Haruskah Menertawakan Undana?

Haruskah menertawakan Undana?

Heronimus Bani
Heronimus Bani

Di awal Pebruari 2018 ini, jagad informasi di Nusa Tenggara Timur agak heboh.

Heboh! Mengapa?

Bacaan Lainnya

Universitas Nusa Cendana yang dikenal dengan nama Undana belum melakukan update data mahasiswa dan dosennya.

Hah…?? Bagaimana mungkin perguruan tinggi negeri kebanggaan pemerintah dan masyarakat NTT yang visinya akan mengglobal gagap di awal millennium ini? Padahal untuk mengglobal, salah satu indikatornya (mungkin) adalah pemanfaatan teknologi informasi secara tepat oleh personil yang berkompeten dan handal di bidangnya itu.

Ya, mungkin sudah begitu. Sayang sekali. Data sebagai fakta yang diberitakan Harian Umum Pos Kupang, (edisi 2/2/18, h.1) ratusan alumni masih tercatat sebagai mahasiswa. Kemenristekdikti menyebut 14 ribu mahasiswa, 897 dosen belum tercatat di pangkalan data perguruan tinggi (PDPT), dan satu professor masih tercatat sebagai dosen S1.

Adakah yang tidak beres di Undana?

Bisa jadi, ya, ada yang kurang beres. Bayangkan saja, workshop yang dihadiri dua narasumber dari Kemenristekdikti membuat pernyataan yang bila dipointer sebagai berikut:
• Persepsi setiap universitas berbeda pada surat edaran tentang pangkalan data perguruan tinggi.
• System akademik yang dibangun Undana (rupanya belum) perlu diintegrasikan dengan PDPT. Dampaknya:
o Data mahasiswa sejak tahun 2002 hingga sekarang masih simpang siur.
o Dari 28.000-an mahasiswa Undana hanya sekitar 14.000-an (50%) yang tercatat di PDPT.
o 897 dosen Undana belum terdaftar termasuk yang ber-IDN, NIDK, dan NIP.
o Seorang professor masih berstatus Sarjana (S1).

Satu perguruan tinggi negeri yang hendak berkelas dunia semestinya tidak “gagap” dalam mengupdate data. Datanya selalu harus yang fresh seperti para kuli portal berita dalam jaringan (media online) yang hampir selalu melakukan postingan berita bahkan melakukan siaran langsung. Para pengguna medsos pun sudah melakukannya.

Penulis berada jauh di pedalaman Timor. Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mengakses informasi. Maka, saya selalu melihat tantangan era ini dari sudut pandang seorang guru yang tinggal di pedesaan. Selalu saja Penulis berasumsi bahwa mereka yang berada di kota pasti dengan mudah mengakses informasi dan dengan mudah pula melakukan perubahan-perubahan data dan informasi individu, komnunitas dan institusi.

(Bani, 2010) dalam jurnal Socius Religius, mengurai sedikit tentang tantangan guru di pedesaan pada awal abad 21 ini. Terkait hal yang sama, belum lama ini (Bani, 2017) di website agupena.or.id menggunakan sampel dua lokasi berbeda yaitu di Lelogama (Kab.Kupang) dan Alor Timur (Kab. Alor). Pada dua tempat ini, penulis berasumsi dan menggeneralisir bahwa para guru di pedesaan masih tetap sulit menjangkau akses informasi sekalipun gelombang elektromagnetik selalu ada, tetapi BTS yang disiapkan operator telekomunikasi belum dapat menjangkau semua tempat. Dan satu tulisan tentang kegandrungan para muda pada media social yang penulis sebut dengan istilah kaum medsoholic.

Itulah sebabnya, penulis selalu beranggapan bahwa mereka (guru, dosen, dan pegawai) komunitas perkotaan dipastikan telah berlari sejauh-jauhnya meninggalkan para guru di pedesaan. Para guru di pedesaan harus terengah-engah mengejar mereka untuk mengetahui (mendapatkan pengetahuan) dan memiliki ketrampilan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK/IT).

Sayang sekali, bila Undana yang sudah masuk perguruan tinggi terbaik seakan belum move on. Maka penulis hendak bertanya, haruskah menertawakan Undana?

Tidak! Kita tidak perlu menertawakannya. Kita patut menyayangkannya. Kita masih berpikir positif bahwa ada dua petugas Kemenristekdikti yang hadir di sana untuk membantu menuntaskan masalah ini. Kita doakan saja agar mereka bersama tim IT Undana berhasil dalam tugas ini untuk jangka waktu dua bulan. Begitu kata mereka.

Undana … Undana … .

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *