Siapa Gubernur NTT 2019 nanti?
Hingar-bingar memilih pemimpin khususnya pada tataran dunia politik mengantar pemilih berada dalam kotak-kotak keterasingan dan sekaligus kesibukan. Masing-masing mengasingkan diri dalam komunitas dalam kesatuan ide, visi dan misi si calon pemimpin. Sentimen-sentimen tertentu digelontorkan sebagai wacana. Seratusan daerah di Indonesia telah mengikuti pilkada (gubernur, walikota, bupati). Sepanjang proses itu, pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta menjadi yang terpanas iklim politiknya. Debat kandidat berakhir sepat-manis karena menyisakan satu putaran lagi dan “mengikis” paslon yang dianggap belum saatnya memimpin.
Media sosial dan media maistream berlomba menyampaikan berita/kabar yang sebahagian di antaranya bersifat fakta yang telah terkonfirmasi, sementara yang lainnya bersifat hoax dan bully. Semua itu dilemparkan ke ruang publik menjadi percakapan (wacana). Ada yang sifatnya membawa dampak positif untuk refleksi. Sementara lainnya negatif yang membangkitkan emosi sosial yang terpendam. Lalu para calon pemimpin terus berbuih bibir bersuara bahwa mereka akan menjadi pemimpin terbaik dengan visi, misi dan program strategis yang akan membawa masyarakat ke area kesejahteraan. Silahkan tengok para paslon di DKI Jakarta yang tersisa dua paslon. Mereka akan berkompetisi lagi secara sehat pada pilkada putara kedua. Lantas, bagaimana akhirnya? Kita tunggu saja. Akhir dari drama dan pesta demokrasi itu. Mereka didukung oleh khalayak pemilih yang memiliki hak suara. Penentunya adalah satu suara dari tiap orang (one man, one vote).
Tahun 2018-2019 masih belum tiba. Belum ada pesta-pesta tahun baru, tetapi aroma pesta demokrasi telah ditebarkan. Waktu yang belum tiba seakan ditarik paksa untuk segera tiba. Lantas, atas alasan berkejaran dengan waktu yang tidak lama lagi, para bakal calon (balon) melakukan sosialisasi diri, agar kelak bila tiba waktunya mereka dapat memperoleh tempat yang layak di jantung partai dan hati pemilih.
Provinsi NTT termasuk dalam salah satu dari 171 daerah (provinsi, kabupaten dan kota) yang akan mengikuti pilkada serentak jilid III. Mereka yang dianggap layak dan pantas sebagai bakal calon (balon) mulai dielus atau mulai mempromosikan diri. Di kota Kupang, ibukota provinsi dan kota-kota kabupaten di NTT, wajah-wajah para balon sedang “dijual” agar publik menilai dan memberikan respons pada mereka. Partai pendukung akan melakukan survei balon. Mereka yang tingkat keterpilihannya tinggi (elektabilitas) mungkin akan diakomodir setelah melalui serangkaian prosedur. Lantas, di sisi lain ada balon yang tidak mengikuti prosedur partai, namun lebih nyaman memilih jalur perseorangan. Semua itu sah-sah saja sesuai aturan yang berlaku. Masalahnya, siapakah yang pantas pada waktunya nanti?
Gerilya dan gerak semu para timses yang belum jelas sudah mulai merambah dunia maya dan dunia nyata. Kabar-kabari digelar dan disebar. Mengistimewakan dan mengunggulkan pribadi bakal calon mewarnai gerakan-gerakan itu. Mereka lebih gesit daripada para sales terlatih. Wah… sangat hebat pendekatan sosialisasi para timses. Memang harus demikian pendekatan dengan gaya salesman agar memikat. Maka, pada saatnya nanti mereka akan menikmati kepuasan, entah jualannya dibeli ataupun tidak.
Hanya sebegitu saja opini saya. Siapa pun yang pantas menjadi gubernur dan wakil gubernur pada tahun 2019 nanti, semua itu akan melewati prosedur pesta demokrasi pilkada. Rakyat pemegang hak suaralah yang menentukan keterpilihan seseorang (paslon). Tinggallah kini para bakal calon yang akan menjadi pasangan calon “menjual” kepantasan dan kelayakan. Paradigma perubahan mungkin layak jual, tetapi karakter pribadi, kendaraan tumpangan, komunikasi publik dan politik hingga managemen timses patut dikalkulasi.
Mari menghirup aroma pesta demokrasi pilkada di NTT sebagai salah satu daerah yang mengikuti pesta demokrasi pemilihan kepala daerah se-Indonesia Jilid III.