MENUJU BILIK HATI
Jam dinding yang tergantung di dinding bebak rumahku menunjukkan pukul 07.30 waktu di kampungku. Jam yang cukup mahal harganya menurut ukuran dompet kampungku itu kubeli dari menjual dua tandan pisang ambon yang masing-masing bersisir lima. Jam dinding itu harganya setengah dari jumlah uang yang kuterima, sisanya masih kubelikan beras sebanyak 2 kg yang cukup untuk kami makan dua hari bersama isteri dan dua anak-anakku.
Ya, tiga puluh menit lagi tempat pemungutan suara di lingkungan kami akan dibuka. Terdengar suara para pemilih satu dengan yang lain saling menyapa untuk segera menuju tempat pemungutan suara. Hari itu tanggal satu lima bulan Lebaran Kuda tahun Ayam Jago. Berbondong-bondong kami yang mempunyai hak suara menuju ke tempat pemungutan suara untuk memberikan suara dalam rangka memilih kepala desa di desa kami.
Di kejauhan terpampang wajah para calon yang telah dijagokan oleh setiap kelompok orang. Kelebihan tiap kandidat telah dikampanyekan secara luar biasa selama masa sosialisasi dan kampanye. Tidak ada satupun yang memberitahukan bahwa mereka mempunyai kekurangan dan kelemahan. Lawan politiknya yang mencungkil keterbatasan dan kelemahan. Lantas si empunya merasa difitnah dengan berita bohong. Klaim-mengklaim sebagai yang terbaik dipertontonkan oleh kandidat kepala desa.
Aku sendiri sebagai pemilih pemula berada di antara para pemilih yang sudah dua atau tiga kali ikut dalam pilkades. Mereka menginjeksikan virus kepemilihan padaku. Demikian pula anggota tim sukses dari masing-masing kandidat. Ya! tindakan yang katanya untuk merebut hati pemilih pemula yang bingung.
Pukul 08.30 aku tiba di lokasi pemungutan suara. Sudah banyak pemegang hak suara berada di sana memenuhi bangku-bangku yang disediakan oleh panitia lokasi itu. Mereka tidak lupa menyediakan nomor antrian agar para pemberi hak suara tertib mengantri. Di antara mereka ada yang berseloroh kalau bebek lebih baik daripada manusia dalam hal antrian. Apalah, aku tidak tahu, tokh di desaku tidak ada peternak bebek. Mereka rupanya pernah melihatnya dalam gambar pada buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Maklum, mereka yang berseloroh itu rerata tamatan sekolah dasar dan di antaranya ada pula yang drop out dari sekolah menengah pertama di desa tetangga.
Sambil menunggu, para pemegang hak suara bercerita tentang kandidat dari desa-desa tetangga. Di desa Antik kandidat mencapai sembilan orang. Di desa Goyang bahkan hanya satu saja sehingga si kandidat akan melawan tong kosong. Aku membayangkah, bagaimana jadinya jika tong kosong menang dalam pilkades itu!? Jadi kandidat yang dijagokan desa-desa tetangga mencapai maksimal sembilan orang dan minimal satu orang tergantung kesiapan memenuhi semua hal yang dipersyaratkan aturan. Aku yang mendengar cerita-cerita itu merasakan betapa riuh-rendahnya situasi desa-desa itu, termasuk kami yang mempunyai tiga kandidat yang rerata mendapatkan dukungan yang katanya signifikan sesuai hasil survei banyak lembaga survei. Wow… kereen…
Nama dan nomor antrian berurutan dipanggil. Setiap yang dipanggil menunjukkan selembar kertas putih yang disebut surat undangan untuk memberikan hak suara. Setelah menandatangani daftar hadir, mereka diberi satu lembaqr surat suara di mana di dalamnya terdapat nama, gambar/foto dari para kandidat yang akan dipilih. Cara pemilihan adalah dengan mencoblos di dalam kotak yang telah disediakan. Sosialisasi cara pemilihan telah dilakukan oleh panitia pemilihan kepala desa.
Sosialisasi itu dilakukan dengan mendatangi wilayah rukun tetangga sehingga secara kuantitas sebanyak mungkin orang dapat mengikuti dan memahami cara pemberian suara.
Setiap orang berhak untuk memberikan satu suaranya hanya kepada satu kandidat saja. Tidak dibenarkan memberikan suara kepada lebih dari satu orang. Maka, kepada setiap pemilih harus berpikir segala hal positif bila memilih kandidat, sekaligus berasumsi bahwa kandidat yang dipilihnya akan terpilih secara mayoritas. Pada saat yang sama pemilih pun harus menyiapkan diri untuk menjadi pecundang demokratis bila yang dipilihnya dinyatakan gagal mencapai ambang batas minimal untuk menghantarnya ke puncak kepemimpinan.
Giliranku tiba. Denyut jantungku makin berdebar. Aku menerima surat suara itu. Aku menuju bilik suara. Di dalam bilik suara aku berdiam diri sejenak. Aku mengikuti saran orang-orang di luar sana bahwa, sebaiknya berdo’a sebelum membuka surat suara untuk mencoblos. Aku mencoba melakukannya. Sejurus kemudian, aku membuka surat suara. Tanda gambar yang ada di sana adalah tiga sosok manusia yang selama ini digadang-gadang akan menjadi kepala desa. Mataku tertuju kepada nomor satu. Aku terdiam sebentar. Kepada nomor dua, aku mencoba berpikir, dan kepada nomor tiga, aku hendak menggeleng manalah mungkin melakukannya. Ketiganya adalah orang-orang yang aku kenal di dalam desa tempat kami hidup bersama. Bedanya, aku pemula, mereka telah menjadi orang dewasa, berkeluarga, berpendidikan tinggi, berpengalaman pada bidangnya masing-masing dan lagi dianggap layak untuk menjadi kepala desa. Sesimpel itu olah pikirku.
Hatiku bergejolak. Siapa di antara ketiga kandidat yang akan kucoblos?
“Hei! Jangan melamun! Kamu jangan berlama-lama di sana, masih banyak orang yang mengantri. Tolonglah!” terdengar suara setengah berbisik dari petugas yang menjaga bilik. Aku tersentak. Hatiku masih terus menimbang-nimbang, sementara akal sehat yang kumiliki coba kuputar-putar bagai roda. Aku berharap ada saat di mana pikiran jernih dan beningnya hati akan memberikan jawaban pada cermin mataku untuk menentukan pilihan tepat secara bijak.
Polemik, wacana, retorika, hoax, bully, klaim, demonstrasi massa, pidato politik dari kader terbaik bahkan ketua umum kelompok masyarakat pun diturunkan pada festival para seniman dan budayawan untuk melakukan berbagai klarifikasi dan hiburan, yang mengantar kandidat pada keunggulannya. Semua hal itu bersiliweran kembali di otakku. Yang tidak dapat membawa kejernihan padanya.
Sekalipun demikian, aku harus memutuskan di dalam bilik sempit yang berukuran 60 cm x 60 cm itu. Kupejamkan mata sekali lagi. Ketika aku membuka mataku, aku meletakkan surat suara itu di atas bantal kecil yang diletakkan di atas meja, dan sebatang paku panjang berukuran 10 cm aku pegang,dan creeeet, telah kutembusi salah satu wajah dari ketiga kandidat. Aku yakin pilihanku tepat. Aku pun meyakinkan diri bahwa aku telah menggunakan hak pilih dan memberikan suaraku pada pilkades kali pertama ini.
Aku berharap dia yang kupilih ini akan memimpin desa kami sebagai orang yang diutus Tuhan Yang Maha Esa. Dia yang diutus itu adalah hamba yang melayani, maka aku memastikan bahwa yang kupilih akan melayani umat Tuhan yang adalah juga masyarakat di dalam desa kami sebaik-baiknya. Aku yakin itu dari bisikan roh di bilik hatiku.
Heronimus Bani