Menyuap Tuhan (renungan)

Menyuap Tuhan

Yesaya 1:10-18

Ketika saudara membaca judul ini, saya pastikan ada perasaan lain menggerayang pada diri saudara. Saya memastikan bahwa saudara kurang nyaman, atau bahkan tidak nyaman sama sekali membaca kalimat seperti itu atau mengucapkannya. Bagaimana mungkin manusia dapat menyuap Tuhan? Secara gampang menyuap dapat disamakan dengan tindakan mengambil sendok makan menaruh makanan di sana, kemudian menyuapkan ke mulut. Apakah Tuhan dapat diperlakukan seperti itu? Di dunia politik dan ekonomi, orang melakukan suap-menyuap dengan tujuan mempengaruhi kebijakan pemerintah dan pelaksananya.
Apakah tepat orang memberi sesuatu pemberian (gratifikasi) sebagai upaya membelokkan hati Tuhan untuk mengikuti kemauan kita? Sangat tidak tepat! Bahkan telah melakukan pelanggaran yang tidak terampuni! Kita dapat saja memastikan bahwa, Tuhan murka. Amarah-Nya akan bagaikan api yang menghanguskan.

Saudara, suap-menyuap dalam dunia ini bukan sekali terjadi. Di NKRI dimana saya dan saudara berada, hampir setiap hari media massa memberitakan kabar tidak sedap tentang orang-orang yang tertangkap tangan melakukan suap dan menerima suap. Pejabat tinggi, menengah dan pejabat rendahan baik dalam dunia berpemerintahan maupun pejabat perusahaan nasional dan multinasional. Dari konglomerat kepada kaum penguasa, dari kaum melarat kepada pelancar urusan. Suap-menyuap dilakukan sebagai suatu kebiasaan belaka, bahkan dianggapnya sebagai budaya yang dilegalkan di bawah tangan. Orang-orang yang melakukannya merasa tidak bersalah sehingga mereka terus melakukannya dengan tiada berpikir bahwa hal itu telah merugikan pihak lain, dan kelak diri mereka sendiri.

Saudara. Mari memperhatikan firman Tuhan yang disuarakan nabi Yesaya. Ayat 10, Tuhan menyapa para pemimpin dan rakyat agar memperhatikan pengajaran-Nya. Ayat 11, Tuhan mengingatkan tentang korban (persembahan) yang bertimbun dan tambun, nampak mewah, dan indah, tetapi tidak disukai Tuhan. Ayat 12, ketika orang menghadap hadirat-Nya, sesungguhnya Tuhan tidak menuntut semua persembahan/pemberian itu, selanjutnya ayat 13, Ia meminta agar ketika membawa persembahan, biarlah orang membawanya dalam kesungguhan, sebab jika melakukannya dengan sikap yang semu Tuhan menganggap itu sebagai kejijikan. Ayat 14, ternyata menunjukkan sikap Tuhan yang jenuh. Ia merasa ada beban yang harus Ia tanggung karena perayaan, upacara seremoni agama (ibadah) yang tidak sesuai kehendak Tuhan. Ayat 15, Tuhan tidak sudi melihat umat-Nya yang berdo’a pada-Nya, bahkan tidak sudi mendengarkan do’a, karena ada darah di tangan manusia. Ayat 16, Tuhan meminta agar mencuci, membersihkan diri, menjauhkan diri dari perbuatan jahat. Berhenti berbuat jahat, ayat 17, Tuhan mau manusia belajar berbuat baik, mengusahakan keadilan, mengendalikan kekejaman, membela hak anak yatim dan perkara para janda. Ayat 18, Tuhan mengajak manusia untuk melihat keseimbangan (keadilan) Tuhan pada mereka. Pada ayat ini Tuhan mengajak umat-Nya untuk berperkara. Dapatkah saudara membayangkan bagaimana berperkara dengan Tuhan. Dia berkata, “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.”

Saudaraku. Apakah Tuhan Allah dapat disamasejajarkan dengan manusia dalam hal sikap, sifat, tutur dan tindakan? Seringkali bisa ya, tetapi lebih dominan tidak dapat disamakan. Tuhan Allah sekalipun ada pada-Nya kemurkaan, ada pada-Nya kata-kata yang nampak seperti penuh dengan murka, dan tindakan-tindakan-Nya membahayakan, mencelakakan bahkan melenyapkan, tetapi di balik itu semua ada keampunan dan keselamatan.

Lantas, mengapa judul ini menggambarkan bahwa manusia dapat menyuap Tuhan? Inilah jawabannya.
Saudaraku. Manusia merasa bahwa Tuhan itu sama dengan manusia. Orang memandang Tuhan seperti pejabat yang dapat ditemui dengan rasa sungkan, hormat, takjub. Menghadap Tuhan dengan cara menjura (tunduk tidak melihat wajah-Nya) adalah tindakan baik. Orang menghadap Tuhan dengan membawa persembahan, nateek oko’mama’ adalah cara yang paling baik yang dapat menyenangkan hati-Nya.

Mari menelisik. Keseharian manusia di kantor-kantor pemeritahan (para pemimpin) dapat terjadi seperti ini. Seorang pejabat yang menerima tamu. Para tamu masuk dengan memberi hormat sambil membungkuk. Menyalami (jabat tangan) sambil membungkuk. Duduk amat sopan. Bicara dengan mengendalikan kata-kata. Kalau mereka orang Timor ada upacara kecil yang disebut nateek oko’mama atau kabin. Lantas dilanjutkan dengan pembicaraan yang bertele-tele, menggunakan diksi (pilihan kata) yang manis, indah, terdengar seperti sastrawan membaca puisi. Kata-kata seperti itu sering menyenangkan sang pejabat. Apalagi pejabat dikelilingi sejumlah bawahan, rasanya wibawanya semakin naik. Kemudian, sang pejabat memberi jawaban atas pernyataan-pernyataan para tamunya. Ketika pejabat berbicara para tamu mendengarkan dengan hikmat, lalu kelihatan angguk tanda mengerti. Si pejabat semakin berwibawa. Pejabat seperti itu merasa telah naik lebih tinggi daripada mereka yang menjadi tamunya.
Jika itu dilakukan sekali, dua kali dan berulang-ulang dengan membawa sesuatu kepada si pejabat, lalu urusan menjadi lancar, lama kemudian para pemberi merasa bahwa mereka telah dapat mengendalikan si pejabat mengikuti kemauan mereka. Para pemberi telah dapat menggoyang hati dan membelokkan hati sang pejabat. Jika pejabat itu dapat membelokkan kebijakan yang seharusnya berlaku untuk umum dan dialihkan kepada kelompok, golongan tertentu, maka antara pejabat dan orang-orang tadi telah terjadi apa yang disebut suap-menyuap.

Orang merasa hal ini dapat diterapkan pada Tuhan. Orang merasa bahwa Tuhan itu seperti manusia (pejabat tadi), maka mereka dapat membawa persembahan yang luar biasa baiknya, berkualitas terbaik, indah dan mewah. Seluruh persembahan itu disampaikan dengan ungkapan kata-kata bermakna (konotatif) yang harus dicarikan maknanya. Persembahan dihaturkan kepada Tuhan pada momentum yang tepat, orang seakan mau mengendalikan atau mau menggoyang hati Tuhan.

Orang lupa bahwa mereka telah menjadi orang munafik. Mereka mungkin membawa semua yang terbaik itu dari hasil menjarah, mencuri, merampok milik orang lain, yang menyusahkan dan menyengsarakan orang lain, termasuk yatim-piatu dan para janda, dan orang-orang miskin yang mestinya mendapat perhatian. Orang justru menghadap Tuhan ketika ketidakadilan merajai kehidupan. Sikap dan tindakan yang sedemikian itu yang tidak disukai Tuhan. Maka, siapakah yang dapat berkata pada Tuhan, “Tuhan, tolonglah tunaikan permohonan kami. Biarlah kami hidup sejahtera!” Bila do’a semacam itu dihaturkan dan disertai persembahan, sementara di samping rumah ada orang butuh makan. Ada yang butuh pertolongan karena sakit bersalin. Ada anak yang kurang gizi. Lalu orang membawa persembahan yang luar biasa kepada Tuhan, mengharapkan agar ada kebaikan Tuhan tercurah atas mereka, ada rasa ketidakadilan berlaku di sana. Mengapa tidak memberikan harta yang demikian itu kepada mereka.
Tindakan yang demikian itu sama dengan orang mau menyuap Tuhan. Tuhan tidak dapat disuap. Tuhan tidak akan menerima suap. Tuhan tidak menerima persembahan yang dihaturkan dengan kemunafikan. Tuhan tidak menerima persembahan yang katanya berbau harum laksana korban bakaran lemak terbaik dan minyak terbaik.

Mari berefleksi. Jadilah orang yang membawa persembahan kepada Tuhan dengan hati yang tulus. Persembahan yang baik dari hatimu. Beri perhatian pada sesamamu dengan ide dan harta. Jadilah orang yang dapat memberi solusi (jalan keluar) dari suatu permasalahan yang sedang dihadapi. Jadilah orang yang memberi kepedulian, sikap empati pada sesamamu ketika mereka dalam kesulitan, bukan malah menjadi beban pada mereka apalagi membebankannya pada Tuhan. Mari coba mengingat ketika orang berdo’a untuk menuju meja makan. Sering ada bunyi do’a seperti ini, “Ya Tuhan, ingatlah mereka yang kekurangan. Berilah mereka makan seperti yang hendak kami makan.” Apa yang ada di benak saudara kalau mendengar do’a seperti itu. Do’a itu memberi tugas/perintah kepada Tuhan. Kita makan nasi, Tuhan yang kerja untuk orang lain yang tidak sempat makan nasi di tempat lain. Jadi, kita membebani Tuhan dengan tanggung jawab memberi nafkah pada orang lain.
Saudaraku. Tuhan mengutus kita menjadi saluran berkat. Jangan berlagak memberi persembahan besar dan indah, mewah dan berkilau, tetapi hati berbuku-buku.

Selamat hari minggu.

Koro’oto, 30 Oktober 2016

By : Heronimus Bani

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *