Menas, dalam Perspektif Budaya Orang Amarasi Raya (suatu uraian singkat)

Pengantar

Menas.Satu kata dalam bahasa Amarasi yang diterjemahkan sebagai penyakit. Di kalangan Atoin Meto’ (orang Timor), menas mendapat perhatian besar bila mendera seseorang anggota keluarga. Dibandingkan dengan jenis penyakit ringan seperti batuk (boho), pilek (piun mate’), sakit kepala (‘naak menas), demam (mainini), perhatian kurang serius karena belum tergolong menas.

Mengikuti asumsi, sikap dan tindakan penanganan terhadap menas di kalangan orang Amarasi Raya, rasanya paramedis dan mereka yang menggunakan logika tidak akan menerima fakta-fakta di tengah-tengah masyarakat.
Sampai dengan memasuki abad XXI sebagian kalangan masyarakat Amarasi Raya masih terpolarisasi dalam asumsi, mitos tentang penyebab dan cara penanganan menas.

Tulisan ini hendak memberikan gambaran secara gamblang tentang menas, penyebab dan penanganannya di dalam masyarakat Amarasi Raya, sekaligus ingin memberi nuansa pengetahuan kepada pembaca, termasuk para pegiat kesehatan, guru, rohaniawan dan lainnya.

Menas, antara asumsi, mitos dan fakta.

Suatu kondisi dimana seseorang yang tubuhnya didera penyakit tertentu yang oleh karenanya ia terbaring, tidak dapat mengkonsumsi apapun atau sangat sedikit makanan yang dapat dimakan atau sangat sedikit air yang dapat diminum, berat badan semakin turun, kondisi tubuh lemah, mata sayu, suara tidak didengar secara jelas dan kondisi tertentu pada tubuh yang mengancam kelangsungan hidup itulah yang disebut menas.

Jika mengunjungi seseorang yang sedang sakit, atau melihat seseorang sedang sakit, lalu ada pertanyaan, apa yang menyebabkan dia sakit? Varian jawaban atas pertanyaan itu dirangkum sebagai berikut.
1. Naniu nsaan, artinya salah mandi, biasanya terjadi pada anak-anak yang jatuh sakit karena dianggap waktu mandi yang tidak tepat.
2. Koor goe na’ba’e, koor goe npisu, artinya dipermainkan burung, dicakar burung. Anak-anak di bawah lima tahun yang menderita sakit sering dihubungkan dengan istilah pertama. Orang dewasa khususnya lelaki yang bersua dengan buntiana kemudian jatuh sakit dengan tanda-tanda cakar di tubuh.
3. Naaf ee naim, artinya darah menuntut, termasuk di dalamnya bila berhutang darah.
4. Feef a’paah, artinya mulut terbuka. Maksudnya pernah berjanji/bersumpah atau bernazar. Bila tidak ditunaikan maka akan meminta “korban”, yang diawali dengan sakit.
5. Otes, ‘refi’, lefik, bunu, biku.
6. Maunu artinya gila, termasuk maunu ‘bibi ¬– gila kambing (sakit ayan)
7. Iir penu – artinya dibengkokkan dahinya. Jenis yang ini sama denga orang bekin tetapi sasaran tidak sakit. Ia hanya dibuat menjadi gagal jodoh.
8. Atoni’ nami, atoni’ nmo’e, – umumnya dalam bahasa Melayu Kupang dikenal dengan istilah orang bekin
9. Siraak – artinya kecelakaan yang umumnya terjadi dalam menjalankan pekerjaan atau kecelakaan lalulintas.
10. Naim kuun menas, artinya penyakit yang ada didapatkan dengan cara sadar. Misalnya, ‘heri’, namouf (melakukan tindakan sunat di luar medis, melakukan aborsi) dan lain-lain yang sifatnya mencelakai diri sendiri sehingga jatuh sakit.

Penanganan Menas
Orang Amarasi Raya melakukan paling kurang 4 hal bila seseorang jatuh sakit yang disebut menas.
1. Kahe’, tindakan pencegahan.
2. Mencari, membawa si sakit kepada orang yang mampu merawat (apairorit, meo). Ada yang menyebutkan dengan nama dukun.
3. Mencari, membawa si sakit kepada pendo’a sekaligus yang dapat merawat (a’onen, pairoir)
4. Membawa si sakit ke pusat-pusat layanan kesehatan (Klinik, Balai Pengobatan, Puskesmas, Rumah Sakit, dokter praktik)
Urutan penanganan terjadi seperti itu. Maka, tidak heran jika seseorang yang sedang sakit bila diantarkan ke pusat layanan kesehatan, ia sudah dalam kondisi yang memprihatinkan.
Biaya, faktor jarak, pendamping di RS dan lain-lain menjadi pertimbangan sebelum mereka membawanya ke pusat layanan kesehatan.

Penutup

Tulisan ini sekedar memberi informasi dan pengetahuan karena hal-hal ini masih kuat melekat di kalangan masyarakat. Penyebaran informasi yang benar tentang berbagai jenis penyakit, penyebab dan penanganannya harusnya secara berkelanjutan dilakukan agar masyarakat tidak terus berada dalam kubangan pengetahuan tradisional, padahal telah berada di dalam era melek ilmu pengetahuan.

By : Heronimus Bani

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *