IBU PERTIWI DISAKITI

Heronimus Bani

Menyakitkan sekali! Kata ini tepat diucapkan ketika tindakan pejabat negara (di daerah dan di pusat) didapati menggunakan zat-zat yang dilarang (narkoba). Mereka yang dikategori sebagai pejabat pada jenjang manapun (struktural, fungsional, legislatif, feksekutif, yudikatif, dan lain-lain) sepatutnya menjadi yang dapat diteladani. Ing ngarso sung tulodo. Ajaran Ki Hadjar Dewantoro rasanya mungkin tidak terindoktrinasi pada mereka. Entah doktrin apa yang melekat pada jiwa dan semangat para pejabat sehingga mereka secara sadar bersikap dan berbuat yang nyata-nyata melanggar aturan yang berlaku, dan terlebih lagi menyakiti ibu pertiwi/negara.
Satu artikel menarik yang saya kutip satu paragraf dari dalamnya (http://www.kompasiana.com/paulodenoven) seperti ini: Polisi membunuh istri, polisi mencincang anak, polisi menjual narkoba, tentara menembak bak babi buta, tentara mengambil senjata di gudang dan menembak pembunuh rekannya, pejabat mati karena jantung, struk, di tengah-tengah masa jabatannya. Pejabat maling dan lupa daratan, lupa akan sumpah sendiri. Apa artinya? Test psikologi dan test kesehatan jelas telah sebatas formalitas. Kemarin bukti itu makin konkret di mana pemadat bisa lolos test kesehatan dan tidak “terdeteksi” pemakai narkoba. Selama ini dua test itu bisa diatur dengan berbagai cara. Apakah sesederhana itu? Test-test itu membantu mengenali gejala-gejala yang ada, sehingga bagi yang keluar dari syarat-syarat minimal tidak bisa lolos.
Pernyataan seperti ini, hemat saya jelas sekali bahwa negara/ibu pertiwi sedang disakiti. Ia yang mengandung dan melahirkan aparat/aparatur negara martabatnya direndahkan oleh anak-anaknya. Ia menangis karena anak-anaknya melakukan tindakan melawan hukum.


Sebagaimana dilansir berbagai media, ketika gagasan tes narkoba diberlakukan, pro-kontra terjadi di dalamnya. Mereka yang pro ide ini lancar-lancar saja mengikuti tes yang dilakukan oleh BNN. Sementara mereka yang kontra berdalih bahwa, surat keterangan catatan kepolisian dan keterangan bebas narkoba dari dokter sudah cukup menjadi bukti yang menerangkan bahwa seseorang pejabat tidak sedang menjadi pengguna narkoba.
Fakta yang sangat menghebohkan, seorang bupati tertangkap tangan sedang berpesta narkoba bersama rekan-rekannya. Seorang bupati yang masih muda usia, muda pula usia kepemimpinannya dalam daerah kabupaten yang dipimpinnya. Miris.
Kementerian Dalam Negeri Indonesia menyatakan secara tegas akan memberlakukan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 Pasal 78 ayat 2 huruf f, terkait pemberhentian pejabat daerah yang terbukti menggunakan narkotika / obat terlarang. Demikian disampaikan Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Dodi Riyadmadji. – (http://www.indopos.co.id/2016/03)
Tentu semua sepakat bahwa semua aparat/aparatur sipil maupun militer dan kepolisian patut menjadi panutan. Perform yang nampak seperti kompetensi kepribadian, sikap dan perilaku yang terpuji, akan dipanuti. Jika yang nampak misalnya seperti apa yang terjadi pada para pejabat yang dijemput paksa karena ditersangkakan sebagai menilep anggaran, suap, narkoba, KDRT, dan lain-lain, sungguh miris.
Berita yang mirip tentang keengganan pejabat di daerah termasuk anggota DPRD yang tidak mau melaporkan harta kekayaan. Masyarakat pasti curiga, ada apa dengan si pejabat (anggota DPRD)? Kalau bersih kenapa risih? Begitu kata pameo. Mestinya mereka tahu bahwa UU No. 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, berlaku untuk mereka juga. Persepsi dan terjemahan pada UU itu untuk kepentingan diri sendiri bisa saja menjadi bumerang. Pada sisi yang satu ini pun ibu pertiwi tersakiti.

Pos terkait