Petrus, Mungkin Tidak Mungkin
(Matius 14:22-36)
Pagi ini (16/02/17) saya membuka santapan harian elektronik. Saya membaca renungan singkat yang didasarkan pada kisah Yesus berjalan di atas air. Setelah membaca renungan itu, saya terinspirasi untuk menulis dalam persepsi sosio-politik sebagaimana kondisi hari-hari ini di sekitar kita. Saya teringat lelucon rohani siswa sekolah, bahwa Yesus ketika bersekolah, pada mata pelajaran olahraga renang, Ia disuruh berenang ternyata Ia memilih berjalan di atas air. Tentulah itu hanya lelucon belaka. Tetapi, satu kepastian bahwa Yesus berjalan di atas air, berjalan mengikuti perahu yang sedang ditumpangi para murid-Nya. Para murid-Nya sendiri menjadi ketakutan karena hari menjelang pagi, sehingga mereka menganggap sosok yang mengikuti mereka itu adalah hantu.Suatu ketakutan dan kekuatiran yang wajar.
Petrus, sebagaimana sudah menjadi pengetahuan umum para pengikut Yesus, ia seorang yang agresif. Ketika ia mengetahui bahwa yang datang itu adalah Gurunya, ia segera memohon agar praktik nyata berjalan di atas air dapat pula dilakukan olehnya. Yesus tidak menolak. Ia memintanya turun dari perahu, lalu berjalan di atas air menuju ke arah Yesus.
Kisah ini menarik, catatan Matius tidak menjelaskan jarak kapal dengan Yesus yang sedang berjalan mengapung di atas air. Walau begitu orang dapat menduga bahwa jaraknya dekat sehingga mereka dapat berbicara dan saling mendengar antara permintaan Petrus dan jawaban Yesus yang memenuhi permintaan itu.
Bayangkanlah saudara, bahwa Petrus pasti membayangkan tentang kemungkinan ia dapat berjalan di atas air seperti gurunya. Kalau gurunya bisa, dan apalagi gurunya tidak menolak permintaan, maka ia pasti bisa juga. Lalu, ia pun turun dari kapal dan memulai kemungkinan itu. Satu langkah, dua, tiga dan entah langkah ke berapa, ia malah melorot dan hendak tenggelam. Keyakinan pada kemungkinan yang sudah pasti menjadi tidak mungkin. Padahal, ada Yesus Penguasa alam yang telah memintanya untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan-Nya. Petrus merasa kemungkinan itu tidak lagi menjadi miliknya. Ia pasrah pada keadaan dimana tubuhnya yang semula ringan sekarang menjadi berat sehingga mudah tenggelam.
Saudaraku, beberapa waktu ini kondisi sosial-politik secara nasional dan daerah cukup hangat tensinya, bahkan cenderung panas. Segala prediksi kemungkinan akan terjadi sesuatu mengantar perasaan was-was menghadapi kondisi itu. Pilkada (gub, bupati, walikota) di 101 daerah (propinsi, kabupaten, kota) menjadikan pesta demokrasi itu adalah suatu kemungkinan yang telah direncanakan. Prediksi kemenangan para paslon dengan kesiapan euforia pesta kemenangan disiapkan untuk menyambutnya. Kekalahan! Siapa sudi mempersiapkan diri untuk kalah. Orang akan berkata, “tidak mungkin kalah!” Sedangkan paslon yang menang, memanjatkan syukur dan pujian kepada Tuhan sambil menyampaikan bahwa itulah kemenangan rakyat. Sangat puitis dan politis.
Para praktisi politik telah berlaga dengan mengikutsertakan rakyat pemegang kedaulatan (hak suara). Mereka telah memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi, yang pada akhirnya menjadi nyata atau bahkan sebaliknya menjadi kabur dan mengecewakan. Hanya orang-orang yang berjiwa besar sajalah yang dapat menerima kenyataan bahwa mereka telah berada dalam kondisi kekalahan, sebagaimana Petrus melorot dan tenggelam dan meminta pertolongan Gurunya, dan pada orang-orang berjiwa besar pula yang mau mengulurkan tangan untuk berjalan bersama mereka yang kalah. Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menolong Petrus untuk masuk kembali ke dalam perahu. Para murid Yesus yang berada di dalam perahu menyambut Yesus dan Petrus dengan sukacita tanda kemenangan Petrus. Mungkin ada yang mencibir, “lu mau coba na!” Tapi,
sangat jentelmen dan elegan menerima yang kalah dalam kebersamaan. Petrus mengakui keterbatasannya. Ia memohon Yesus menolongnya. Praktisi politik yang kalah dalam pesta demokrasi, baiklah menjadi sahabat dari yang menang, dan demikian juga yang menang ulurkanlah tangan untuk merangkul rival menjadi sahabat.
Dengan cara itu semua akan keluar sebagai pemenang agar klaim bahwa rakyatlah yang memenangkan “pertarungan” dalam pesta demokrasi itu benar-benar menyejukkan. Hal itu sama seperti ketika rombongan Yesus dan para murid melanjutkan perjalanan di atas perahu. Perahu melaju tanpa masalah lagi dan berlabuh dengan selamat.
Heronimus Bani