Sekolah Lima Hari: Kebijakan Kontroversi?

Sekolah Lima Hari: Kebijakan Kontroversi?

Heronimus Bani

Pengantar

Setelah gagasan Full Day School (FDS) dilepas untuk wacana yang berakhir tanpa ujung implementasi, beberapa waktu lalu muncul gagasan baru dari Mendikbud, Muhadjir Effendi, Sekolah Lima Hari (SLH). Sejujurnya sebagai guru, saya mengapresiasi gagasan yang muncul dari Mendikbud, sebagaimana gagasan 3 K oleh Bupati Kupang, Kebun, Kantin, dan Koperasi. Gagasan ini pun pilihan. Banyak sekolah di Kabupaten Kupang (SD dan SMP, negeri/swasta) belum mampu menerapkan 3K di sekolahnya. Nah, bagaimana dengan FDS atau SLH?

Kontroversi Sekolah  Lima Hari (SLH)

Bacaan Lainnya

Mengapa Mendikbud mengajukan gagasan Sekolah Lima Hari? Setelah “gagal” dengan FDS lalu menggagas lagi SLH sebenarnya pak Menteri mencari sensasi di antara permasalahan pendidikan yang sedang terjadi atau SLH adalah  untuk meningkatkan kualitas out put lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang, termasuk kualitas gurunya? Mendikbud, Muhadjir Efendi pasti mempunyai alasan mendasar atas gagasan ini, sehingga sekalipun mendapat sorotan dari berbagai kalangan, termasuk organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdhathul Ulama (NU) (www.detik.com, www.republika.co.id,), namun ia tetap bersikeras dengan gagasan ini untuk diimplementasikan, bahkan telah melegalformakannya dengan Permendikbud Nomor 23 tahun 2017.

Presiden RI, Ir. Joko Widodo mengatakan, SLH bukan suatu keharusan. “Perlu saya tegaskan bahwa tidak ada keharusan untuk lima hari sekolah.” Demikian yang disampaikan Presiden pada 10 Agustus 2017 yang dikutip www.viva.co.id. Hal ini mengindikasikan bahwa SLH belumlah menjadi suatu gagasan final yang mengharuskan sekolah-sekolah di Indonesia untuk melaksanakannya, sekalipun telah ada Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017.

Kontroversi pelaksanaan SLH yang telah di-Permendikbud-kan, berujung pada kebijakan baru, yaitu Permendikbud 23/2017 akan dibatalkan, dan Presiden akan menggantinya dengan Peraturan Presiden (Perpres). Penggantian Permendikbud tersebut telah dibicarakan sehingga Presiden melalui para staf khususnya telah merancang Perpres itu dan akan segera menyerahkan draft itu ke Mensesneg untuk finalisasi(https://kumparan.com/). Saat ini, Perpres tersebut masih terus digodok Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bersama Kemendikbud, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Sekretaris Negara, demikian Sekjen Kemendikbud, Didik Sunardi (www.kompas.com).

SLH sebenarnya  ditujukan untuk para guru. Diharapkan para guru berada di sekolah selama 8 jam sehari. Sedangkan anak-anak (peserta didik) tidak demikian halnya. Mereka sudah berada di luar sekolah untuk dapat mengikuti ekstra kurikuler di luar waktu belajar regular. Akh… mengapa Menag pun bereaksi terhadap kebijakan baru ini?(www.pikiranrakyat.com), bahkan Yeny Wahid pun turun gunung bertemu langsung dengan Mendikbud (www.jawapos.com)
Jadi jika satu kebijakan menuai beragam tanggapan, bahkan oleh para elit, bagaimana menyikapinya?

Penutup

Kebijakan Mendikbud Muhadjir Effendi tentang FDS yang  “berganti baju” menjadi SLH masih menuai kontroversi. Presiden akan segera mengeluarkan Perpres Pendidikan Karakter yang isinya antara lain SLH atau pilihan tetap sekolah enam hari.

Hai para guru, mari terus belajar untuk mengajar, dan para siswa teruslah belajar. Kebijakan seperti apapun untuk meningkatkan kualitas diri, harus dimulai dari diri sendiri. Mesti ada kemauan dari dalam diri sendiri (intrinsic motivation). Dorongan dan motivasi luar (external motivation) menjadi pelengkap. Bukankah demikian?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *