Kotaraja Kolana suatu Keniscayaan
Pengantar
Desember 2017 rombongan dari dari Kota Kupang ke Kabupaten Alor. Rombongan terdiri dari UBB GMIT plus dua pendeta mewakili Kantor MS GMIT. Di sana ada kegiatan peluncuran Injil Markus untuk Bahasa Wersing, Klon dan Teiwa. Saya, menghadiri satu di antara tiga acara ini, yang dilangsungkan di Kotaraja Kolana. Nah, ada apa dengan judul ini?
Kampung Kolana Kotaraja Kolana
Siapapun yang masuk ke Kolana akan disambut di pintu gerbang oleh barisan petidur (kuburan) dan tugu selamat datang. Di tugu selamat datang tertulis, SELAMAT DATANG DI KAMPUNG KOLANA.
Saya tertegun membacanya. Sebelum tiba di sana, sedikit informasi yang mengandung pengetahuan tentang Kolana telah saya miliki. Membayangkan Kolana sebagai ibukota Lerian Taruamang (Alor Timur), menjadi sebab-musabab saya tertegun. Mengapa? Karena sebagai ibukota Lerian, tidaklah pantas disebutkan sebagai kampung. Pikiran ini terus menggoda, hingga akhirnya saya mengajak berdiskusi dengan bapak Samuel Tubulau, mantan Camat Alor Timur.
Dalam diskusi itu, saya langsung masuk pada inti dari ide yang hendak saya sampaikan pada mantan Camat ini yang pernah menjalani tugas di Alor Timur dan berkali-kali mengunjungi Kolana. Mengapa berkali? Karena di sana, bukan sekedar kampung belaka. Di sana ada sejumlah hal yang mesti diretas dari sana bila ingin Alor Timur berkembang.
Beberapa aspek yang membuat Kolana mesti bukan kampung tetapi kota saya paparkan pada sang mantan Camat Alor Timur ini. Ia mengangguk pertanda memahami maksud dari apa yang saya sampaikan. Lalu, saya pesankan agar dapat mendiskusikannya dengan para pini sepuh, tokoh dan terutama Leri Kolana saat ini yang menjadi symbol budaya Alor Timur. Apa yang sampaikan? Saya sampaikan agar diksi KAMPUNG diganti dengan KOTARAJA. Cukup itu saja lalu disambung dengan Kolana yang lengkapnya Kotaraja Kolana. Hal ini telah berlangsung pada Desember 2017.
Hari ini (11/11/2019), saya bertemu dengan bapak Samuel Tubulau di UBB GMIT Kupang. Ia kembali menyegarkan ingatan saya tentang diskusi itu. Ia menyempatkan bercerita tentang ide yang pernah saya sampaikan dan mulai mendapat tanggapan untuk didiskusikan lebih lanjut terutama oleh Leri Kolana, Yusuf Makunimau. Ada perasaan senang dan bangga ketika bapak Samuel Tubulau bercerita, tapi diselipi keterangan tambahan, bagaimana dan darimana memulainya?
Kembali saya sarankan agar mulai berdiskusi. Jalani diskusi itu hingga matang lalu laporkan kepada Bupati agar mendapatkan pertimbangannya. Ada nilai dan dampak yang akan diperoleh bila menggunakan term baru, Kotaraja Kolana.
Penutup
Hal-hal yang sifatnya historis yang memberi dampak kebanggaan pada generasi berikutnya tidak harus memulainya dari buku-buku sejarah yang isinya di luar ekspektasi anak-anak. Maka, suatu keniscayaan bila Kampung Kolana berganti nama menjadi Kotaraja Kolana.
Mantap…