Pengantar
Satu pernyataan via face book (27/08/15) oleh Intan Nuka Pegan mengundang diskusi dan menginspirasi. Ia mengutip berdikarionline.com (13/01/15) tentang Ekonomi Terpimpin. Penjelasan newsnya tentang pandangan Bung Hatta dalam himpunan risalah yang berjudul ekonomi terpimpin yang merupakan antitesa dari ekonomi liberal. Menarik.
Seorang penanggap pada link fb Intan bernama Septian Siagian memberikan penjelasan yang disukai Intan. Penjelasan itu berbunyi demikian: pemasokan ini dampak dari pengaruh global ditambah akhir tahun ini pasar bebas akan segera dibuka yang kita kenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Persaingan akan semakin besar dan kapitalisasi itu bukan dari luar saja, namun dari dalam sedang berlangsung terutama untuk usaha-usaha kreatif. Kesimpulannya kapitalisasi tidak bisa ditolak bagi orang-orang yang menginginkannya, namun perlu adanya penyadaran bagi kaum marjinal untuk bangkit melalui sosial bisnis dalam pengembangan masyarakat kurang mampu agar daya beli meningkat. Kapitalisasi dari dalam dapat meningkatkan nilai (Pen.tukar) rupiah namun pengaruh terbesar saat ini masih kapitalisasi dari luar sehingga rupiah tak cukup berjaya.
Saya mencoba menimpali dengan tanggapan bahwa kapitalisme sudah mengakar bahkan membudaya. Yang kecil-kecil saja: kapitalisasi sekolah-sekolah. Adakah kita menyadarinya? Filter ekonomi gotong royong kita cenderung dilemahkan oleh kita sendiri. Tengok lagi istilah ini: westernisasi, kebarat-baratan. Tanggapan saya ini tidak melemahkan Intan. Ia malah memberikan tanggapan amat serius demikian, Iya Om. Kapitalisme memang sudah ada sejak zaman penjajahan dahulu. Namun bukan berarti kita tetap menerima keadaan itu ‘kan. Banyak yang tidak tahu. Jadi sekarang kita harus bilang ke semua (orang) biar tahu, apa sih yang bikin negara kayak begini. Saya lebih menitikberatkan pemikiran ke upaya menyadarkan masyarakat. Ini namanya kapitalisme Ini yang harus kita buat, ketimbang sekedar bicara-bicara tentang faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan kapitalisme, terus hubunganya dan lain-lain tanpa bergerak.
Dari pernyataan yang dibuat oleh Intan, saya pikir si gadis muda belia ini sedang menjadi pegiat atau sedang kuliah. Saya tidak butuh banyak latar belakang itu. Tetapi, pandangannya tentang kapitalisme seakan-akan sesuatu yang amat sangat buruk sehingga harus ditolak. Benar! Bahwa banyak kalangan menolak kapitalisme di negara Pancasila ini. Semua cenderung untuk mencari dan menemukan cara ampuh nan sakti untuk segera menghapus kapitalisme dari bumi nusantara. Kapitalisme didakwa sebagai biang ketidakberesan ekonomi bangsa ini, yang berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Apakah kapitalisme dapat dihapuskan dari NKRI?
Adakah hubungan Kapitalisme dengan Kapitalisasi Sekolah?
Rasanya saya amat terlambat membuat pertanyaan seperti itu. Ya. Tetapi, saya menggarisbawahi pernyataan Intan, “saya lebih menitikberatkan pemikiran ke upaya menyadarkan masyarakat. Ini namanya kapitalisme. Ini yang harus kita buat, ketimbang sekedar bicara-bicara tentang faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan kapitalisme, terus hubunganya dan lain-lain tanpa bergerak.”
Suatu pernyatan yang sangat menantang, antusias, bersemangat. Seandainya bisa bertemu langsung dengan Intan dalam suatu diskusi yang lebih berkualitas dalam suatu seminar pemikirannya mesti bisa ditampung, atau orangnya sekaligus yang direkrut untuk kepentingan memenej ekonomi bangsa, paling kurang pada tataran mikro tertentu, sehingga ada pilot project yang dapat dijadikan patron peniadaan kapitalisme.
Saya mengutip (wikipedia.org), Kapitalisme (atau kapital) adalah sistem ekonomi dimana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan membuat keuntungan dalam ekonomi pasar. Pandangan ini sudah pasti diketahui umum. KBBI Daring menjelaskan hal yang sama, kapitalisme adalah sistem dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya (penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan di pasaran bebas.
Dalam dunia pendidikan, pelembagaan pendidikan di sekolah ternyata terlihat adanya kapitalisasi itu. Laporan wartawan Wartakota.com (Agustin Setyo Wardani) dalam Tribunnews.com menyatakan bahwa upaya pemerintah untuk mensertifikasi sekolah dengan standar internasional atau International Standard Operation (ISO) dinilai pemerhati pendidikan sebagai salah satu bentuk kapitalisasi pendidikan. … Darmaningtya seorang pengamat pendidikan mengatakan biaya sertifikasi ISO Rp90 juta dan belum biaya lain, pelatihan guru, perlengkapan fasilitas dan semua dibebankan kepada siswa. Jadi, sekolah-sekolah milik pemerintah dengan merk sekolah berstandar nasional dan rintisan sekolah berstandar internasional terselubung di dalamnya kapitalisme. Kapitalisasi itu dilakukan dengan melembagakan komite sekolah yang “memaksa” para orang tua siswa untuk menyerahkan sejumlah uang dengan nama tertentu. Keseluruhan uang (modal/kapital) tersebut dimanfaatkan oleh sekolah untuk menaikkan derajat/gengsi sekolah.
Hal serupa terjadi pada sekolah swasta. Para pemilik modal mendirikan sekolah-sekolah dengan gedung mewah, diiklankan segencar mungkin untuk meraih simpati orang tua dan calon siswa. Lahirlah sekolah-sekolah swasta favorit yang berjibaku ketika pendaftaran tiba.
Siswa dalam rombongan belajar yang berjubel merupakan suatu pemandangan lumrah pada sekolah-sekolah negeri milik pemerintah yang berstandar nasional dan rintisan sekolah berstandar internasional. Hal ini menjadi alasan dan sandaran kuat untuk memaksa para orang tua membayar uang pembangunan, uang pelajaran tambahan, uang extra kurikuler dan lain-lainnya. Pada sisi yang sama pemerintah menggelontorkan sejumlah dana yang dihitung berdasarkan akumulasi siswa pada seluruh jenjang/tingkatan kelas di sekolah tersebut. Maka, tidak heran ada standar ganda yang dipakai oleh sekolah-sekolah pemerintah untuk membuat pelaporan. Pelaporan penggunaan anggaran yang bersumber dari pemerintah yang tidak boleh meleset, dan laporan penggunaan keuangan yang bersumber dari orang tua siswa yang legal plintirannya.
Sekolah swasta yang bukan favorit akhirnya kekurangan siswa. Ruang-ruang belajar ompong. Siswa duduk berjarak-jarak untuk memperlihatkan bahwa ruang belajar sedang penuh. Sementara sekolah negeri dan swasta favorit, siswa duduk berdesakan hingga harus diberlakukan sheft pagi dan siang. Para guru di sekolah swasta dan negeri non favorit kekurangan jam mengajar karena rombongan belajar tidak cukup. Mereka harus berlarian mencari sekolah yang bersedia menerima mereka untuk mendapatkan kesepakatan tambahan jam mengajar. Bila mendapatkannya, mereka akan bersyukur. Bila gagal mereka harus mengelus dada karena data pokok pendidik yang dilaporkan menjadi tidak valid sehinga tunjangan profesi yang diharapkannya tidak diperolehnya.
Para guru di sekolah negeri dan swasta favorit malah berkelebihan jam mengajar karena rombongan belajar yang banyak. Jam mengajar yang lebih itu diberikan kepada guru-guru honor. Guru negeri di sekolah swasta dan negeri non favorit tidak bisa mendapatkan kelebihan jam mengajar di sekolah-sekolah favorit itu, karena telah diambil oleh guru-guru honor. Lagi-lagi guru negeri yang kekurangan jam mengajar seperti itu akan merugi karena dapodiknya tidak valid.
Kapitalisme ikut meramaikan lembaga pendidikan formal Sekolah Dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas umum maupun kejuruan, baik negeri maupun swasta. Semakin besar modal (anggaran) yang masuk ke sekolah, semakin menaikkan gengsinya. Semakin berjuber siswa, semakin bergengsi. Semakin banyak yang lulus, semakin bermartabat sehingga akan diserbu dari pintu depan maupun pintu belakang ketika tahun ajaran baru tiba pada proses penerimaan siswa baru (PSB).
Sementara itu, kapitalisasi sekolah terjadi juga pada PAUD. Para pemodal menanam saham dengan mendirikan PAUD dan taman (bermain) kanak-kanak. Para lulusan PAUD dan TKK diwisuda laksana para sarjana jebolan universitas. Wisudawan PAUD dan TK mendapat posisi di media cetak maupun elektronik yang secara langsung maupun tidak langsung mendongkrak gengsi mereka. Para pembina PAUD dan TK memberikan sentuhan kalimat menarik bergaya advertorial sebagai “ajian dan mantra” yang menawan dan menarik pelanggan/konsumen.
Kita tidak perlu membahas lebih lagi tentang perguruan tinggi (PT) yang memang sudah sampai pada titik kapitalisme itu, dengan menjadikan PT sebagai badan hukum. Jika seorang sarjana lulusan universitas tak ternama, rasanya di dunia kerja mereka akan menjadi manusia kelas berikutnya sesudah sarjana dari perguruan tinggi ternama, favorit dan terakreditasi B+ dan A. Kualitas seorang sarjana dilihat dari aspek gengsi perguruan tingginya. Semakin bergengsi PTnya, sarjananya dianggap berkualitas, sekalipun IPK-nya mungkin cukup-cukup saja. Pada sisi yang lain, PT yang kurang ternam dengan akreditasi C, bisa jadi sarjana yang dihasilkan memperoleh cum laud. Hanya saja, PT kurang ternama maka sang sarjana dapat dianggap manusia kelas dua di dunia kerja.
Penutup
Kapitalisme telah merambah sumsum hingga mendarah-daging, bagai kanker yang telah menggerogoti tubuh. Dapatkah kita mencabut kanker itu? Bisa ya. Mungkin perlu bedah/operasi cesar hingga penggunaan sinar laser yang dapat menembak ke sumber penyakit itu. Dapatkah asumsi medis seperti itu dapat diterapkan di dunia pendidikan dan lainnya? Intan mungkin sedang berjuang sekuat tenaga mudanya untuk maksud itu.