Pengantar
Eit… jangan sensitif dulu membaca judul ini.Fakta (atau fenomena) ini penulis dapati ketika berada dalam beberapa kali upaya membantu anggota keluarga yang hendak melangsungkan pernikahan/perkawinan dengan melalui satu tahapan yaitu mewujudkan hal-hal yang bersifat hukum adat.
Patut menjadi catatan, bahwa dalam etnis-etnis di sekitar Nusa Tenggara Timur, hukum adat perkawinan hampir mirip pada perpindahan nama keluarga gadis (nona) mengikuti nama keluarga perjaka (nyong). Perpindahan nama keluarga (marga, fam, nono) pada etnis ada bervariasi istilahnya menurut bahasa lokalnya. Misalnya, orang Timor Amarasi menyebut sea’nono dan saeb nono. Ada sebagian besar etnis Timor menyebut kaos (kaso) nono. Istilah kenoto untuk etnis Sabu, belis to’o’ untuk etnis Rote (walaupun tidak selamanya hal itu dibenarkan, dan tidak semua komunitas Rote melakukan hal ini).
Fakta (fenomena) lain yang penulis dapati dalam beberapa kali membantu dalam pengurusan perkawinan/pernikahan adalah simbol keperawanan (masih perawan atau sudah tidak perawan). Hal yang satu ini berlaku pada etnis Rote (tertentu saja di sekitar Kabupaten Kupang, dalam Kecamatan Kupang Timur). Bagaimana mengetahui bahwa seorang gadis (nona) dalam kondisi seperti gambaran itu? Berikut ini gambarannya secara gamblang.
Meminang (Maso minta)
Meminang (Melayu Kupang (MK) maso minta) dengan membawa sejumlah dulang/baki sudah lazim untuk kalangan masyarakat perkotaan. Jumlah dulang/baki yang dijejer minimal 5 unit. Tiap dulang/baki berisi hal berbeda. Umumnya adalah sebagai berikut: dulang 1 isinya kitab suci, di sampingnya ada lampu sebagai
simbol terang kampung. Dulang kedua isinya sepasang pakaian suami-isteri, biasanya berupa tenunan. Jika tidak tenunan boleh diganti dengan kain pabrikan seperti sarung dan batik. Dulang ketiga dan keempat isinya berupa sebentuk barang mas (cincin, rantai leher, anting) disertai sejumlah uang, serta seperangkat alat meik ap (make up) dan sejumlah hal yang berhubungan dengan keperempuanan. Dulang kelima berisi sirih-pinang, tembakau dan kapur. Biasanya pinang yang diminta adalah pinang wangi (bonak).
Di samping itu, hal-hal yang sifatnya mewujudkan hukum adat perkawinan sering dipercakapkan dan disepakati dalam dua alternatif. Pertama, kaos nono/kenoto bisa ditempatkan nilai nominalnya di dalam dulang untuk para orang tua jika itu berupa uang. Jika berupa benda lain (ternak) harus diseremonikan tersendiri bersama-sama dengan aer susu ibu, serta tanda-tanda penghormatan kepada saudara laki-laki (atoin mone), adik-kakak, om-tante; dan keluarga besar terhubung dan terkait.
Resminya Perkawinan
Peresmian perkawinan yang sifatnya otentik nyata pada surat nikah yan dikeluarkan oleh pejabat keagamaan dan pejabat pemerintah. Sedangkan pemangkut adat di desa/keluarahan lasimnya tidak memberikan akta adat perkawinan. Upacara pengukuhan perkawinan sesuai agama yang dianut (disepakati) pasangan mempelai dengan diketahui dan disetujui orang tua. Tahapan pengukuhan secara agama diikuti peresmian perkawinan menurut peraturan yang berlaku di dalam negara ini. Pencatatan sipil dilakukan untuk menerbitkan satu jenis dokumen yang disebut akta perkawinan. Akta ini sangat berguna untuk pengurusan hal-hal yang sifatnya sekuler.
Pengetahuan Keperawanan
Pengetahuan akan hal keperawanan seorang gadis yang telah beralih status menjadi isteri dari seorang suami, sudah lasim pada etnis Rote (yang tidak semuanya) di sekitar Kupang Timur. Mengetahui hal itu sungguh mudah, walaupun tidak semua orang dapat menyaksikan secara langsung prosesi itu.
Pemuda yang telah menjadi suami, akan datang ke rumah keluarga isterinya pada hari ketiga sesudah pesta perkawinannya. Ia memawa satu unit tempat sirih-pinang di dalamnya berisi “tanda suci” dari gadis, sebentuk barang mas, dan sejumlah sirih-pinang. Ketiga hal ini dibungkus (tutup) sembunyikan dengan selimut layaknya orang kedinginan. Diikuti dengan tidakan memayungi (berpayung) orang (saudara perempuan) yang membawa tempat sirih-pinang itu.
Pemuda yang telah menjadi suami itu mengenakan kembali pakaian yang dipakai ketika menjadi pengantin. Ia memegang sebilah parang. Di depan rumah keluarga isterinya ia menebas batang pisang yang telah disiapkan sebelumnya. Tebasannya harus satu kali putus. Sesudah itu, ia meminta izin masuk ke dalam rumah mertuanya untuk bertemu dengan keduanya (suami-isteri; ayah-ibu) dan menyampaikan rasa terima kasih melalui apa yang terbungkus itu. Hal ini dilakukan jika gadis (nona) benar-benar seseorang yang menjaga kegadisan/keperawanannya sampai dimana ia dan suaminya berbulan madu.
Jika pemuda itu dan saudara perempuannya tidak memayungi (berpayung) tempat sirih-pinang, maka orang sekitar dengan sendirinya mengetahui bahwa gadis (nona) sudah tidak perawan karena keduanya telah berhubungan intim laksana suami-isteri sebelum peresmian perkawinan/pernikahan.
Pesan moral dan etika
Pengetahuan seperti ini sudah umum/lazim dalam masyarakat di sekitar lokasi pesta perkawinan/pernikahan. Dua ciri sebagaimana uraian di atas menjadi pengetahuan masyarakat. Ada pesan moral dan etika pada kedua ciri yang telah dijelaskan sebelumnya. Pertama, gadis-gadis di sekitar kecamatan Kupang Timur harus benar-benar menjaga diri. Para pemuda (perjaka) pun harus mampu menahan diri untuk tidak mengobral janji dan nafsu kepada gadis tertentu bila ingin mengambilnya sebagai penolong (isteri) sampai selama hidup bersama. Kedua, mereka yang sudah tidak perawan atau yang telah melakukan hubungan sex layaknya suami-isteri akan dengan mudah diketahui oleh masyarakat karena ada tanda yang amat jelas, yaitu tidak adanya payung ketika pemuda (suami) kembali ke rumah mertua. Hal ini akan menjadi pergunjingan negatif, sekalipun mereka telah resmi menjadi sepasang suami-isteri.
Maka, pesan penting secara etis adalah, pergaulan bebas di zaman edan mesti bisa dikontrol. Para muda-mudi harus mengontrol diri (mawas diri) dalam pergaulannya, sehingga masa muda dimana mereka ingin berpasangan dalam masa pacaran tidak jatuh ke dalam pelukan hubungan sex. Jika hal itu terjadi maka nama baik orang tua dan rumpun keluarga menjadi tercoreng. Tidak heran, jika pada etnis ini sering terjadi “ricuh” dalam hal mewujudkan pasal hukum adat perkawinan.
Penutup
Menjaga kesucian sebagai gadis dapat dibuktikan. Bagaimana menjaga kesucian sebagai perjaka. Apakah keperjakaan seorang pemuda dapat dibuktikan? Ini suatu tantangan ketika penulis mengikuti prosesi perkawinan di sekitar Kupang Timur. Cerita para orang tua menginspirasi tulisan ini.
By : Heronimus Bani