Infontt.com,- beberapa tahun terakhir ini banyak anggota dewan dari berbagai partai politik, baik di tingkat lokal maupun nasional, yang telah diadili di pengadilan sebagai terdakwa kasus korupsi. Bahkan sebagiannya telah dijebloskan ke penjara, karena dinyatakan melakukan korupsi.
Bila merujuk data tersebut, jelas lemahnya idealisme serta kurangnya komitmen di sanubari para anggota dewan bekerja untuk rakyat (konstituennya). Ujung – ujungnya yang terjadi keapatisan dari masyarakat kepada parlemen makin menggunung.
Kondisi kekinian di parlemen, tidak ada yang bisa menjamin kelakuan pendahulunya tidak akan diikuti. Bisa jadi di dalam hati berkata, dulu Anda berkuasa dan menikmati segala fasilitas yang ada, sekarang giliran kami yang menggantikan (suatu sikap balas dendam) dengan niatan untuk memperoleh materi dengan memanfaatkan jaringan mafia yang sudah ada dan mapan itu, atau sekalian membangun jaringan mafia baru dengan modus operandi yang sama seperti sebelumnya. Semua ini menunjukkan masih sulitnya mendapatkan para pemimpin atau pejabat yang benar-benar memiliki integritas.
Di sisi lain, realitas menunjukan mafia proyek tidak hanya berada di internal parlemen saja, di eksternal terjadi pula mafia proyek dalam sebuah instansi pemerintah yang kerap kali mengkondisikan sejumlah lelang proyek yang diinginkan. Kondisi itu bukan hal yang tabu lagi. Bahkan orang-orang yang mengetahui menjadi bagian dari jaringan mafia proyek itu. Intinya, pengerjaan atau menggolkan sebuah proyek dilakukan secara berjamaah.
Hebatnya, pengkondisian itu biasanya sampai ke tahapan “mempengaruhi” dokumen lelang yang masuk di kantor pelelangan. Padahal dalam Pasal 3 UU No. 31/1999 juga secara tegas melarang siapapun yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan ancaman pidana 20 tahun penjara.
Perilaku tidak terhormat itu sungguh telah mencoreng sekaligus melecehkan tugas fungsinya sebagai perwakilan rakyat serta lembaga tinggi negara. Fenomena menarik dari pantauan saya dalam menilai ketiga fungsi pokok DPR (fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan), bahwa fungsi legislasilah yang lebih mendapat sorotan rakyat selama ini, termasuk di seluruh Indonesia.
Padahal, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan tidak kalah pentingnya jika dibandingkan dengan fungsi legislasi. Hal yang paling mudah dicermati, yakni lahirnya proses-proses politik dalam merumuskan kebijakan publik. Selama ini, sebagian besar proses politik strategis dilakukan secara tertutup dan bukan sebaliknya, idealnya prinsip transparansi dan partisipasi menjadi kunci.
Menurut saya, tingkatan sistem pengawasan tidak hanya segelintir orang atau lembaga saja, tetapi seluruh masyarakat harus dapat melakukan pengawasan. Mulai perencanaan pembangunan, pembuatan anggaran, hingga pengesahannya. Selanjutnya peran partai politik mengontrol kader-kadernya, bukan menjadi bagian dari jaringan mafia proyek.
Terpenting, yaitu adanya karakter dari individu untuk berkomitmen secara serius, bukan isapan jempol belaka. Caranya dengan membangun orientasi yang kuat bahwa mereka duduk untuk membawa aspirasi rakyat, bukan memperkaya diri, baik secara personal maupun kepartaian.
Hal lain tak kalah pentingnya, yaitu partai politik jangan pernah bergantung kepada para mafia proyek (pebisnis, pejabat, dan lain-lain), tapi kekuatan finansial partai terlebih dahulu disiapkan bila ingin terjun ke dunia politik. Lebih baik lagi, bila memiliki bisnis usaha terlebih dahulu guna mencukupi operasional partai (saran saja).
*Penulis: Chris Bani (wartawan online)