Prolog.
Mungkin tidak lazim terjadi di semua desa pedalaman Timor Tengah Selatan namun, inilah yang penulis alami sehingga diturunkan sebagai reportase perjalanan. Pada tanggal 18 September 2016, satu rombongan keluarga berangkat pagi-pagi sekali (sekitar jam 03.30 WITa). Rombongan itu terdiri dari: 1) orang tua (mahonit) dari calon pengantin (adat) laki-laki dan saudara-saudarinya; 2) perwakilan dari tua adat (amnasit); 3) perwakilan dari pemerintah desa (ana’ prenat); 4) perwakilan dari rohaniawan (amepu krei); dan 5) kelompok orang kerja.
Dari So’e ke Desa Tujuan
Tiba di kota So’e. Dari sana rombongan yang mengendarai 1 unit mobil pikap dan 3 unit sepeda motor dijemput oleh empat orang bersepeda motor dari kampung yang akan dikunjungi. Rombongan melewati jalan beraspal, berbelok ke desa Pusu’, kemudian Mnela’lete, dan seterusnya ke desa yang dituju. Jalan beraspal, berlubang, beraspal kasar, ada pekerjaan peningkatan kualitas jalan kabupupaten sehingga banyak material bertumpukan, jalan dengan kondisi aspal hancur dan jalan asli karya tangan masyarakat. Semua ini dinikmati dengan bumbu penyedapnya adalah goyangan, teriakan, bahkan sungai kecil yang karena kekurangsigapan harus menelan korban kecelakaan (1 unit sepeda motor jatuh bersama pengemudi dan penumpangnya). Beruntunglah tidak cidera. Semua telah dilewati dan dilakoni. Wajah-wajah cerah berubah menjadi mendung manakala mobil yang ditumpangi tidak dapat sampai di halaman rumah tempat acara (ritual) nanti. Maka, jadilah harus berkaki. Akhirnya tiba juga di sana.
Sebelum masuk babak kedua, kami melakukan beberapa hal kecil. Perkenalan, saling bertegur sapa dengan media oko’mama, minum teh/kopi dengan ubi rebus-goreng; dan percakapan ringan persiapan dan penyatuan kata dan tindakan.
Setelah itu rombongan kecil melakukan observasi lingkungan sejenak untuk mengetahui kondisi air minum, mandi, dan hal-hal yang berhubungan dengan MCK, serta kondisi lain yang boleh disebukan sebagai arena perkemahan.
Pra Ritual Adat Perkawinan
Langkah untuk masuk ke ritual adat perkawinan didahului dengan tindakan-tindakan pendahuluan, yaitu: 1) mengetuk dan membuka pintu. Langkah ini dilakukan dengan membawa oko’mama’, selembar uang lima ribuan, seorang jubir (mafefa’), wakil rombongan (amnasit), dan seorang yang melayani (atuta’-abha’et). Mafefa’ menyampaikan bahwa rombongan keluarga dari Amarasi Raya sudah tiba. Setelah uang di dalam oko’mama’ diterima dan diberi balasanya, rombongan kecil ini kembali ke perkemahan. Selanjutnya, 3 orang dari wakil keluarga perempuan berkunjung ke perkemahan laki-laki. Pertemuan itu dengan cara yang sama maksud berbeda, yaitu menyampaikan bahwa keluarga telah membuka pintu dan jalan serta siap menerima rombongan. Namun, berhubung pada waktu yang lalu calon pengantin laki-laki dan orang tuanya tidak pernah memberi kabar keberadaan anak perempuan mereka, maka mereka harus menebus “dosa” ini terlebih dahulu sebelum masuk dalam ritual adat perkawinan menurut hukum adat itu sendiri.
2) “Menebus dosa”. Ritual ini dilakukan dengan membawa amplop berisi sejumlah uang yang telah disepakati sebelumnya. Sekali lagi dilakukan dengan membawa oko’mama’, mafefa’ dan amnasit dari keluarga laki-laki. Di pihak keluarga perempuan diwakili oleh mahonit, mafefa’ dan amnasit. Dua orang atuta’-abha’et bersiap-siap menyodorkan oko’mama dari dua pihak mafefa’. Setelah dua mafefa’ bertutur (dalam sya’ir-sya’ir pantun), mereka saling berterima. Rombongan kecil ini pun kembali.
3) Rombongan kecil masuk kembali membawa oko’mama’ untuk menyampaikan bahwa ritual untuk memenuhi hukum adat perkawinan akan berlangsung setelah konsumsi disiapkan. Maka, dinyatakan dengan membawa oko’mama’ dan ditunjuklah 4 orang petugas yang menjadi koordinator persiapan konsumsi. Kepada keempat orang ini masing-masing mendapatkan satu oko’mama’ dan isinya berupa uang lima ribuan rupih. Mereka harus menyampaikan kabar pasti bahwa sudah siap konsumsi agar ritual dan tahapannya dapat dimulai.
(Catatan: sebelum ritual adat itu dimulai terdapat masalah, dimana dua ekor babi mati secara tiba-tiba. Penjelasannya dapat dibaca pada opini http://infontt.com:// berjudul, Fakta : Mitos, Panasnya Hukum Adat Perkawinan)
Ritual Adat Perkawinan
1) Rombongan keluarga laki-laki mengirim sejumlah nama kepada keluarga perempuan, dan sebaliknya keluarga perempuan mengirim sejumlah nama kepada keluarga laki-laki. Nama-nama ini diterimakan dalam acara nateek oko’mama’ oleh kedua pihak.
2) Keluarga dua pihak memeriksa nama-nama di perkemahan masing-masing. Nama-nama itu diberi “hadiah” berupa uang (dalam amplop) dan ‘mau, tais dan po’uk. Pihak laki-laki mengisi ‘mau, tais, po’uk dan amplop untuk nama-nama itu. Pihak perempuan mengganjal nama-nama itu dengan po’uk (selendang berukuran kecil).
3) Rombongan membawa ‘taka (oko’taka’) berisi beras kurang lebih 5 kg; babi 1 ekor; dulang berisi pua makuke’-maun makuke’; dan baki berisi ‘mau, tais dan po’uk serta amplop untuk orang tua, dan amplop untuk sejumlah amaf.
4) Rombongan diterima dengan penyambutan yang selalu didahului dengan nateek oko’mama’. Selanjutnya bertubi-tubi oko’mama’ diantarjemputkan dari meja A ke B dan sebaliknya. Setiap oko’mama’ dari keluarga laki-laki akan dibalas dengan okok’mama’ dari keluarga perempuan, masing-masing dengan tuturannya. Inti dari ritual ini ada pada penyerahan dua baki dan satu ekor babi yang dibalas dengan dua baki berisi sejumlah po’uk dan sirih-pinang.
5) Khusus untuk pemerintah desa dan rohaniawan disediakan oko’mama’ sebagai jemputan untuk memberikan nasihat dari aspek kehidupan bermasyarakat, dan memberikan nasihat dari aspek kehidupan beragama. Rohaniawan Kristen yang hadir dimintakan kesediaannya untuk memimpin do’a sebagai tanda syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Penutup Ritual
Jamuan makan bersama yang disebut “makan adat” untuk seluruh anggota keluarga dan tetamu menjadi penutup ritual. Berhubung acara ini diawali dengan nateek oko’mama’ maka untuk menutup dan mengakhirnya pun harus dengan cara yang sama.
Mafefa’ dari dua pihak didampingi orang tua, amnasit dan 4 koordinator konsumsi (torsi) dihadirkan kembali sesudah jamuan makan bersama. Keempat torsi ini menyampaikan kembali tanggung jawab dengan menyerahkan kembali lembaran lima ribuan. Sementara itu mereka disuguhi lembaran sepuluh ribuan sebagai tanda terima kasih. Seluruh perlengkapan dapur dianggap telah dibersihkan dan kembali ke tempat semula. Seluruh perlengkapan tenda dan perkemahan dianggap telah kembali ke tempat semula (seandainya pinjam maupun tidak pinjam).
Hiburan dengan tarian lokal dan tarian berdua’an (dansa) diizinkan setelah para orang tua melalui dua mafefa’. Mafefa’ mengumumkan bahwa semua anggota ritual hari ini boleh bersenang dengan menari tarian lokal, tarian lain berupa dansa dan lainnya sepanjang tidak mengganggu. Semua orang harus menjadi pemain terbaik yang menyamankan diri dan lingkungannya.
Epilog
Hujan rintik-rintik turun membasahi bumi Timor Tengah Selata ketika hari menjelang pagi (sekitar pukul 03.00 WITa). Para orang tua, amnasit, mafefa’ dan anggota-anggota peserta ritual itu merasa lega setelah seharian bermandikan keringat dan kegerahan sekalipun gelap membungkus bumi dan tubuh. Yang Maha Kuasa, Bumi dan alam raya, para leluhur telah merestui.
Oko’mama’ masih berpindah dari kemah keluarga perempuan ke kemah keluarga laki-laki. Isinya pemberitahuan tentang apa yang disebut ‘tuik oe. Ada anggapan ‘tuik oe berisi air sehingga dalam perjalanan pulang, bila beristirahat bolehlah mengambil air seteguk-seteguk untuk membahasi kerongkongan, menyegarkan tubuh untuk melanjutkan perjalanan. ‘Tuik oe berupa seekor babi dan beras kurang lebih 3 kg, disertai hasil bumi (kelapa, pisang). Semua itu diangkut ke atas kendaraan untuk segera dibawa kembali ke salah satu desa di Amarasi Raya.
Rombongan pun kembali dengan wajah berseri-seri sambil membawa pengantin adat secara utuh (suami-isteri-anak).
Demikian reportase ritual adat perkawinan di pedalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan. Semoga bermanfaat.