di mana konflik terkait renovasi situs purbakala atau yang disebut Rumah Adat tak kunjung usai.
Berdasarkan hasil investigasi, konflik bermula dari pengalokasian Anggaran Dana Desa Tahun 2019 senilai Rp.53.000.000 (53 juta rupiah), merupakan usulan melalui proposal yang disusun oleh internal Pemerintah Desa Tiwerea yang kemudian ditandatangi TPK desa dan internal desa, hingga dana tersebut dicairkan.
Ironisnya, pemangku adat dan sekaligus pemilik atas hak tanah ulayat beserta seluruh keluarga besarnya tidak mendapatkan pemberitahuan baik secara lisan maupun tertulis”, ungkap Antonius Jendo, selaku mosalaki Tanah Tiwerea.
Pria yang akrab disapa Anton ini juga mengungkapkan, bahwa dirinya merupakan pemangku adat atau Mosalaki di tanah Tiwerea ini. Warisan ini juga sudah turun temurun dari generasi ke generasi yang betul-betul mempunyai garis keturunan yang asli dari para leluhur dan bisa dibuktikan secara sejarah dan benda-benda peninggalan sejarah.
Yang disesalkan adalah, pihaknya tidak dilibatkan dalam menyusun proposal permohonan bantuan dana apalagi menandatangani. Fakta lain ialah, Rumah Adat hanya satu unit yang dibangun dengan dana sendiri Tahun 2000 tanpa ada campur tangan pemerintah desa.
“Kenapa tiba-tiba bulan Desember 2019 di areal rumah adat sudah terkumpul semua material bangunan yang dilakukan pemerintah desa. Jika proyek untuk bangun sekolah, Polindes atau jalan tani silahkan, sedangkan untuk bangun rumah adat tidak boleh begitu caranya dan melanggar hukum adat,” tegas Anton.
Dikatakannya, masyarakat harus menjaga kemurnian adat istiadat. Di dalam rumah adat berada benda-benda pusaka yang memiliki nilai dan tradisi yang sangat melekat dan sakral.
“Saya yang tahu caranya, karena selama kegiatan-kegiatan adat di tanah Tiwerea saya diakui sebagai Mosalaki yang punya wewenang tertinggi dalam wilayah adat istiadat. Kenapa dalam urusan membangun rumah adat saya tidak diberitahu,” kesalnya.
Anton memaparkan bahwa kejadian ini bermula ketika dirinya bersama seluruh keluarga besar mengetahui pada tanggal 4 Desember 2019 akan dibongkar dan dibangunnya Rumah Adat oleh Pemerintah Desa Tiwerea.
Selanjutnya, berdasarkan hasil musyawarah keluarga memutuskan untuk memasang tanda larang di Rumah Adat dengan tujuanya untuk memberikan informasi bahwa tidak boleh ada pengerjaan Rumah Adat tersebut oleh siapa pun.
“Kepala Desa dan TPK sudah datang ke rumah. Namun kami sebagai Mosalaki sudah menyampaikan keputusan seluruh keluarga besar bahwa tidak memberikan izin untuk pembangunan Rumah Adat oleh pemerintah desa, karena telah melanggar hukum adat.
“Biar kami bangun secara mandiri, kami juga berharap Pemda Ende turun tangan secepatnya agar status pembangunan renovasi Rumah Adat bisa terselesaikan. Jika tidak ada kesepakatan, biar keluarga yang membangun sendiri atau dananya di kembalikan ke Kas Negara,” ujar Anton. (Tim)