Si Anin membawa kabar
(Heronimus Bani)
Hari itu hari Kamis. Hari berikutnya hari Jumat. Dua ekor kerbau dan sepuluh sapi bertemu di padang sabana yang tidak terlalu luas. Mereka menikmati hijaunya rumput pada musim penghujan awal tahun 2017. Rerumputan sebagai semak kecil merayap tak pelit memberi diri untuk disantap habis.
Serombongan kreso melihat tingkah dua belas ekor binatang segolongan dan beda kelas itu. Para kreso hanya menggeleng sebentar, kemudian berlalu. Seekor di antara rombongan kreso membatin: “Kerbau! Manusia sering menggunakan idiom, bodo sama ke kerbau!” Suara batin yang mirip terlintas untuk sapi: “Paron terbaik ada di
Amarasi. Semakin gemuk dan mengkilap, semakin mahal. Belum tentu ada isi khas, asal ada lemak.”
Angin bertiup perlahan. Para binatang golongan mamalia terus saja merumput. Dua ekor kerbau mengambil ancang-ancang untuk pulang, sedangkan para sapi terus saja merumput. Kenikmatan tiada tara di musim penghujan itu awal tahun 2017 itu. Bunyian dari ranting-ranting pohon yang dimainkan angin laksana musik pengantar tidur para sosialita dan politisi. Burung-burung pun ikut memberi tingka pada suasana di padang sabana kecil di tengah hutan Sismeni’.
Burung dara setengah jinak bernama Koor Otos menengok dari balik sarang persembunyiannya. Ia meletakkan kepalanya di bibir sarangnya di atas pohon tambaring. Ia melihat ke bawah. Kesibukan kreso-kreso di pinggir sabana berkolam mini menghias hutan kecil itu. Kreso-kreso itu mengeluarkan suara laksana paduan suara tanpa dirgen. Masing-masing untuk menunjukkan kebahagiaan di musim hujan itu. Mereka sangat berbahagia oleh karena hujan telah membasahi alam dimana tubuh mereka amat sangat membutuhkan air untuk dilumuri. Suara yang ada dipakai sebagai penangkap signal kebahagiaan atau bencana. Koor Otos tersenyum melihat kesibukan para Kreso.
Di kejauhan, sejauh mata memandang pohon-pohon jati memerah. Burung pemakan ulat bernama Koro Knamo’ berkunjung ke tempat itu. Mereka berpesta ria. Ulat-ulat pemakan daun muda yang merayap, menggerogot dedaunan dibabat habis. Mereka sungguh-sungguh bergembira. Ulat-ulat pemakan daun muda pun dengan sukacita menyerahkan diri untuk ditelan hidup-hidup oleh Koro Knamo’. Suatu pemandangan berbeda. Koor Otos terdiam di sarangnya. Ia menatap langit untuk melihat kalau-kalau ada tanda-tanda dari dunia angkasa tentang sesuatu di sana.
Oh…
Koor Otos melihat pada garis edar para planet. Ternyata ada planet X yang sedang melintas. Menurut kabar yang dibisikkan beberapa bulan lalu oleh angin bernama Anin, planet X diberi nama Nibiru. Planet itu akan menabrak bumi sehingga bumi akan segera hancur pada tahun 2017. Ramalan bahwa bumi akan kiamat mungkin akan tertunaikan sudah agar para peramal dapat membalikkan wajah mereka yang kotor sehingga diputar ke belakang. Koor Otos menunduk sejenak melihat dua butir telur sebagai bakal calon penerus keturunan jenisnya.
Tapi, Koor Otos tidak segera percaya. Ia memutar badan melihat kotak sarang dimana ia menyimpan produk masa depan. Koor Otos menggunakan mesin yang disebut future age untuk membaca masa depan. Mesin itu dibukanya. Koor Otos berlagak seperti manusia penghuni bumi yang memberi perubahan pada zaman. Hampir setiap hari ada perubahan sesuai zamannya. Hari ini rambut hitam besok sudah coklat, atau putih perak, atau keemasan, lusa kembali hitam. Hari ini bisa menggunting rambut cepak, besok bisa kojek, dan lusanya menunggu tumbuh rambut baru untuk diukir dedaunan pada si pemilik kepala. Sampai di sini Koor Otos menggeleng kepalanya. Sarang kecil tempat tidurnya ikut bergoyang sebentar. Dua butir telur miliknya bergeser tempat. Ia menggunakan paruhnya untuk mengembalikan ke tempat mereka sambil membalikkan posisi agar isinya berupa cairan yang akan berubah padat pada saatnya nanti menjadi makhluk yang sama dengan dirinya.
Sapi-sapi memandang dua ekor kerbau yang sudah masuk ke hutan melintasi jalan setapak yang biasanya mereka lewati. Sebatang pohon tuak menangisi diri sendiri. Dua kerbau berhenti sebentar. Mereka mendekati pohon tuak yang sedang menangis.
“Mengapa kau menangis. Bukankah sedang musim hujan sehingga kita makhluk hidup tidak kekurangan air dan tidak bakal mati?” tanya seekor kerbau.
“Sesungguhnya ketika hujan tiba, aku sangat bersyukur. Aku menangis bukan faktor kekurangan air,” jawab Tuak.
“Lalu, apa yang menyebabkan kamu menangis?” tanya seekor Kerbau.
“Aku menangisi diriku sendiri. Aku punya alasan yang kuat untuk itu. Jangan bertanya lagi mengapa. Ini penjelasannya. Aku hidup sebatang kara di pinggir hutan ini. Dulu jenis dari kami sangat banyak. Akan tetapi keserakahan makhluk manusia dimana mereka menggunakan mesin pemotong. Ditebanglah jenis kami untuk dijadikan bahan bangunan. Mereka tidak menanam pohon tuak. Padahal tumbuh kembangnya pohon tuak seperti aku ini butuh waktu puluhan tahun untuk mendapatkan batang yang kualitasnya disebut export quality. Aku menangis juga karena aku satu-satunya yang tinggal di sini dan tidak lama lagi aku akan ditebang. Kabar itu telah sampai kepadaku oleh si Anin.” Begitu penjelasan Tuak.
“Kalau begitu selamat melayani, kami melanjutkan perjalanan. Kau akan tinggal kenangan. Sedangkan kami yang kamomos ini masih bisa berkubang di dalam lumpur.” jawab Kerbau.
“Jangan lupa Kerbau! Kamu boleh berkata begitu, tapi kamu pun telah masuk dalam sasaran tembak para pengguna senapan. Anin memberi kabar bahwa kamu sering menghancurkan tanaman milik para petani. Ingat! Kamu yang berpergian, bila menemukan air di ember yang diletakkan di pinggir ladang-ladang, sebaiknya jangan diminum!” Tuak mengingatkan.
“Akh … kamu sok tau!” Kerbau pun melanjutkan perjalanan.
Sapi-sapi berhenti merumput. Kali ini mereka berbaring. Mulut sapi-sapi itu terus komat-kamit. Sebagai mamalia mereka mengeluarkan rerumputan yang telah ditelan sebelumnya. Di mulut mereka mengunyahnya lagi untuk dihaluskan agar mudah dicerna oleh alat-alat pencernaannya. Terlihat, wajah keduanya menggambarkan hati yang sedang senang karena telah tersedia makanan untuk paling kurang tiga sampai lima bulan ke depan, kecuali padang sabana itu diubah dengan semprotan pestisida pembasmi rumput-ilalang. Pada saat itu komunitas sapi akan berdukacita.
Pesta para Kreso telah berakhir. Terlihat ada yang berpasangan menikmati hari hidup untuk meninggalkan butiran pelanjut keturunan di permukaan air kolam kecil itu. Yang masih muda berenang-renang tanpa kebahagiaan sambil mencari nutrisi plus yang menyegarkan agar segera menjadi dewasa sehingga terlihat kilapan garis tubuh di kulit berlumut sebagai tanda kedewasaan yang memungkinkannya untuk segera mendapatkan teman kencan.
Koor Otos terbang rendah melihat keadaan sekitar pohon tambaring. Ia mendapati dua buah lonceng gereja bergantung di sana. Ia mencium bau aroma pantai. Ia menoleh kalau-kalau ada yang sedang membakar sesuatu dari produk pantai sehingga Anin membawa aroma itu sampai kesana. Ternyata tidak didapatinya. Koro Knamo’ terbang mendekat di sekitar pohon tambaring. Ia melihat banyaknya rongsokan dipermainkan Anin.
Koor Otos dan Koro Knamo’ tidak menahan rasa penasaran mereka. Keduanya menggunakan ajian taniin anin. Dengan ajian itu mereka berhasil menahan si Anin. Setelah berdebat sebentar, mereka mendapatkan penjelasan tentang kondisi terakhir di bawah pohon tambaring itu. Ternyata ada pesta yang telah usai diadakan di sana. Anin menggoyang pohon tambaring untuk memberitahu Koor Otos tapi ia sibuk mengurus dua butir telurnya. Koro Knamo’ sibuk dengan pesta dengan ulat pemberi lemak tubuh.
Padang sabana kecil telah sepi. Kreso berhenti berpesta. Semut berhenti berpesta. Koor Otos dan Koro Knamo’ kembali ke sarang. Ulat-ulat pemakan dedaunan muda masuk dalam cangkangnya siap berubah menjadi kupu-kupu indah. Si Anin berhembus menembus para makhluk itu untuk terus membawa kabar yang disebut hanaf ma beno.
Sementara itu di rumah gereja tua di kampung itu para ulama gereja mengumandangkan Rais Reko Usif Yesus dengan modal motivasi dari seorang pendaki gunung.
Catatan akhir: Cerpen ini ditulis sebagai oleh-oleh kepada peserta Sidang Majelis Klasis Amarasi Timur di Koro’oto, 5-6 Januari 2016