PANCASILA BUKANLAH SEREMONI RITUAL

elben

Oleh:

IMENUEL BENU, S.Pd*

Pancasila, seharusnya bukanlah sekedar seremoni ritual. Entah itu untuk rakyat kelas akar rumput, hingga lebih ke kalangan para pejabat rendah maupun tinggi terlebih di kalangan elit politik.

Pancasila, adalah dasar negara, dan nilai-nilai dasar negara ini perlu terwujudkan dalam praktek kehidupan sehari-hari, secara khususnya oleh mereka, para pejabat dan elit politik di negeri ini. Agar Pancasila dapat benar-benar dirasakan oleh rakyat, sebagai sesuatu yang amat bermakna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, adil, makmur, sejahtera dan bebas dari segala bentuk praktek korupsi.

Jelas bahwa, dengan memperingati kembali hari lahir Pancasila, pada tanggal 1 Juni, Ibu Megawati, mungkin akan terus berharap dapat menuai berkah dari tanggal bersejarah yang wariskan oleh sang ayah. Sedangkan Sang Pemimpin bertangan dingin SBY, mungkin akan terus berharap dapat menuai simpati bahwa dirinya berhasil melakukan “rekonsoliasi”. Benarkah demikian? Entahlah, yang jelas bagi rakyat, setidaknya bagi saya sendiri, tidak menganggap begitu penting mengenai kapan persisnya Pancasila lahir secara meyakinkan? Namun, bagi rakyat,  tampaknya lebih mementingkan bagaimana agar sila-sila Pancasila tersebut dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Lantas, bagaimana kita mengenal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila? Sekilas kita menoleh kebelakang bahwa, tanggal 1 Juni, dianggap sebagai hari lahir Pancasila dimulai sejak tahun 1947, setelah Pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 pada rapat BPUPKI dan diterbitkan secara resmi oleh negara. Pada tahun 1958, Presiden Soekarno memberikan kursus-kursus dan kuliah umum di istana negara Jakarta dan Jogjakarta, yang pada tanggal 1 Juni 1964 dibukukan dengan judul “Tjamkan Pantjasila”. Tahun 1965 meletus pemberontakan G 30 S/PKI, yang kemudian terjadi peralihan rezim, dari Soekarno ke Soeharto. Tahun 1970, keluar radiogram Sekretaris Negera, Mayjen TNI Alam Syah yang menyatakan bahwa sejak saat itu, tanggal 1 Juni tidak lagi diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Selama Orde Baru, tanggal 1 Juni justru tenggelam oleh tanggal 1 Oktober yang dikenal sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Tahun 1998 terjadi reformasi dengan mundurnya Soeharto, dan sesudahnya masalah hari lahir Pancasila sama sekali tidak pernah disinggung. Hingga, pada 1 Juni 2010, Presiden SBY bersama Ketua MPR Taufik Kiemas mengadakan sebuah peringatan pidato Bung Karno dan hari lahir Pancasila di gedung MPR RI yang dihadiri oleh mantan presiden Megawati Soekarno Putri.

Di zaman Soekarno, 1 Juni dijadikan sebagai hari lahir Pancasila, di zaman Soeharto, 1 Juni ditiadakan sebagai hari lahir Pancasila, dan di zaman reformasi ini, SBY kembali menjadikan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Hari lahir Pancasila, yang dianggap jatuh pada hari ini, 1 Juni 2016, kembali diperingati oleh Presiden Jokowi yang bertempat di Bandung Jawa Barat. Peringatan dari tahun ke tahun bukan sekedar seremonial. Pendidikan Pancasila bukanlah sebuah hafalan. Perwujudannya tidak hanya dicermati, lebih dari itu melalui peringatan hari lahir Pancasila inilah, sekiranya dapat menumbuhkan semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotong-royongan kita sebagai sebuah bangsa. Bangsa Indonesia yang adil dan beradab.

Urgensi kelahiran Pancasila ialah untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Disadari atau tidak, dampak globalisasi kekinian sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya nilai-nilai Pancasila bagi bangsa ini. Dampak  globalisasi ketika ruang tidak terbatasi lagi, menyebabkan musyawarah mufakat yang dibentuk dari masyarakat kolektif sebagai “embrio” permusyawaran rakyat, telah hilang perlahan-lahan oleh imbas negatif globalisasi. Globalisasi memang tak dapat dihindari, namun virus-virus ataupun kebudayaan baru yang tumbuh berkembang dengan cepat, harus kita lawan dengan semangat Pancasila itu sendiri, sehingga nilai kearifan lokal sebagai aset bangsa, mulai dari  kebiasaan masyarakat demokratis,  hingga lagu daerah dan  karya cipta sebagai nilai lebih bangsa Indonesia, dari tahun ketahun kembali diperhatikan.

Suara rakyat sebagai suara Tuhan kini dimanipulasi dengan hasil quick count. Mekanisme permusyawaratan dinihilkan melalui pencitraan dalam ruang publik. Media salah satunya sebagai anak kandung globalisasi telah mencabut groos root nilai-nilai permusyawaratan. Pada akhirnya Pancasila yang digali dari nilai dasar kehidupan, telah tergadai dalam ruang-ruang hampa media, yang imbasnya adalah demokrasi yang hampa dengan nilai tawar rendah. Globalisasi yang dianggap “netral” harus dicari jalan keluarnya. Tidak bolah mematikan nilai-nilai permusyawaratan, agar falsafah demokrasi yang dikandung oleh Pancasila sebagai norma dasar konstitusi, tidak merenggut hak-hak rakyat sebagai suara Tuhan. Karena hanya dengan cara demikian, semangat Pancasila dapat teraktualisasi dalam menjalankan amanat rakyat. “SALAM PANCASILA”

*Mahasiswa Pasca Sarjana Prodi Manajemen Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *