Ketika menghadiri kebaktian peneguhan dan pemberkatan nikah seorang saudara di salah satu jemaat di Kota Kupang, ada sapa’an anggota keluarga yang membawa pasangan nikah dengan simbol oko’mama’. Menarik, sang pendeta baru beranjak ke mimbar setelah oko’mama’ diserahkan kepada salah seorang anggota majelis jemaat, sebagai tanda diterimanya mereka dalam kabaktian itu.
Oko’mama’: sarat makna, terbuka implementasi
Masyarakat adat di Timor atau yang disebut Atoin Meto’ (dan umumnya suku-suku yang memamah sirih-pinang), ketika orang berkunjung ke satu keluarga, suguhan pertama yang diterima adalah oko’mama’ berisi tiga hal: sirih, pinang, dan kapur. Ketiga hal ini menjadi semacam pembuka pintu untuk basa-basi sebelum sampai pada pokok percakapan/pembahasan. Orang yang bertamu pun akan memberi balasan paling kurang sirih dan pinang. Tamu memamah dari yang diberikan tuan/nyonya rumah, sedang tuan/nyonya rumah memamah dari yang diberikan oleh tamu. Ini model keramahan dan kesederhanaan orang Timor.
Oko’mama’ terdiri dari dua bagian. Bagian pertama yaitu alas yang lebih besar berongga di dalamnya. Fungsinya sebagai gudang, tempat persediaan. Bagian persediaan ini tidak diperkenankan untuk dilihat oleh tamu. Hanya tuan/nyonya rumah saja yang boleh membuka, melihat persediaan, mengambil dari dalamnya dan menyuguhkan. Bagian kedua yaitu tutupan sekaligus sebagai penampang persembahan/suguhan. Pada bagian kedua ini orang menempatkan dan menyuguhkan sirih, pinang dan kapur.
Oko’mama’ berfungsi pula sebagai sarana untuk menyampaikan maksud yang lebih luas. Istilah yang umum digunakan adalah nateek oko’mama’ (terjemahan harfiah dalam Melayu Kupang: kasi dudu tampa siri). Nateek oko’mama’di sini bukan sekedar menempatkan sirih, pinang dan kapur. Bila orang menggunakan istilah nateek oko’mama’dengan tambahan uang dalam jumlah tertentu (biasanya uang perak, dewasa ini mulai diganti dengan logam seribuan) maka ada maksud yang akan disampaikan. Orang Timor di Amarasi Raya menggunakan bahasa pengantar percakapan sebagai berikut.
Tuan rumah:Meiki ‘reno’ te m’iis je he tnaben tiit ee, mainoin aa, oo, ai’ mai’ninu’
Jika membawa jeruk, kupaslah (dan suguhkan) biarlah kita bersama menikmati manisnya atau asamnya.
Tamu : (mengambil oko’mama’, menempakan sirih,pinang dan uang) sambil berkata
Hai mbaiseun, tua. Oko’ re’ ia hai misaeb ee neit natuin hai … .
Kami memberi rasa hormat. Oko’mama’ yang kami hunjukkan (di depan kita) oleh karena kami …
Di bagian yang kosong (titik-titik) itulah orang menyampaikan maksud hati. Bila maksud yang disampaikan itu diterima, maka isi oko’mama’ pun diambil. Sebaliknya, bila ditolak, maka isi oko’mama’ cukup disentuh saja. Pada orang Amarasi Raya seringkali yang diambil hanya sirih dan pinang, sedangkan uangnya tidak diambil. Sikap dan tindakan seperti ini membingungkan pemberi oko’mama’.
Di kalangan orang Timor (di TTS dan sebagian TTU) setiap menyampaikan satu maksud, diikuti dengan satu oko’mama. Orang Timor di Amarasi Raya, menggunakan pola itu hanya pada upacara perkawinan adat, (bila tidak dikolaborasi dengan meminang (masuk minta)).
Dunia sosial-politik (praktis) pun orang menggunakan oko’mama’ sebagai cara untuk menemukan “jodoh”. Gubernur NTT, Frans Leburaya meminang Beny Litelnoni sebagai pasangan cagub-wacagub. Mereka memimpin NTT dewasa ini. Hal yang sama dilakukan oleh para pelaku politik praktis ketika akan maju sebagai calon legislatif. Mereka meminang para konstituen dengan oko’mama’. Hal yang demikian mesti dibaca sebagai keramahan yang sederhana, bukan politik uang. Namun, bila jumlah uang yang disuguhkan semakin besar rasanya itu bukan lagi keramahan tetapi politik uang yang menserakahkan orang lain, sekaligus yang memberi oko’mama’ sedang bermimpi akan jabatan yang sedang dikejarnya itu, walaupun belum tentu akan diraihnya karena ketidakterpilihannya.
Lalu, bagaimana oko’mama’ masuk ke gereja? Apa pesannya? Saya tidak bertanya kepada sang pendeta yang memimpin kebaktian peneguhan dan pemberkatan nikah itu. Saya berusaha memahami dari aspek sosial-budaya orang Timor (atoin meto’)sebagaimana uraian singkat di atas. Saya memaknainya bahwa, setiap orang yang masuk ke rumah tetangga (orang lain), patut memberi salam terlebih dahulu agar tuan/nyona rumah membukakan pintu. Pesan sederhananya adalah, ketika orang (warga gereja, umat) masuk ke dalam Rumah Tuhan, adalah berguna menyapa Tuhan sebaga pemilik rumah dimana di dalamnya ada pekerja yang dipercaya untuk menerima umat. Sapa’an itu diwujudkan dengan nateek oko’mama’ sebagai sapa’an pembuka niat hati. Bukankah ini tindakan beribadah yang kulturis sesuai entitas kita?
Penutup
Kontekstualisasi tindakan budaya tertentu yang berisi pesan positif ke dalam ritual ibadah gerejawi bukan sesuatu yang tabu jika orang sadar bahwa hal berkebudayaan adalah pemberian Tuhan. Tuhan telah menaruh pada etnis-etnis beragam budaya, termasuk budaya oko’mama’ sebagai jembatan pergaulan dan penghormatan. Bukankah oko’mama’ yang dibawa masuk ke dalam ritual ibadah akan lebih mengakrabkan kita dengan Tuhan? Terlebih lagi kita menjunjung kekudusan dan kemuliaan Tuhan dalam ibadah?
By: Heronimus Bani