Lelogama, infontt.com Pulau Batek. Begitulah nama pulau yang tidak dihuni yang terletak di perbatasan laut antara Timor-Indonesia dan Timor Leste. Nama ini menurut para pinisepuh di Lelogama yang ditemui media ini, mereka tidak mengetahui asal-muasalnya. Mereka mempertanyakan, siapa yang memberi nama pada pulau itu?
Menurut mereka, dalam perbendaharaan kata uab meto’ di Lelogama, tidak ada kata batek. Lalu kata itu datang darimana? Kata itu sendiri tidak dipahami maknanya.
Menurut Pdt. Leonard Djumetan yang mewakili para tokoh di Lelogama, sesungguhnya nama pulau itu adalah Fatu Sin Nai;. (batu para leluhur).
Dikisahkan, dahulu kala, tidak ada pulau di tempat itu. Bukit batu itu adalah bagian dari daratan di Pah Meto’. Di bukit itulah para leluhur menyembah “Uisneno”. Bergenerasi mereka melakoni kehidupan itu sampai suatu ketika, mereka bertambah banyak jumlahnya. Pada masa itu banyak sudah manusia, banyak pula salah dan “dosa”.
Suatu hari, ketika fajar menjemput pagi, seekor ayam jantan berkokok. Dalam kokokan itu ia menyampaikan kabar, bahwa Fatu Sin na’i akan terlepas dan tenggelam ke dalam laut. Orang-orang Amfo’an kurang peduli akan peringatan ini. Meeka terus berlaku salah dalam kehidupan mereka.
Akhirnya terjadi. Bukit Fatu Sin Nai’ terlepas dari tempatnya. Bukit batu itu hanyut dalam laut. Ia pergi meninggalkan orang-orang yang mencintai dan mengasihinya. Ia pergi dari mereka yang merawatnya. Jadilah, ia batu karang apung di tengah laut. Mereka yang ditinggal tidak sanggup untuk mendapatkannya. Mereka berdiri di bibir pantai dan meratapi batu tempat para leluhur tinggal dan bersujud ke pada Yang Maha Kuasa.
Sejak itu, bukit batu Fatu Sin Nai’ menjadi lahan (pulau) kosong. Ia meratap dalam keheningannya di tengah lautan. Ia membisu sekalipun diterpa ombak dan gelombang.
Itulah hikayat bukit Fatu Sin Nai’. Entah siapa yang menamainya pulau Batek? Sejarah belum menemukan jawabannya.
By: Heronimus Bani