Maraknya Kejahatan Tulisan di Media Sosial saat ini

Oleh:

Narantoputrayadi Makan Malay

Bacaan Lainnya

STAF Dosen Fkip PRODI PEND. BAHASA INDONESIA  UNIVERSITAS NUSA CENDANA

 

Sebelumnya penulis menyampikan ucapan terima kasih kepada para pembaca yang telah memberikan apresiasi dalam bentuk tanggapan atau respon membaca tulisan saya secara baik setiap kali diterbitkan.Tuhan memberkati.

.Facebook sebagai salah satu media sosial yang sangat populer di Indonesia memang bisa menjadi tempat tumpahan emosi negatif. Sayangnya, terkadang emosi negatif tersebut tidak terkelola dengan kata-kata yang tepat. Akibatnya, sebuah status mungkin saja menyinggung dengan telak pribadi seseorang, lembaga tinggi negara, pejabat negara, suku tertentu, perusahaan tertentu, dan banyak lagi.

Dahulu ada yang disebut tulisan bersifat “pribadi tertutup”. Tulisan jenis ini biasanya menggunakan media surat wasiat, surat pribadi, dan diari. Diari adalah yang paling populer digunakan untuk mencurahkan emosi positif dan emosi negatif. Seseorang bisa lepas mengeluarkan pujian, caci maki, dan apa pun tanpa diketahui orang lain. Bahkan, diari itu dikunci, termasuk gembok agar tidak terbaca orang lain.

Kini, zaman sudah berubah karena media sosial dan internet. Tulisan yang bersifat pribadi tertutup berubah menjadi pribadi terbuka. Semua orang yang menjadi teman atau bahkan publik lain yang tidak dikenal bisa mengakses tulisan itu dan secara viral menyebarkannya. Tanpa sadar, seseorang mengumbar segala bentuk kegalauan tingkat dewa, kerendahdirian, kesombongan, ketidakpedulian, kekepoan, kegalauan di ruang statusnya yang jelas terbaca oleh umum. Di sini pula seseorang terkadang kehilangan kesadaran terhadap pilihan kata. Ia merasa berada di ruang tertutup dan kata-kata bebas dilepaskannya meskipun berpotensi melukai, bahkan membunuh nurani orang lain.

Alih-alih bermaksud mengeluarkan curahan hati, sebuah status malah berubah menjadi kejahatan tulisan. Alat perusak atau pembunuhnya adalah kata-kata. Jangan salah, satu kata pun mampu menimbulkan sebuah asumsi sekaligus reaksi dari publik. Coba saja jika Anda membaca status berikut: Anjing!, Goblok!, atau Dasar Lonte!

Boleh jadi pikiran Anda langsung berproses untuk mengenali siapa pemilik akun pengguna kata-kata itu. Begitu ditelusuri ternyata pemilik akun adalah mahasiswa S2 atau S3 dari universitas ternama. Nalar dan nurani Anda terus bergejolak. Anda pun punya keputusan me-remove atau unfollow pemilik akun, bahkan melaporkannya.

Banyak kasus yang dianggap biasa dalam pergaulan di media sosial sebagai bentuk canda tawa terjadi ,namun  kemudian terindikasi sebagai kejahatan tulisan. Seorang manajer yang menulis kicauan di Twitter akhirnya dipecat hanya selang beberapa jam setelah ia mengunggah status yang mengandung penghinaan rasial. Seorang mahasiswa S2 di Yogya akhirnya berhadapan dengan masalah hukum akibat statusnya di Path yang juga mengandung unsur penghinaan. Satu kasus lagi yang saya baca adalah kata-kata bernada menghina kepala negara yang dilakukan seorang pemilik akun FB. Alhasil, akunnya kini ditutup karena tampaknya si empunya akun diliputi kekhawatiran karena adanya ancaman pelaporan oleh netizen yang lain.

Jadi, benarlah modifikasi pepatah: “Media sosialmu adalah harimau yang akan menerkam kepalamu”. Waspadalah!

Legalitas dan Kesopanan

Dalam ilmu editing, legalitas dan kesopanan adalah salah satu unsur yang harus diedit dengan teliti dari sebuah tulisan. Legalitas menyangkut penggunaan konten yang harus bebas dari pelanggaran hak cipta orang lain. Di sini editor akan mengedit sumber-sumber kutipan, termasuk keseluruhan materi tulisan dan unsur grafis yang digunakan.

Adapun unsur kesopanan menyangkut keamanan tulisan dan  indikasi pelanggaran dari kebebasan berekspresi. Pasalnya, pelanggaraan tersebut dapat berkonsekuensi hukum. Robert Spicer dalam bukunya How to Publish a Book mendaftar materi-materi berbahaya dalam tulisan, yaitu

  1. (pelanggaran) hak cipta;
  2. fitnah;
  3. penghinaan lembaga peradilan (contempt of court);
  4. cabul atau pornografi;
  5. hujatan;
  6. (pelanggaran) privasi dan kerahasiaan pribadi;
  7. kebencian rasial;
  8. rahasia negara.

Saya menambahkan juga yang termasuk materi berbahaya adalah berita bohong (hoax). Selain itu, ada juga hal terkait putusan peradilan yang inkracht (berkekuatan hukum tetap). Berhati-hati untuk menyebut seseorang yang tersangkut perkara hukum jika belum terbukti dengan keputusan hukum yang inkracht.

Kasus somasi terkait masalah hukum pernah dilakukan seorang pejabat terhadap penulis buku pelajaran PPKn. Pasalnya, sang pejabat belum ditetapkan bersalah oleh pengadilan dan ia merasa publikasi itu merugikannya.

Jadi, hal yang dihindarkan dari penanganan serius terhadap unsur legalitas dan kesopanan adalah masalah hukum, termasuk juga hukuman publik berupa boikot dan sebagainya. Apalagi di Indonesia ada kasus aduan “perbuatan yang tidak menyenangkan”. Seseorang yang memajang status di media sosial hingga terindikasi “tidak menyenangkan orang lain” bisa digugat meskipun soal ini tetap menimbulkan polemik sebagai “pasal karet”.

Dalam publikasi yang dilakukan penerbit, keamanan penerbitan menjadi prioritas. Memang berbeda halnya kalau penerbit itu getol dengan konten yang menyerempet masalah kontroversi. Artinya, sang penerbit itu sudah pasang badan jika terjadi masalah-masalah terkait hukum. Terkadang memang beda tipis antara pengungkapan fakta-fakta dan unsur-unsur yang dianggap penghinaan atau fitnah. Semuanya kembali pada kata-kata yang digunakan dan data pendukungnya.

Dalam banyak kasus media sosial yang dianggap sebagai kejahatan tulisan, saksi ahli dari ilmu bahasa selalu dihadirkan. Ahli bahasa itu akan menilai “nilai rasa” kata-kata yang digunakan dengan argumen linguistik ataupun psikolinguistik.

Detoksifikasi Tulisan

Menarik apa yang ditulis Prie GS dalam status FB yang diberi judul “Detok Tulisan”. Ia menulis:

Saya sering melakukan detok dengan memanfaatkan Facebook. Caranya sederhana. Lewat latihan-latihan emosi berikut ini: misalnya saya tidak pernah mengirim status dan post apapun ke wall orang lain apalagi promosi. Bukan saya tidak ingin tetapi saya takut mengganggu dan mengotori dinding teman. Biarlah seluruh kekotoran saya laburkan di dalam dinding sendiri. Menganggu orang lain sungguh penderitaan bagi saya. Melihat orang lain menderita sungguh pederitaan besar bagi saya. Melihat orang lain menderita karena saya adalah derita yang lebih besar lagi.

Saya juga menahan diri untuk tidak mengomentari komentar atas status saya karena tak ingin mengotori kemurnian aneka komentar itu, betapapun ia memancing debat dan diskusi. Status yang saya tulis telah saya jadikan milik publik. Ia tak perlu saya jelaskan dan saya pertahankan, walau mungkin respon atas status itu bisa berisi kesalahpahaman. Tetapi kepada yang berkirim pesan ke inbox, selalu saya usahakan untuk membalas. Kealpaan membalas, semoga lebih karena kesulitan teknis saja.

Seperti Anda juga, keberadaan seseorang di Facebook selalu mengundang setuju, tak setuju, sahabat dan musuh, pujian dan caci maki. Kepada pujian, saya menikmati secukupnya, demi menjaga keseimbangan. Kepada caci maki saya mendiamkan dan jarang mengambil hati. Bukan saya tak punya hati, tetapi kekuatan hati butuh dilatih, dan tahan untuk dimaki adalah cara berlatih yang baik. Saya tidak ingin pura-pura santai tetapi jiwa saya tegang. FB adalah pelatih yang baik soal ini.

Ya, tulisan dapat dijadikan media terapi untuk emosi-emosi negatif. Cara pandang seperti Prie GS bergantung juga pada pribadi masing-masing. Ada yang memanfaatkan FB (media sosial) untuk tetap berada di jalan sunyi dan tidak tertarik menimbulkan keriuhan atau kegaduhan. Ada pula yang saban hari kerjanya membuat kegaduhan, baik di “rumahnya” sendiri ataupun di “pekarangan” orang lain.

Namun, pesan utama hindarilah sesuatu yang berpotensi menjadi “kejahatan tulisan” karena keluaran emosi negatif yang tidak terkontrol pada kata-kata sehingga menyinggung orang lain, baik disengaja maupun tidak. Soalnya, permintaan maaf tidak segera menyelesaikan masalah.

Tulisan berkategori jahat itu memang mengandung bahan berbahaya jika dimamah, seperti halnya makanan yang mengandung boraks, pewarna tekstil, atau bahan kedaluwarsa. Sifatnya mengoyak hingga menimbulkan luka, bahkan membunuh nurani. Penghantarnya adalah kata-kata.

Resapi kata-kata berbahaya ini yang digunakan sebagai umpatan: goblok, bodoh, kacung, babu, lonte, anjing, monyet, babi, pengecut, penipu, pembohong, maling, bangsat, bajingan, onani, (alat kelamin), dan seterusnya. Anda boleh kemudian menyusunnya menjadi kamus kata-kata berbahaya di media sosial.

Sekali lagi, tentang kejahatan tulisan, bebaskan ekspresi Anda, tetapi kontrollah penggunaan kata-katanya, termasuk membiasakan pengeditan sebelum dipublikasikan. Bahkan, kata-kata yang salah ketik pun berpotensi berbahaya. Contoh, ketika saya terlewat mengetikkan huruf “r” untuk kata kontrol, artinya akan sangat berbahaya.Berhati-hatilah dalam menulis di media sosial.Tuhan memberkati.

Pos terkait